Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #158

#158. Sepasang Sepatu

"Om, dimana?" Pertanyaan itu terdengar saat Tom mengaktifkan kembali ponselnya yang mengangkat panggilan telpon yang secara kebetulan tengah berbunyi. Sedari tadi dia memang menon aktifkan ponselnya karena harus mengikuti serangkaian tes untuk menjadi bagian dari Vinci SA, sebuah perusahaan konstruksi yang berkantor pusat di Perancis- Tom memaki diri saat menyadari seharusnya tadi dia menjemput Alfa sepulang sekolah. Bagaimana bisa dia punya kebiasaan buruk ini, melupakan untuk menjemput anak sekolah. Kalau Alfa kenapa-kenapa bisa habis dia dimarahi Brian. Kalau posisi yang terlambat dia jemput adalah Verzet dan Dinda- Vanila pasti akan marah besar apalagi ini sudah cukup sore.

"Ohh, Alfa. Kamu masih di sekolahan?" Tom berseru tanpa menjawab pertanyaan Alfa. "Sorry, Om lupa menjemput kamu. Tetap di sana Om akan jemput sekarang juga." Tom menghitung waktu jeda sebelum sesi wawancara akhir mulai dilakukan pukul delapan malam nanti. Dia telah mendapat informasi bahwa dia termasuk salah satu yang lulus dalam tes tertulis hitung-hitungan pembangunan sebuah jalan raya. Sistem perekrutan memakai sistem gugur, jadi yang tidak lulus seleksi tahap pertama tidak akan mengikuti seleksi tahap sererusnya. Dia telah tiba sejauh ini. Sekarang seluruh kandidat terbaik diberikan kesempatan sebelum wawancara untuk makan malam. Jika dia lulus tahap wawancara berarti dia akan ke Paris untuk tes terakhir dari seluruh penjuru dunia.

Tom menghitung dengan kecepatan rata-rata 60 km/jam, hambatan di jalanan se perdua dari perjalanan- dia akan tiba dalam empat puluh lima menit ke hotel ini, dia akan meminta Alfa menunggu di lobby hotel dan makan di restoran hotel- karena tidak akan sempat tiba ke rumah.

"Aku udah sampai di rumah kok, Om. Akukan udah bilang aku nggak perlu di jemput. Tadi sih ada orang penting yang mau ketemu Om."

"Orang penting? Alfa, Om sudah bilangkan jangan buka pintu sembarangan. Itu bahaya." Tom bicara tegas, langkahnya yang baru saja menjejak pintu lift terhenti saat petugas keamanan hotel meminta para pengguna lift keluar dari pintu samping hotel dan bukan dari pintu utama. Sebagian besar tamu hotel nyatanya sudah tahu hal itu bahwa pada hari ini diadakan penghargaan perfilman yang disebut Festival Film Indonesia Award- acara itu nyatanya akan dilaksanakan di ballroom utama hotel berbintang enam ini.

Tom masih berbincang dengan Alfa, tapi tanpa memberi jeda untuk anak itu menjelaskan siapa yang datang ke rumahnya siang tadi juga apa yang tadi siang mereka lakukan di pengadilan... Andai Tom tahu bahwa tamu spesial yang dimaksud Alfa adalah Verzet dan Dinda- putra dan putrinya dan bahwa mereka bertiga pergi ke pengadilan bersama Maria untuk meminta tolong pada orangtua Maria yang hakim untuk mempertemukan mereka dengan hakim pengadilan yang memimpin persidangan cerai Tom dan Vanila dan memohon agar hakim itu tidak menceraikan papa dan mama Verzet dan Dinda- tentunya entah apa yang akan Tom lakukan. "Selesai wawancara Om bakal pulang. Kamu hati-hati di rumah." Tom menutup telpon usai mendengar jawaban dari Alfa. Anak itu menghela nafas panjang dan sekejap perasaan sedih menghinggapinya saat mengingat keadaannya kini. Nasib papa dan mamanya. Sejak papanya memilih kabur dari kantor polisi, Alfa tak bisa bertemu Brian. Entah dimana kini papanya berada, Alfa cuma bisa berdoa papanya baik-baik saja dan semua masalah mereka bisa selesai sesegera mungkin.

