Tom melirik pada ponselnya yang tergeletak di sudut kanan atas meja makan. Suara ponselnya berbunyi menandakan ada seseorang di seberang sana yang ingin membicarakan sesuatu padanya, saat itu Tom tengah mengangkati piring-piring dan mangkok bekas dia dan Alfa makan ke washtapel. Suara ponsel itu masih terus terdengar.
"Biar aku yang cuci, Om," Alfa bergegas meraih sebuah sendok di washtapel.
"Terima kasih, Alfa." Tom berujar lalu melap tangannya dan kemudian meraih ponselnya. Nama di layar ponselnya membuatnya melirik Alfa sejenak lalu memilih melangkah menjauh dari dapur. Vanila menelponnya. Apa kabar dengan Vanila? "Hai, Van. Gimana kabar kamu? Udah baikan?" Tom memulai percakapan saat mengangkat panggilan itu.
Vanila menjawab dengan gumaman kecil khas Vanila untuk mengatakan iya, nada yang keluar semacam 'mmm'. "Kenapa kamu pergi dari rumah sakit sebelum aku sadar?"
"Masih ada urusan lain. Lagi pula aku nggak mau membuatmu naik darah karena melihat wajahku." Tom mengakhiri ucapannya dengan kekehan seakan ucapannya lucu. Tak mendengar tawa Vanila, Tom menyambung ucapannya, "Aku memutuskan ini akan menjadi yang terbaik buat kita semua."
"Terbaik," Vanila menggumam untuk dirinya sendiri, "Kau tahu betapa rindunya Verzet dan Dinda padamu..., bahkan supaya bisa bertemu denganmu dan agar kau bisa menginap di kontrakan- mereka sampai melakukan hal itu. Anak-anak itu ingin kita bersama..."
"Aku tahu. Namun aku pikir sudah saatnya aku menyadari inilah akhir dari rumah tangga kita... Maaf, untuk semuanya, juga karena memaksakan kehendak di saat aku sebenarnya nggak pantas memaksamu lagi."
"Nggak, bukan kamu yang egois. Akulah yang terlalu egois di sini. Aku tidak memikirkan perasaanmu juga perasaan anak-anak. Aku minta maaf... "
"Vanila," Tom memotong, "berhenti mengorbankan kebahagiaanmu demi aku bahkan demi anak-anak. Jangan khwatir, Say...maksudku.... Vanila. Mulai hari ini Verzet dan Dinda tidak akan merindukanku lagi. Kamu tahukan aku paling pintar dalam membuat orang membenciku. Kamu adalah buktinya, setelah membenciku- kau tak berniat kembali lagi padaku..." Entah mengapa dada Vanila terasa berat karena ucapan Tom. Tom masih menyambung, "Verzet dan Dinda tidak akan pernah mencariku lagi dan kejadian itu tidak akan pernah terulang lagi. Jangan kwatir. Mereka akan baik-baik saja bersamamu. Aku selalu yakin itu."
"Tom, aku minta maaf..." Suara Vanila bergetar.
"Jangan minta maaf, itu bukan kesalahanmu. Perceraian kita bukan kesalahanmu. Itu jelas kesalahanku. Aku yang seharusnya minta maaf karena membuat hidupmu dan anak-anak berantakan begini.... Tapi mulai hari ini aku akan memastikan kamu akan mendapatkan kebahagiaanmu walau bukan aku." Vanila ingin bicara, tapi Tom lagi lagi tak memberinya kesempatan, "Aku rasa kamu sudah tahu... Mmmm... pengacaramu pasti sudah memberitahukan padamu kalau aku menyetujui perceraian kita, mungkin dua Minggu lagi kamu dan anak-anak bisa tinggal kembali di sini. Rumah ini sekarang milikmu dan anak-anak..."
