Tom menutup mangkok bubur bubur nasi yang beberapa menit lalu dia beli dan kini telah tandas setelah dia menyuapi Verzet yang telah terbangun dari dua puluh menit lalu dan duduk di ranjang. Tadi dia membeli dua bungkus bubur ayam. Sebungkus telah dia berikan pada Andy untuk dimakan Vanila dan sebungkus lagi untuk Verzet. Tom menyodorkan sebotol air mineral yang segera diminum Verzet. Infus Verzet sebentar lagi akan habis dan sama seperti pada Vanila, dokter menyatakan setelah infusnya selesai- Verzet juga bisa pulang. Tom menarik nafas lega atas kabar itu.
"Papa datang?? Papa tahu darimana kalau aku..." Setelah selesai makan Tom tahu dia akan diberodong banyak pertanyaan dari bibir Verzet yang sedari tadi saat makan- dia paksa untuk menutup mulut.
"Apa jawaban itu penting? Papa tahu darimana itu tidak penting sama sekali." Verzet menundukkan wajahnya. Jelas tahu papanya kesal padanya. "Verzet, berapa kali Papa bilang jangan membuat Mamamu cemas? Jangan juga bermain-main dengan nyawa atau kesehatanmu. Bagaimana jika tadi Andy tidak ada?" Tom menatap serius wajah putranya itu yang baru saja sadarkan diri. "Papa benar-benar tidak mengerti apa yang ada di pikiran kalian." Verzet masih nampak lemah, tentu saja karena banyak isi perutnya yang keluar dimuntahkan sewaktu di restoran tadi. Sejujurnya Tom iba pada putranya itu. Sejujurnya dia ingin menarik tubuh putranya itu ke dalam pelukannya lalu menangis sekencang-kencangnya. Namun dengan sekuat hati dia menahan niatan itu.
Dia harus menjauh, sejauh mungkin dari anak-anaknya. Mendekat akan membuat lebih banyak luka buat semuanya. Dia jauh seperti ini saja, Verzet dan Dinda sampai rela mengorbankan kesehatan mereka agar bisa bertemu dengannya....apalagi jika nanti hakim memutuskan hak asuh mereka benar-benar jatuh hanya pada Vanila dan dia tidak bisa menemui mereka. Entah jenis kenekatan apa lagi yang akan dilakukan Verzet dan Dinda... Di mata kedua anak-anaknya dia adalah seorang papa yang sempurna dan itu kini melukainya... Dia tidak bisa membayangkan jika suatu saat polisi mungkin akan menelponnya untuk menyatakan bahwa anak-anaknya mengalami kecelakaan karena sedang berusaha mendapatkan perhatiannya atau izin Vanila agar dia bisa menginap bersama mereka lagi yang pasti akan sangat mustahil terjadi setelah perceraian antara dia dan Vanila terjadi. Besar kemungkinan Vanila akan segera menikah dengan Andy.... Pemikiran itu membuat manik matanya menatap ke ranjang tempat Vanila di baringkan. Andy masih ada di sisi isterinya itu. Menunggui Vanila dengan sabar.
Tom mengusir sakit di ulu hatinya dengan menatap tabung infus yang tergantung di ranjang Verzet. "Kamu laki-laki satu-satunya di rumah dan kamu harus menjaga Mama dan Dinda, kalau kamu tidak bisa menjaga dirimu bagaimana kau menjaga Mama dan adikmu Dinda?"
"Bukannya Papa yang harusnya menjaga kami?"
Tom meringis saat mendengar ucapan putranya itu. "Mulai kapan kau belajar membantah ucapan orangtuamu? Dengarkan ucapan Papa: jaga dirimu, jaga adikmu, jaga Mamamu."
"Lalu Papa?"
"Papa akan keluar negeri. Papa akan mengejar semua mimpi Papa... Menikah dengan Mama kalian, memiliki kalian membuat dua sayap Papa dipatahkan dan kaki Papa terbelenggu. Sekarang Papa ingin mengejar cita-cita Papa kembali."
"Maksud Papa selama ini Papa menganggap kami beban?" Parau suara Verzet terdengar. Tom diam. Menarik langkah membuat jarak antara dia dan Verzet serta ranjangnya. Dinda menatap kakak dan papanya dengan wajah bingung. Dia hanya gadis empat tahun. Saat menebak-nebak apa yang dibicarakan papa dan kakaknya, suara kakaknya terdengar lagi. Kali ini dengan intonasi bergetar. "Lalu bagaimana dengan kami? Papa bilang Papa tidak akan meninggalkan kami..., Papa bilang Papa dan Mama tidak akan bercerai. Papa bilang Papa dan Mama akan terus bersama sampai kami dewasa dan terus akan menjaga kami...Papa bilang...."
"Papa selalu bohong. Ingatlah itu. Itulah kenapa Mamamu selalu marah pada Papa."
"Apa Mama yang meminta Papa bicara ini?" Isak Verzet lagi.
"Lihat Mamamu di sana. Apa dia terlihat bisa bicara pada Papa? Kenapa kalian selalu berpikiran buruk pada Mama? Dia menjaga kalian, dia bahkan berjuang mencari uang buat kalian, tapi kalian bahkan tidak memperdulikan perasaannya. Buat apa kalian cari Papa? Kalau Papa ingin menemui kalian- Papa akan menemui kalian. Kalau Papa tidak ingin bertemu kalian- walau kalian menelpon terus Papa tidak akan menemui kalian...Papa juga punya kehidupan sendiri...."
"Jadi Papa sengaja tidak mengangkat telpon ku?"
"Iya."
"Papa jahat," isak Verzet dengan air mata berderai derai.
"Jaga Mamamu, jangan membantah karena mulai sekarang hanya dia yang akan ada di sisi kalian. Papa pergi."
"Papa benar-benar akan meninggalkan kami? Apa kami sebegitu tidak berharganya buat Papa?" Tom tak menggubris ucapan Verzet. Dia harus melangkah terus. Ini caranya melindungi keluarganya. Melindungi hati mereka.
"Papa!"
"Dinda!" Verzet berteriak menahan langkah adiknya yang hendak mengejar sang papa. Namun Dinda terlajur berlari mengejar Tom ketika Verzet menggunakan waktu untuk turun dari atas ranjang, meraih infusnya dan berlari mengejar Dinda. Semua orang di IGD menatap mereka kini.
"Alfa... Ayo, kita pergi." Tom merangkul Alfa yang sedari tadi ternyata tetap berdiri di luar ruang IGD. Lalu bergegas melangkah diantara suara panggilan Dinda yang mencoba mengejar mereka.
"Kenapa kita pergi, Om? Apa Om tidak dengar Dinda memanggil Om?" Tom tidak menjawab dan terus melangkah meninggalkan Dinda yang akhirnya benar-benar tertinggal karena kaki mungilnya tentu saja gagal mengejar langkah mereka. Hingga akhirnya Alfa memaksa melepaskan pegangan tangan Tom dan tidak melanjutkan langkahnya. Dia tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Hal itu membuat Tom juga akhirnya berhenti.