Tom baru keluar dari lift. Dan menemukan kenyataan beberapa tamu wanita hotel malah dengan sengaja mencoba menuju lobby utama hotel untuk bisa menemui artis kesayangan mereka, nama yang paling sering dielukan adalah nama Andy Herline. Kali ini Tom tak merasa para wanita itu menyebalkan atau bodoh- mengingat bagaimana Andy Herline berlari sambil menggendong Verzet di punggungnya agar putranya itu mendapatkan pertolongan medis: Tom menyadari bahwa Andy Herline memang pantas dieluk-elukkan.

Tom menatap dari kejauhan bersama puluhan tamu hotel yang tentu saja bukan merupakan undangan dari acara penghargaan perfilman itu- saat kelebatan lampu blitz menerpa wajah Andy Herline dengan seorang artis wanita yang menjadi pemeran utama film Terbakar dalam Cinta yang merupakan karya Vanila dibesut langsung dari novelnya yang memang bergenre dewasa. Novel itu adalah salah satu novel Vanila yang mendapat perlakuan khusus di rumah mereka- dalam artian di kunci rapat di laci ruang tidurnya dan Vanila dan bukan diletakkan dalam lemari buku kaca- tujuan utama mereka adalah untuk memastikan anak-anak tidak membacanya sampai waktu yang tepat. Persoalan waktu yang tepat- tujuh belas tahun atau dua puluh satu tahun, itu selalu menjadi perdebatan antara dia dan Vanila. Sampai saat ini mereka belum mencapai titik sepakat untuk hal itu dan karena antara waktu yang tepat dan jangka waktu usia Verzet dan Dinda masih amat jauh dia dan Vanila suka menunda pembicaraan itu. Masih banyak waktu untuk membicarakannya pikir mereka dulu hingga kini Tom menyadari bahwa dia tidak punya banyak waktu. Tidak ada waktu lagi sama sekali. Satu atau dua Minggu lagi dia dan Vanila akan resmi berpisah. Akan ada penambahan kata di depan status mereka kini- dengan kata: ex. Hanya dua huruf, tapi huruf-huruf itu membangun benteng yang tinggi dan jurang yang amat dalam antara dia dan Vanila. Tom menghela nafas berat.

Bersama para tamu hotel Tom berhenti sejenak di pilar pembatas dengan tali merah. Orang-orang meneriakkan nama para artis dan Andy Herline kembali adalah nama yang paling sering dielukan. Sekarang Tom tidak kesal pada para wanita yang mengelukkan nama itu- Andy Herline memang pantas dieluk-elukkan. Tom ingat bagaimana pria itu menggendong tubuh Verzet di punggungnya agar segera bisa mendapatkan pertolongan medis di saat jalanan macet. Mungkin dia memang dulu begitu egois, dia pikir hanya dia satu-satunya yang bisa melindungi anak dan istrinya, tapi nyatanya salah. Vanila benar: Andy Herline lebih baik darinya- Vanila dan anak-anaknya akan lebih bahagia bersama pria itu dibandingkan bersamanya.

Tom memilih melangkah keluar hotel dari pintu yang diperintahkan pegawai hotel. Baru menjejak parkiran, Tom menyadari seharusnya dia tidak perlu ke sana karena Alfa jelas sudah berada di rumah, Tom memilih melangkah kembali. Dia akan makan malam di restoran hotel saja lalu segera menuju lantai dua belas untuk mengikuti seleksi akhir Vinci SA. Kemudian mata Tom terpaku pada satu sosok yang nampak melangkah tergesa bersama Madya. Agaknya Vanila tak menemukan parkiran dekat lobby utama dan akhirnya memaksanya harus berjalan dari ujung parkiran menuju lobby utama. Vanila nampak cantik dengan gaun panjang dengan model A-line yang dia kenakan. Gaun hitam dengan dada V tanpa lengan. Mempertontonkan bahu Vanila walaupun bahu itu ditutup dengan rumbai yang terbuat dari sifon terlentang antara bahu dan lengan atasnya. Tak ada perhiasan apa pun di leher maupun pergelangan tangannya. Vanila nampak menyedihkan dibanding para aktris lain yang tadi dilihat oleh Tom yang nampak glamor dengan gaun mewah rancangan desainer ternama dalam dan luar negeri dan perhiasan yang bergelantungan di tubuh mereka.