"Tom, please tolong dengarkan aku sekali ini saja. Biar aku yang bicara...aku tidak butuh rumah itu!" Vanila berteriak kesal, "aku tidak mengincar hartamu! Kalau aku hanya ingin hartamu aku bisa mendapatkannya sedari dulu... Aku akan memilih menjadi isteri yang suka pelesiran, berfoya-foya, memaksamu mengikuti trend yang aku dengar dari perkumpulan ibu-ibu class atas Clement Construction dan bukannya menjadi ibu rumah tangga yang selalu di rumah "
"Aku tahu." Suara kekehan Tom terdengar seakan mereka sekarang tengah membicarakan cerita receh semacam kisah dalam sebuah film yang baru saja selesai mereka tonton. Bukan sebuah masalah besar semisal perceraian mereka. Sungguh Tom sangat mengesalkan, rungut batin Vanila.
"Berhenti tertawa. Ini nggak lucu... "
"Aku hanya merasa lucu..."
"Nggak ada yang lucu, Tom," Vanila memotong cepat. Ada luka di hatinya saat mendengar Tom menertawakan segala perkataannya. "... Karena kalau aku hanya memikirkan menikah denganmu hanya untuk berhura-hura, aku akan pura-pura tidak mengetahui kau berselingkuh....dan gantinya aku akan merongrongmu dengan permintaan-permintaanku yang akan menggedutkan rekening tabunganku dan memaksamu menjadi mesin pencetak uang bagiku."
"Aku tahu, Vanila. Aku selalu tahu.. karena itu aku mau kamu dan anak-anak tinggal di sini. Akan lebih nyaman dan menyenangkan disini. " Suara Tom terdengar pelan, "Kau wanita yang baik, karenanya kamu pantas untuk bahagia dan aku bukan kebahagiaanmu. Kau mungkin gamang karena berpikir betapa berartinya aku bagi anak-anak. Apalagi jika kau memakai cara pandang aku adalah kebahagiaan anak-anak dan anak-anak adalah kebahagiaannu, jadi jika membahagiakan anak-anak kau juga akan bahagia, aku rasa itu cara pandang yang salah. Hubungan rumah tangga kita tidak bisa didasarkan oleh itu lagi. Itu tidak terlalu kuat untuk membuatmu bahagia dan anak-anak bahagia. Aku sudah bilangkan aku tidak mau jika suatu hari aku melihatmu menangis karena menyesali keputusanmu menerimaku. Dengan seluruh hatiku, aku ingin kau bahagia." Tom menengadahkan wajahnya ke atas, menahan haru yang menyusup di rongga hatinya dan mencair menjadi beningan air mata di rongga matanya. Tom mencoba menguasai diri. Dia tidak akan menggunakan trik murahan dengan menangis dan membuat Vanila makin bimbang. "Jaga diri dan kesehatan, makanlah yang teratur, juga jangan lupa beristirahat. Tidurlah yang nyenyak. Maaf, ada telpon masuk. Bisa kita lanjutkan pembicaraan ini kapan-kapan? Selamat malam."
Tom menggunakan kesempatan panggilan telpon lain yang masuk untuk menghindari percakapan lebih panjang dengan Vanila. Nggak baik buat hatinya dan hati Vanila juga. Anak-anak membuat hati Vanila yang lembut merapuh, dia tahu itu.... Vanila selalu labil jika soal anak-anak. Demi anak-anak bahkan tadi Vanila sudi minta maaf padanya dan menyatakan bahwa dirinya yang egois. Ahhh..Tom bahkan yakin karena kejadian siang tadi pada putra mereka- Vanila berniat kembali padanya. Tom yakin jika detik ini dia mengatakan akan melupakan semua masalah mereka dan mereka bisa memulai hubungan mereka kembali seperti dulu asal Vanila dan anak-anak segera pulang ke rumah ini- dia yakin Vanila akan langsung setuju bahkan tanpa syarat apa pun. Namun bukan itu yang dia mau... Itu nggak akan baik buat Vanila juga buat rumah tangga palsu mereka ke depan karena dia tahu kebahagian Vanila kini bukan dirinya dan karena sampai detik ini pula- Vanila tidak bisa melupakan kesalahannya... kepura-puraan mereka tidak akan membawa kebahagiaan buat siapa pun bahkan buat Dinda dan Verzet.