Vanila melangkah memasuki grand ballroom hotel dan segera duduk di sisi Madya yang lebih dahulu duduk di kursi. Grand ballroom A- hotel memiliki kursi selayaknya ruang bioskop, kursi-kursi para tamu berjejer dan bertingkat menghadap satu arah pada panggung megah di depan sana. Layar besar panggung masih menayangkan para tamu yang memasuki pintu lobby utama hotel dan disambut oleh pembawa acara pendamping. Kemudian sepasang pembawa acara utama melangkah menuju ke atas panggung dan menyapa seluruh tamu yang hadir.
"Coba lihat sepatu apa yang dibeli Tom?" Madya dengan kepo meraih shopping bag yang ada di tangan Vanila dan membukanya. "LV dari gerai LV di bawah, kamu tahu berapa harga sepatu itu?" Madya berseru ceria sambil men-searching di ponselnya. "Lima belas juta. Tom membelikanmu sepatu seharga lima belas juta, Van," seruan Madya yang antusias membuat Andy yang ada di deretan depan mereka menoleh. Saat itu Vanila sedang meraih ponsel Madya yang memberikan informasi produk dari sepatu bermerk internasional itu. Madya benar harga sepatu yang kini dia kenakan semahal itu. Vanila masih hanyut dalam pikiran tentang harga sepatu yang mahal- yang seandainya dia beli bersama Tom tentu tidak akan jadi dibeli karena dia akan berpikir itu penghambur-hamburan uang, tapi lucunya dia tidak bisa menyembunyikan betapa bahagianya dia menerima hadiah sepatu mahal ini. Vanila menunduk menatapi sepatu yang kini dia kenakan dengan tak jemu.
Andy Herline memilih menatap ke depan kembali saat Ivanka menunjuk pada panggung dan membisikkan sesuatu hingga keduanya tertawa. Madya menatap itu diam-diam lalu membenci dirinya karena masih menyukai Andy Herline.
"Upsss, Van, lihat apa yang aku temukan di sini." Madya memilih mencari topik pembahasan lain. Dia tengah membuka kotak sepatu menyodorkan benda yang dia temukan di sana. Kartu ATM dan ponselnya. "Tom sepertinya memberimu hadiah lain selain sepasang sepatu. Suprise kedua yang nilainya pasti lebih tinggi dari yang pertama. Coba kita cek lagi apa ada suprise ketiga?"
Vanila memegang erat ponsel dan dua keping kartu ATM yang ada di tangannya, kartu ATM bernama dirinya yang tertinggal di dalam tasnya saat dia kabur dari rumah dengan membawa anak-anak- hari ini Tom memasukkan benda itu ke dalam kotak sepatu yang ada di dalam shopping bag, seakan menyerahkan seluruh miliknya agar dia bisa hidup tanpa Tom. Entah mengapa itu menyakitkan. Kemudian Madya menjulurkan sebuah kunci ke hadapannya. Vanila meraih kunci itu dengan tangan gemetar. Tom mengembalikan kunci rumah kontrakannya... Vanila ingat dia pernah meminta Tom memberikan kunci itu kembali padanya, tapi itu hanya karena dia sedang marah besar pada Tom yang tidak memenuhi janjinya untuk datang ke Nusantara resto lalu malah berduaan di rumah sakit bersama Clara.... walaupun seharusnya dia tidak marah. Vanila tahu jelas itu kesalahannya...
Vanila bahkan tidak menggubris perkataan Madya tentang suprise ke empat. Kepalanya berputar keras memikirkan Tom yang jelas telah menyerah padanya. "Gak ada lagi," suara Madya terdengar berbisik. Acara sudah dimulai. Diantara suara pidato penyelenggara acara FFI Award, Madya mengatakan padanya bahwa dia telah mentransfer uang ke rekening Andy sesuai yang diperintahkan Vanila.
"Apa yang terjadi kemarin? Apa Andy melakukan sesuatu yang buruk?" Madya bertanya serius. Vanila menggeleng cepat, demi semua kebaikan yang telah Andy lakukan padanya- dia tidak akan pernah menceritakan khilaf kecil yang Andy lakukan padanya. "Jadi hanya ingin kembali pada Tom?" Madya berbisik kecil sambil terkekeh. Vanila membalas godaan itu dengan senyum simpul.
Saat acara penghargaan dimulai dengan nominator pemain pendukung utama pria- pikiran Vanila tidak bisa tenang. Dia harus bicara dengan Tom saat ini juga. "Madya, aku ke toilet dulu."
Madya mengangguk. Dia menatap Vanila lekat-lekat. Sebenarnya dia tahu Vanila pasti bukan ingin ke toilet, tapi jelas ingin menemui Tom. Sepertinya cinta diantara Vanila memang belum usai, Vanila jelas hanya kesal karena pemikiran bahwa Tom masih menyelingkuhinya- dan terlalu sombong mengakui bahwa dia tidak bisa hidup tanpa Tom. Seperti mamanya. Andai mamanya dulu punya keberanian dan kesempatan untuk menyadari perasaannya pada papanya... seperti yang dilakukan Vanila saat ini, mungkin kisah hidupnya akan berubah. Uhh, dada Madya terasa sesak karena pemikiran itu. Masih sakit. Namun dia mencoba menegarkan diri dengan berkata pada hatinya: bahwa kehidupannya tidak menyedihkan, bahwa semua orang punya luka di hati masing-masing walau kadang luka itu bukan karena kesalahan kita sendiri. Madya berdoa semoga Vanila dan Tom baikan kembali.
"Jangan lama mana tahu kau menjadi pemenang. Ingat kau nominator pendatang baru penulis naskah film." Vanila mengangguk. Sejujurnya pasti akan menyenangkan memenangkan nominasi itu, tapi bukan itu yang menjadi orientasi utamanya sekarang. Dia ingin bertemu Tom. Dia harus meminta maaf kepada Tom karena berpikir bahwa Tom masih terus berhubungan dengan Clara- lalu menceritakan bahwa dia sudah tahu semua tuduhannya pada Tom salah dan meminta Tom kembali padanya.
Vanila bergegas keluar dari grand ballroom hotel, tapi di pintu masuk langkah Vanila terhenti. "Amara?" Serunya sedikit kaget menemukan wanita itu di sini. Kapan Amara keluar dari penjara? Polisi tidak memberitahunya.
"Kaget menemukanku di sini? Apa kau pikir hanya kau yang diundang ke sini, Vanila? Aku juga. Aku punya undangannya." Amara mengangkat tinggi-tinggi undangan di tangannya ke depan wajah Vanila. "Aku menemukan bukti baru yang menyatakan bahwa bukan aku yang meracunimu. Jadi polisi membebaskanku dari semua tuduhan suamimu itu dan kini mencari pelaku sesungguhnya. Kau jelas punya banyak musuh, yang ini bahkan berharap kau mati."
Vanila tak menggubris ucapan pedas Amara. Dia lebih ingin memastikan apa yang baru saja dia dengar. "Suami?"
"Ya, menurutmu siapa yang melaporkan aku ke polisi dan meminta polisi menahan ku selain Tom Dwiguna- sialan itu? Yang ternyata menyamar menjadi ojek pengantar minuman di lokasi syuting saat itu."
Jadi bukan Andy, gumam batin Vanila, tapi Tom.