Tom melangkahkan kakinya memasuki rumahnya yang sebagian nampak gelap. Tangannya bergerak menghidupkan lampu dan membuka jas hitam dan rompi berwarna senada yang dia kenakan sambil melangkah menuju dapur. Baru saja langkah Tom mencapai dapur, meletakkan jas dan rompi yang ada di tangannya di sandaran kursi meja makan lalu meraih sebuah gelas dan melangkah ke depan dispenser untuk mengisi gelasnya yang kosong. Dia baru mendapati sama seperti gelasnya yang kosong, air dalam galon air juga kosong.Tom menggulung lengan kemeja putihnya hingga siku tangannya lalu melangkah meraih persedian air, baru saja akan meraih galon lainnya dia menyadari galon cadangan air juga sudah kosong.
Hal sesimpel ini membuat ingatan Tom melayang pada sang isteri- Vanila tidak pernah membiarkan mereka kehabisan air. Vanila selalu tahu kapan air habis, kapan kulkas perlu diisi dan segala kewajiban dibayarkan sementara dia untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja dia lupa.... Ralat..., Bukan hanya kebutuhannya sendiri- dia tidak tinggal sendiri sekarang, ada Alfa. Apa anak itu sudah minum? Bagai tersadar akan keteledorannya, Tom melangkah menuju ke kamar Verzet- kamar yang digunakan Alfa untuk beristirahat.
Ketika Tom membuka knop pintu, Tom bisa melihat di keremangan pencahayaan lampu tidur, Alfa membungkus dirinya hingga ke puncak kepalanya. Namun tubuh anak itu terlihat terguncang-guncang di sela tarikan hidung berair yang tertangkap oleh telinga Tom. Tom meraih tombol lampu di dinding dan menghidupkan lampu agar cahaya yang lebih terang menyinari kamar itu.
Tom melangkah menghampiri Alfa dan menyingkap selimut yang menutupi seluruh diri Alfa. Rona keterkejutan jelas tidak bisa disembunyikan oleh bocah laki-laki itu saat manik matanya menangkap gestur Tom di sisi ranjang.
"Om, udah pulang?" Alfa menyeka air matanya.
"Apa kamu baik-baik saja?" Tom tak menjawab malah balik mengajukan pertanyaan. "Kamu nangis? Memikirkan Papamu?"
"Aku merindukan Papa," Alfa berkata dengan suara gemetar dalam linangan air mata yang kembali jatuh di pipinya, "aku mencemaskan Papa." Tom segera duduk di sisi ranjang itu dan mendekap tubuh Alfa dengan erat. "Kenapa Papa tidak juga menghubungiku, Om? Apa polisi menangkapnya kembali, tapi tidak mau mengatakannya padaku karena aku membuat Papa kabut, Om?" Manik mata Alfa yang penuh kekwatiran terlihat. "Atau sesuatu yang buruk terjadi pada Papa, Om?"
"Tidak. Tidak ada yang buruk terjadi pada Papamu. Polisi tidak menangkapnya, Aiptu Sam jelas tahu siapa pelakunya. Mereka tidak akan menangkap Papamu lagi. Papamu mungkin hanya merasa perlu lebih berhati-hati karena berpikir polisi masih menyalahkannya. Dia mungkin masih bersembunyi, tapi itu hanya sebentar- saat Papamu mengetahui kalau polisi telah menangkap pelaku pembunuhan...." Tom menggantung kalimatnya. Rasanya tidak etis mengatakan itu di depan Alfa yang sampai sekarang masih terlihat terpukul. "Iii...tu dia akan segera keluar untuk menemuimu dan kalian akan kembali tinggal bersama lagi." Tom mengucek ubun-ubun kepala Alfa dengan lembut. "Dan sebelum kamu tinggal dengan Papamu, jangan kwatir tentang apapun. Om akan selalu menjagamu..." Tom menghela nafas panjang, "maksud Om...Om tidak akan membiarkan kamu sendirian bahkan walaupun nanti Om diterima di perusahaan Vinci SA, walaupun nanti Om akan keluar dari rumah ini..." Tom menanarkan pandangannya seluruh penjuru kamar Verzet, kelebatan kenangan tentang putranya itu memenuhi labirin otaknya. "Om akan meminta pada Tante Vanila untuk mengizinkan kamu tinggal di sini agar kamu bisa tetap dekat dengan rumah kamu, dengan kenangan bersama keluarga kamu: mama dan Tante kamu. Agar papa kamu tidak kesulitan menemukan kamu."
"Jadi itu artinya Om tetap akan pergi?"
