"Bisa tolong telpon kan Tom saja?" Andy mendumel mengingat ucapan Vanila padanya. "Tom. Tom. Tom. Bahkan disaat horny kau bahkan lebih menginginkan dia daripada aku? Sehebat apa seorang Tom? Malam ini kau akan mengakui aku lebih dari Tom. Kau akan melupakannya seumur hidupmu mulai saat ini dan kau tak akan keberatan menyematkan namaku di nama indahmu, Vanila Astanervary Herline."
Andy bersandar menanti Vanila beberapa menit di depan toilet wanita. Cukup lama sampai akhirnya Vanila muncul di hadapannya dalam wajah terkejut.
"Kau masih menungguku?"
"Kau lama sekali di dalam." Vanila menarik ujung bibirnya dengan kaku. Tak mungkin juga dia katakan kalau dia sibuk membasahi tubuhnya gara-gara perasaan sialan ini. Andy menatap sekujur tubuh Vanila. Pakaian wanita itu terlihat basah dan itu mencetak tubuhnya dengan sempurna bagaimana pun Vanila mencoba menutupinya dengan tas di tangannya, tetap saja hanya sebagian kecil bagian tubuhnya yang tertutupi. Dan sialnya itu bagian paling hot. Dada Vanila. Dan wanita itu nampak makin menarik saat bergoyang ke sana ke sini akibat alkohol yang dia minum- tidak banyak padahal. Kalau bukan karena banyaknya orang yang memasuki toilet- Andy berpikir mungkin dia sudah menyerbu masuk sedari tadi dan mandi bersama Vanila. Persetan bahwa ini toilet umum club malam di sebuah hotel. Bahwa orang-orang bisa saja melihat mereka dan menjadikan mereka sasaran tembak buat gosip panas terbaru. Untuk kali pertama dia tidak keberatan sama sekali digosipkan- bahkan dia akan meminta Madya untuk tidak mengklarifikasi dan membersihkan rumor itu dari hadapannya.
"Aku tentu saja harus menunggumu untuk memberitahu jawaban Tom." Mata Vanila mendelik tajam.
"Tom menelponmu?"
"Kau yang meminta aku menelponnya."
"Aku memintanya?" Vanila terkekeh tak percaya. "Bohong." Dia menoel hidung bangir Andy dengan tubuh bergoyang-goyang. "Aku mungkin menyuruh orang asing menelpon Tom, tapi tidak mungkin menyuruhmu. Tom tidak menyukaimu. Tom bilang kau bukan orang baik."
"Vanila, kau mabuk.Tentu saja kau yang memintaku." Andy menangkap tangan Vanila, tapi wanita itu segera menarik tangannya.
"Kau mau mencuri cincinku lagikan?" Vanila melototkan matanya sambil mendekap tangan kirinya dengan tangan kanannya. Melindungi cincin pernikahannya yang berharga. Andy menatap hal itu lalu merasa kesal sendiri melihat bagaimana Vanila melindungi benda itu.
"Tom bilang dia menunggumu di kamar hotel 1023. Aku akan mengantarmu." Andy bicara langsung ke pokok pembicaraan. Vanila menatap Andy dengan tak percaya.
"Kenapa Tom mengatakan hal itu padamu? Bukankah itu aneh? Seharusnya dia mengatakannya langsung padaku. Dia jelas punya nomorku. Aku tidak akan ikut denganmu." Vanila mengoyang-goyangkan jari telunjuknya sambil melangkahkan kakinya meninggalkan Andy begitu saja membuat hati pria itu sakit seketika melihat ketidak percayaan Vanila padanya. Walau Andy harus mengakui betapa pintarnya Vanila karena masih bisa mengobservasi keadaan di saat dia mabuk.
"Dia kehabisan baterainya. Jadi sebelum dia tidak bisa memberitahukannya padamu, dia memberitahu aku." Andy berdusta dengan begitu konyol karena pada detik selanjutnya setelah menghentikan langkahnya dan menatap wajahnya lekat-lekat, Andy melihat Vanila meraih ponselnya dengan susah payah dari dalam cluch hitam dengan blink-blink yang dia dekap begitu erat di dadanya untuk menutupi kebasahannya. Jatung Andy seketika berlomba.
Dia harus bergerak cepat dan menjatuhkan ponsel Vanila sebelum panggilan itu tersambung dan Tom mengangkat panggilan Vanila lalu Vanila menyadari kebohongannya. Baru saja Andy akan melakukan niatnya ketika Vanila menurunkan ponselnya dari telinganya. Ponsel Tom tidak aktif. Andy tidak berdusta padanya.
"Aku bisa pergi sendiri ke sana. Terima kasih, Andy." Vanila berkata sambil tersenyum padanya. Namun menyadari bukan dia alasan senyuman itu, hati Andy remuk seketika.
Sejenak Andy membiarkan Vanila melakukan apa yang diinginkan wanita itu. Pergi sendiri ke kamar. Dia akan tiba belakangan juga tidak apa. Pada beberapa orang yang berpapasan dan bertanya, Vanila mengatakan dia akan menemui suaminya di kamar hotel lengkap dengan tawa manisnya yang manja. Pada orang yang menawarkan diri untuk menemaninya, Vanila juga menolak.
Tante Desi memberi Vanila nasehat seharusnya jika Tom pria baik untuk membicarakan rumah tangga mereka, dia memilih di rumah dan pada siang hari.
Vanila menyambung bahwa Tom memang bukan pria baik jika sudah merindukannya. "Tom suka bibirku...kalau sudah menciumnya dia kadang lupa kalau aku dan dia harus bernafas. Dulu dia sering membuat bibitku bengkak...juga..."
"Iya. Iya, Vanila." Tante Desi menyetujui ucapan Vanila daripada membiarkan Vanila mengatakan hal aneh-aneh lagi. Vanila jelas terlalu mabuk. "Bukankah kau harus menemui Tom? Ayo, temui dia. Jangan buat dia menunggu." Vanila tersenyum manis.
"Tom bakal jatuh cinta lagi sama akukan? Aku seksi kan? Dadaku..." Vanila menatap dada Tante Desi dan dadanya seakan membandingkan keduanya. "Dada Tante udah kendor." Lalu Vanila meninggalkan Tante Desi dengan wajah melongo karena tidak pernah mendengar seorang Vanila berkata sevulgar itu. Namun memakluminya, Vanila sedang mabuk sekarang. Wanita baya itu memasuki lorong ke toilet saat melihat Andy diam-diam mengikuti Vanila. Mungkin mencemaskan Vanila, pikirnya.
***
Aiptu Sam tiba di rumah Clara tepat ketika rombongan kepolisian dari Jakarta Selatan juga tiba di rumah itu.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" Suara Aiptu Sam terdengar.
"Tentu saja karena kami akan menangkap tersangka kami. Nyonya Clara Wie. Dia menjadi tersangka dari dua kasus percobaan pembunuhan pada Aldy dan Alma Wie juga pada Vanila Astanervary."
"Wow... wow. Kalian tidak bisa membawanya seenaknya. Dia juga melakukan dua tindak pidana pembunuhan di area teritorial ku. Neli dan Widya Mandala adalah korbannya dan Tom Dwiguna melaporkannya atas memasuki rumah orang lain tanpa izin."
"Kamu tidak perduli. Kau yang merusak usaha kami menangkapnya sedari kemarin lalu karena kau menahan bukti kami."
"Apa yang kalian maksud dengan bukti kalian?"