Vanila menatap kepergian Aiptu Sam hingga pria itu menghilang diantara para pengunjung rumah sakit lainnya kemudian dia mengalihkan perhatian pada anak-anaknya. Dinda menekuk wajahnya dan kesedihan jelas tergambar di raut itu. Tak perlu mencari tahu- Vanila jelas tahu itu karena putrinya tidak bisa bertemu lama dengan sang papa. Dinda si anak kesayangan papanya pastinya sedih saat Tom pergi begitu cepat karena sang papa menghindari konfrontasi dengannya. Tom jelas berpikir bahwa dia masih marah pada Tom mengingat terakhir kali bertemu mereka bertengkar hebat...ralat bukan bertengkar...karena untuk bertengkar dibutuhkan dia orang egois yang berteriak-teriak satu sama lainnya untuk mempertahankan ego, tapi dalam pertemuan terakhir mereka hanya dia yang berteriak-teriak mempertahankan egonya dan pemikirannya yang ternyata sebagian besar kini terlihat jelas salah.
"Maafkan Mama. Kita telpon Papa, yuk."
"Kakak nggak mau bicara sama Papa."
"Kenapa?" Vanila menatap bingung pada Verzet. "Bukannya kalian ingin bertemu Papa? Kakak bahkan sampai bela-belain sakit biar Mama izinin Papa datang dan tinggal dengan kita lagi."
"Tapi sekarang dan seterusnya Kakak nggak mau ketemu Papa lagi. Nggak juga mau bicara sama Papa. Kakak janji nggak bakalan rindu lagi sama Papa sampai kapanpun."
"Kakak?!" Pekikan Vanila hanya mendapatkan kebisuan Verzet. Vanila beralih pada putrinya."Dinda?" Dinda menggelengkan kepalanya. Vanila mencolek hidung putrinya itu. "Nggak usah pura-pura. Kalau kalian kangen Papa bilang aja sama Mama. Mulai hari ini Mama janji nggak bakal larang-larang asal beritahu Mama kalau kalian mau jumpa Papa. Mama beneran janji. Nggak bohong lagi deh." Vanila menarik kedua telinganya dengan wajah menyesal karena memperlakukan anak-anaknya sesukanya. Dia sadar pernah menjanjikan hal ini, tapi saat kesal pada Tom- dia malah tidak mengizinkan Verzet dan Dinda bertemu sang papa. Vanila menjulurkan jari kelingkingnya. Namun tak seorang pun anaknya yang menyambut. "Mama beneran loh sekarang. Janji. Dinda marah sama Mama, ya... Iya, pasti. Dinda pasti kangen sama Papa. Uhhh, anak kesayangan Papanya ini..." Goda Vanila malah membuat air mata putrinya itu jatuh menganak sungai.
"Dinda?" Vanila bertanya panik. Dia hanya menggoda. Biasanya juga Dinda tidak pernah menangis kalau digoda sebagai putri manja papanya- malah senang. Vanila berjongkok hingga setara dengan putrinya. Perlahan tangannya menangkup wajah cantik nan imut milik Dinda. "Dinda kenapa?" Pertanyaan itu membuat tubuh Dinda makin terguncang hebat oleh tangisnya.
"Din..dda...ngg..gak su..ka sa..ma Pa..pa... laaa...gi. Paa..pa jaaa..hat.... Papa nggak saa..yang saa...mma kii..ta lagi. Papa bilang Papa nggak mau tinggal sama kita lagi, Papa mau pergi keluar negeri. Papa mau kerja yang jauh. Dinda nggak mau ketemu Papa. Dinda mau pulang." Vanila segera mendekap tubuh putrinya itu dan menggendongnya. Tangannya yang lain juga merengkuh pundak Verzet yang terlihat juga menangis. Apa yang sebenarnya terjadi? Andy bilang anak-anaknya bertemu Tom bahkan mengejar Tom yang pergi meninggalkan mereka. Nggak biasa-biasannya Tom meninggalkan anak-anak mereka tanpa perasaan seperti ini bahkan hingga seorang polisi yang lewat dan melihat kebingungan Verzet dan Dinda mengulurkan bantuan untuk mencarinya. Tom tahu rumah sakit ini besar, biasanya Tom tidak akan pernah meninggalkan anak-anak mereka terlantar seperti itu. Vanila jelas ingat kalau melihat anak-anak mereka nangis saja Tom tidak sanggup. Tom yang dia kenal akan melakukan apa pun untuk membuat anak-anak mereka bahagia bahkan kalau Tom bisa memberikan seluruh dunia- Tom akan memberikannya buat Verzet dan Dinda. Sebegitu besar rasa sayang Tom pada anak-anak mereka.
Vanila tidak pernah meragukan itu. Jadi kalau sekarang Tom mencoba menyakitin anak-anak, Tom pasti punya alasan kuat. Apa? Kepala Vanila berpikir keras.
"Cup. Cup. Udah...udah.., Sayang. Ada Om Andy disini, Om Andy bakalan jaga kalian." Andy mengusap-usap punggung Dinda.
Dinda mengerakkan bahu tangannya seakan menolak sentuhan itu. Gadis kecil itu mempererat pelukannya ke leher mamanya, membenamkan wajahnya di sela batang leher si mama. Vanila membelai rambut Dinda. Tepat ketika itu Madya datang bersama seorang teman Vanila yang menjadi pengacaranya.
"Gimana..." Madya menatap Verzet. Mendekati anak laki-laki itu. "Verzet udah sehat?" Verzet mengangguk. Madya tersenyum manis sambil mengucek rambut Verzet. "Tante bawain bubur hangat buat Verzet." Madya mengangkat tinggi kantongan yang ada di tangannya.
"Verzet udah makan sama Papa tadi." Vanila menatap lekat wajah putranya itu.
"Beneran? Verzet nggak bohongkan?" Verzet menggeleng. "Siapa yang suapin?" Vanila seketika kepo.
"Papa." Tuhkan. Tom bahkan menyuapi Verzet. Tom pasti punya alasan untuk memberikan rasa sakit pada anak-anak mereka. Tapi apa???
"Ya, udah untuk nanti malam aja. Tante belikan tiga untuk Dinda dan Mama juga. Kamu udah makan, Van?"
"Nanti saja."
"Jangan ditunda-tunda. Nggak baik buat kesehatan." Vanila mengangguk. Kemudian menatap Daniela.
"Aku tahu kamu di sini atas pemberitahuan Andy. Aku menelpon ponselmu tadi dan kata Andy kau ada di rumah sakit mengalami penurunan gula darah dan pingsan...Lupakan itu sebenarnya aku datang atas perintah teman-teman. Kami tidak sabar memberitahumu tentang kemenangan kita di persidangan tadi."
Vanila mengerutkan keningnya. Setahunya hari ini baru balasan jawaban atas jawaban penggugat alias Duplik. Masih ada satu sesi lagi dari persidangan perceraian antara dia dan Tom sebelum keputusan hakim yaitu: pemeriksaan saksi-saksi. "Maksudmu?" Daniela melirik pada putra putri Vanila, nggak etis juga membicarakan hal ini di depan anak-anak itu. Memahami pemikiran Daniela, Vanila berujar.
"Kita bicara di rumahku."