Tom mengangguk. "Tante Vanila wanita yang baik, dia menyayangi anak-anak. Dia tidak akan menolakmu. Kamu akan baik-baik saja bersamanya lagi pula ada Verzet. Om berharap kalian bisa jadi teman yang baik bahkan lebih menjadi saudara laki-laki buat satu sama lain- mungkin?" Tom tersenyum sambil mengucek rambut Alfa yang mulai nampak tenang dan tak menangis lagi.
"Om cinta sama Tante Vanila?" Pertanyaan Alfa membuat Tom menatap wajah bocah itu lekat-lekat.
"Tante Vanila itu cinta matinya Om. Anak-anak sekarang bilang seperti itukan?"
"Terus kok Om nggak mempertahankan Tante Vanila?"
Tom terkekeh geli. "Kalau kamu udah gede nanti kamu bakal tahu cinta bukan berarti harus bersama, meninggalkan bukan berarti nggak sayang lagi..." Tom mengucek rambut Alfa lalu menyuruh anak itu tidur. "Udah malam. Lebih baik kamu tidur, besok kamu masih harus masuk sekolah. Selamat malam, Alfa." Tom melangkahkan kakinya meninggalkan Alfa.
"Tapi Verzet dan Dinda nggak mau Om dan Tante pisah." Ucapan Alfa menahan langkah kaki Tom seketika sekan sebuah tali mengikat kedua kakinya hingga dia tak mampu bergerak. Sejenak Tom diam. Butuh waktu baginya untuk kemudian membalikkan tubuhnya kembali menatap wajah Alfa.
"Itu yang belum bisa Om lakukan sampai sekarang, meyakinkan Verzet dan Dinda bahwa perceraian Om dan Tante nggak akan merubah cinta Om dan Tante pada mereka. Tak akan ada yang berubah. Hanya hal-hal kecil bahwa mereka kini punya dua rumah, mereka bisa tinggal di rumah papa atau mama mereka kapan pun mereka mau..."
" Tapi itu artinya berubah, Om. Tidak tinggal bersama berarti tidak akan bisa melihat papa dan mama pada rumah yang sama, lalu orang lain muncul dan membuat suasana makin canggung..."
"Nggak akan ada di pihak Om..."
"Bagi anak-anak seperti kami semua akan berbeda ketika orang tua berpisah. Saat bermimpi buruk- kami tidak akan bisa menenangkan diri dengan tidur diantara papa dan mama, Tidak akan ada lagi momen-momen kebersamaan kan? Om atau Tante salah satu tidak akan ada saat pelukan bersama-sama, papa atau mama nggak akan bisa saling tunjuk saat ditanyai pelajaran sekolahkan? Bahkan kebiasaan kecil menanyakan keadaan papa yang belum pulang dari bekerja pada mama juga nggak akan bisa kan? Juga kebiasaan membujuk papa agar membujuk mama untuk mengizinkan makan es krim atau lainnya nggak akan bisa. Banyak, Om. Banyak yang bakal berubah dan makin banyak lagi karena itu bukan perpisahan sehari, tapi selamanya. Verzet dan Dinda nggak mau itu jadi tadi siang kami ke pengadilan..."
"Apa?" Wajah Tom terlihat kaget.
" Tadi kami main di rumah Maria. Mama Maria hakim di Pengadilan negeri. Jadi waktu Maria dan Kakaknya mau ke pengadilan buat ketemu mamanya yang ngajak jalan bareng, kami ikutan ke pengadilan karena Verzet mau ketemu sama hakim yang mimpin sidang cerai Om dan Tante... Mau minta hakim itu buat nggak ngizinin Om dan Tante cerai. Tapi hakimnya bilang dia nggak bisa memutuskan begitu kalau Om dan Tante maunya pisah, hakimnya cuma ngasih waktu buat Verzet bikin Om sama Tante baikan lagi. " Tom menghela nafas panjang sambil menyugar rambutnya dengan perasaan bersalah. Nggak seharusnya anak-anaknya keluyuran di luar sana untuk memperjuangkan agar dia dan Vanila tetap bersatu. Ini menyakitkan, tapi dia sudah melakukan segala cara untuk membuat Vanila merubah keputusannya dan itu semua tidak ada gunanya. Vanila tidak mencintainya lagi sejak Vanila mengetahui perselingkuhannya. Parahnya memandang wajahnya saja menyakitkan bagi Vanila. Dan dia tidak ingin menambah kesakitan yang Vanila rasakan. Pergi menjauh adalah yang terbaik bagi kasusnya. "Hakim itu bilang dia bakal menunda sidang Om dan Tante dua mingguan dan berharap Verzet bisa menyatukan kalian. Jadi besok, Verzet memintaku mengajak Om ke stasiun kereta api. Verzet bakal ajak Tante Vanila ke sana juga. Verzet berharap kalian bisa mengingat saat pertama kalian bertemu dan jatuh cinta."