Vanila berdansa bersama Pak Munchen ketika akhirnya Madya dan Andy berdansa bersama malam itu. Dia tentu saja meminta izin singkat pada isteri Pak Munchen yang ikut di pesta terakhir bagi kesuksesan film Terbakar dalam Cinta. Wanita itu kini berdansa bersama sang sutradara. Pak Munchen meminta izin dengan sopan sebelum melingkarkan lengannya di pinggang Vanila dan meletakkan telapak tangannya menyatu pada telapak tangan Vanila. Saat seperti ini, Vanila berharap Tom ada di sini bersamanya melewati malam ini- dia rindu bisa berdansa seintim ini bersama Tom kembali.
Mereka berdansa sambil membicarakan proyek baru yang dilemparkan Pak Munchen padanya beberapa bukan lalu untuk membuat naskah film terbaru yang nyatanya sampai saat ini tak terlihat tanda-tandanya. "Saya minta maaf untuk tantangan skenario yang Anda minta. Saya rasa saya tidak bisa membuatnya dalam waktu dekat ini." Akhirnya Vanila memilih untuk jujur.
"Kau kehilangan ide?"
Vanila menghembuskan nafasnya panjang. "Aku rasa begitu," ujarnya sambil menahan langkah kakinya yang telah kembali menginjak sepatu Pak Munchen. Uhhh, sudah beberapa kali saat berdansa bersama Pak Munchen- Vanila hampir menginjak kaki pria itu. Awalnya dia tentu saja kaget, refleks tubuhnya saat berdansa bersama Tom ternyata berbeda saat dengan pria lain. Ya, ini kali pertama bagi Vanila berdansa dengan pria lain selain suaminya sendiri. "Maaf." Vanila berseru kikuk entah keberapa kalinya.
Ucapan Vanila membuat tawa Pak Munchen terlihat. "Tubuhmu terasa kaku dan keras seperti kawat baja. Sepertinya kau benar-benar tidak merasa nyaman berdansa bersamaku, ya?"
"Bukan begitu..."
"Santai dan rileks lah. Anggap kau tengah berdansa bersama pria yang sangat kau kenal dan kau cintai. Pejamkan matamu." Vanila melotot. "Percaya padaku. Rileks lah. Kau penulis skenarioku yang berharga, aku tidak akan melakukan hal lebih dari berdansa denganmu. Isteriku memplototi kita... tidak akan mungkin ada tindakan pelecehan. Lagi pula kau sarjana hukum yang galak.." Vanila terkekeh geli. Pak Munchen memang terkadang terasa seperti seorang saudara laki-laki yang baik. Vanila menurut.
"Orang-orang akan berpikir aneh jika melihat ini." Vanila berkata dengan mata yang terpejam.Wajahnya berada di balik pundak kanan Pak Munchen yang terdengar tertawa menyahuti ucapannya.
"Jangan pikirkan siapapun. Rileks lah. Pikirkan saja yang kini ada di ruangan ini hanya kau dan pria yang kau cintai itu. Kalian berdansa berdua tanpa orang lain." Untuk kedua kalinya Vanila menurut. Tubuhnya yang tegang sedikit demi sedikit menjadi rileks. Aroma tubuh Tom terasa mengular memenuhi penciumannya. Dia suka aroma musk yang selalu Tom gunakan sehabis bercukur. Rasanya betapa dia rindu menempelkan pipinya di rahang Tom dan merasakan kehalusan kulit rahang Tom usai bercukur. Mengecup rahang itu lalu mengalungkan lengannya dengan manja di leher Tom dan membenamkan wajahnya di batang leher itu.
"Andy Herline memang tampan,ya..."
"Aku memikirkan Tom, bukan..." Vanila membuka matanya lalu menatap arah pandang Pak Munchen yang kini menertawainya. Vanila bisa melihat tatapan mata Pak Munchen mengarah pada Andy dan Madya. Dansa mereka terlihat kaku, pikir Vanila.
"Aku tidak menanyakan siapa yang kau pikirkan. Aku hanya mengatakan betapa tampannya Andy Herline- dia sudah berpindah pasangan beberapa kali. Dia tipe pria yang tidak akan pernah kehabisan pasangan walau datang ke pesta seorang diri." Wajah Vanila memerah. Rasanya malu menyadari bahwa dia menyatakan perasaannya pada Tom di depan orang lain yang tahu bahwa dialah yang dengan sombong mengajukan gugatan perceraian pada Tom.
"Aku memalukan, ya. Menggugatnya, tapi merindukannya...pasti itulah yang ada di pikiran semua orang." Keduanya berhenti berdansa dan memilih melangkah meninggalkan lantai dansa menuju meja bar.
"Vanila, kau wanita rumahan. Kau mengingatku pada mamaku yang hanya merasa nyaman pada pelukan Papaku. Seperti itulah aku melihatmu di tahun lalu saat berdansa bersama Tom di pesta kecil-kecilan kita atas film kita. Tom bukan hanya sekedar suami bagimu, kalian tidak hanya berbagi ranjang bersama. Kalian berbagi semuanya, termasuk impian. Dia mengispirasimu dalam setiap tulisanmu. Wajahnya atau sikapnya selalu menjadi image tokoh utama pria dalam tulisanmu."
"Mungkin itu karena aku hanya pernah jatuh cinta pada satu pria dan itu Tom."
"Sejujurnya kalian pasangan sempurna." Pak Munchen berkata sambil meneguk minuman. Tubuhnya terarah menghadap ke lantai dansa.
"Kenapa Anda bicara begitu? Anda tidak mengenal kami. Anda tidak tahu bagaimana kami bertengkar untuk banyak hal." Vanila menunduk memainkan kukunya yang kali ini dipoles merah atas ide Madya. "Kejadian itu membuatku selalu bertanya-tanya apa artiku baginya. Aku diliputi ketakutan tiap kali melepaskannya keluar rumah. Dia akan bertemu wanita cantik yang lebih pintar, menarik dan seksi dariku..." Vanila terkekeh, "parahnya itu bukan ketakutan pertamaku, sejak menjalin hubungan dengan Tom itu selalu menjadi ketakutanku. Tom selalu terlihat seperti bintang dimana pun dia berada. Di kampus: para mahasiswi dari beraneka fakultas mengejarnya, berharap pada cintanya. Bahkan putri kampus. Tapi bodohnya dia memilihku. Itu membanggakan sekaligus menakutkan."