Kenapa dia tidak pernah berpikir untuk menyerahkan perhiasan dan gaun-gaun milik Vanila yang ada di dalam lemari mereka- walaupun tidak banyak, Vanila punya beberapa gaun yang berasal dari perancang busana kenamaan dunia. Dahulu untuk dikenakan saat pesta penyambutan rekanan bisnis Tom dari luar negeri atau jika ada pesta perusahaan. Juga beberapa perhiasan. Dia seharusnya sadar Vanila sekarang bergaul dengan para selebriti dan kehidupan mereka penuh glamor, Tom tidak ingin orang-orang itu memandang rendah pada Vanila. Betapa dia menyesal untuk itu.

Tom masih memandangi Vanila yang melangkah bersama Madya kemudian menyadari ada yang salah pada cara melangkah Vanila. Sepatu Vanila pasti tak nyaman. Vanila punya kulit sensitif, jika bahan sepatunya kurang lembut, akan melukai tumitnya hingga lecet dan berdarah karenanya Vanila selalu suka mengenakan sepatu yang sama. Sekali dia merasa nyaman, dia akan mengenakan sepatu yang sama terus hingga sepatu itu rusak dan harus diperbaiki. Lalu saat tukang sepatu menyerah, dia baru menyesal kenapa tidak membeli sepatu itu dua atau tiga pasang. Tom ingat dia hanya menyambut hal itu dengan tawa lalu menyugar rambut Vanila kemudian dia berjanji akan membawa Vanila membeli sepatu bersama, tapi kesibukan membuatnya tidak menepati janji itu.

Tom menatap langkah Vanila beberapa saat lebih lama sebelum melangkah kembali, kali ini dia melangkah menuju gerai toko LV yang ada di dalam kawasan hotel.

***

"Vanila." Suara lembut itu terdengar bersamaan dengan terasanya tarikan pada tangan Vanila yang baru saja lolos dari kamera televisi yang meliput perhelatan tahunan bagi dunia perfilman Indonesia.

Vanila baru saja melambaikan tangan dengan kaku dan menjawab sedikit pertanyaan yang ditanyakan pembawa acara pendamping yang menanti di pintu lobby utama untuk menanyai semua aktris dan aktor yang datang- yang kali ini tiba pada gilirannya. Sepasang pembawa acara pendamping ini menanyakan tentang filmnya Terbakar dalam Cinta, tentang Andy Herline yang sejujurnya baginya hanya seorang teman dan tidak pernah lebih. Vanila bisa melihat bagaimana dia melihat wajah girang pembawa acara pendamping wanita karena ucapannya: 'karena itu berarti masih ada kesempatan untuk mendapatkan hati Pangeran Andy Herline katanya.'

Vanila hanya tersenyum kecil dan melambaikan tangannya sekali lagi dengan kaku sebelum berlalu dari tangkapan layar televisi. Lalu Tom muncul dan menarik tangannya sedikit menjauh sebelum sempat Vanila memahami apa yang terjadi.

Setelah menyingkir sedikit dari keramaian para artis, Vanila mengeluarkan suara. "Bagaimana kau bisa di sini?"

"Aku berjalan dari pintu itu." Tunjuk Tom pada pintu utama lobby hotel.

"Penjaga ada di sana dan hanya yang memiliki undangan yang akan diizinkan masuk."

Lihat selengkapnya