Vanila melangkah dengan sempoyongan dan sukses memasuki lift kembali. Dia mengumpati ketololannya yang bukannya tiba di club malah tersesat ke rooftrop hotel yang ternyata berfasilitas kolam renang. Matanya segera disuguhi pemandangan wanita berbikini dan pria-pria bertelanjang dada hanya dengan sempak. Benar-benar parah. Ada pool party di tengah malam begini?
Tangannya terjulur menekan tombol lift. Di benaknya dia akan kembali ke club dan meminta Pak Munchen untuk menolong Madya. Andy Herline tidak bisa dipercaya.Sama seperti kucing... Andy Herline adalah kucing garong.
Sebenarnya tadi saat sukses keluar dari kamar hotel- dia sudah mencoba menelpon Pak Munchen, pria itu sempat menjawabnya. Mereka berbincang, tapi dia kehilangan pria itu. Signal buruk. Jadi dia memilih menggedor-gedor pintu kamar hotel lainnya. Namun sialnya semua penghuni sepertinya budek. Tak ada yang mau menolongnya.
Vanila menyandarkan tubuhnya di dinding lift. Pemandangan orang-orang bertelanjang di kolam renang tadi membuat sesuatu yang tadinya sempat mendingin jadi panas kembali. Perasaan panas dan bergairah kembali menerjang dirinya membuat pikirannya melantur ke malam pertama yang dia lewati bersama Tom. Vanila bisa merasakan saat Tom menghampirinya dan memeluknya. Aroma tubuh Tom yang hangat memenuhi pernafasannya. Wajah Vanila memerah saat suaminya itu menciuminya.
Ting.
Suara pintu lift yang membuka membuat Vanila tersadar dan segera berdiri dengan santun. Sialan. Entah apa yang terjadi pada dirinya. Vanila meremas gaunnya dengan keras sambil menahan gejolak aneh di sekujur tubuhnya. Dia tidak mau berakhir memalukan dan terlihat murahan di depan banyak orang. Air. Dia butuh mendinginkan dirinya. Mencuci otaknya yang kotor ini pakai detergen anti noda kalau perlu.
"Vanila, kau tak apa-apa?" Seorang pengguna lift itu ternyata mengenalinya dan kebingungan saat Vanila memukuli kepalanya.
"Udara di sini panas sekali, ya. Udara panas selalu membuatku sedikit gila." Vanila merasa semua orang memandanginya kini.
"Nggak panas. Lift ini bahkan dipasangi air cooler." Vanila melirik refleks ke sudut lift. Air cooler dengan ukuran cukup besar berdiri tegak di sudut disana pasti jadi saksi bisu keanehan sikapnya tadi. Uhh, Vanila seketika merasa menjadi orang aneh.
"Tapi kening kamu memang kelihatan keringatan banget sih. Kamu sampai harus mandi atau gimana?" Fix. Semua mata kini menatap penampilan Vanila yang basah dan pasti terlihat aneh.
"Kebanyakan minum, ya?"
"Kayaknya ada yang ngerjain kamu nih, Van." Salah satu pengguna lift menambahkan.
"Lo mau pulang? Lagi nyariin Madya, ya?"
Madya. Ya. Batin Vanila berseru bagaimana bisa dia melupakan Madya. "Club." Baru selesai mengatakan itu seseorang telah menyambung ucapannya.
"Berarti lo salah tekan lantai. Kita udah sampai di lantai satu. Tuh." Pintu lift membuka otomatis dan Vanila bisa melihat lobby hotel yang luas di hadapannya, dari balik pintu kaca otomatis hotel terlihat sebuah kolam yang menyejukkan. Dia butuh mendinginkan diri atau akan berakhir memalukan.
"Beritahu Pak Munchen untuk datang ke kamar 1023. Selamatkan Madya, dia diganggu laki-laki berengsek. Please. Tolong." Vanila mengguncang-guncang lengan wanita itu.
"Tenang. Gue bakal ke club dan bilang ke Pak Munchen. Lo disini. Kita antar lo pulang." Vanila tidak tahu jelas nama aktris itu, tapi wanita itu kelihatan baik. Wanita itu menitipkannya pada teman wanitanya lalu kembali ke lantai atas.
"Kalian memang pahlawan aku. Mummmchhh." Vanila memeluk tubuh teman wanita itu. Mulutnya monyong untuk mencium wanita itu yang seketika memekik keras sambil mendorong tubuh Vanila menjauh darinya.
"Ihhh, Mbak Vanila! Semua orang bisa berpikir kalau Mbak sama aku itu homo...ehhh lesbi.... Jangan peluk-peluk gitu dong!" Vanila yang sempoyongan hanya terkekeh geli. Kemudian memilih keluar dari lobby hotel. Wanita itu mengejarnya, memintanya berhenti. Namun Vanila tidak menurut.
Melangkah ke halaman luar hotel, Vanila memasuki kolam renang yang ada di sisi pagar atas hotel yang memang memakai gaya berundak alias susunan tanahnya naik-naik ke puncak bukit. Dia membenamkan dirinya disana.
"Mbak Vanila, ayo keluar." Wanita itu berkata lagi, "itu bukan kolam renang. Itu kolam ikan. Manager hotel bisa marah karena Mbak membunuh ikan dia."
Vanila tak menggubris ucapan itu. Tangannya meraih sesuatu yang menggelitik bokongnya. "Jangan mengelitik bokong gue." Vanila komplain pada seekor ikan emas yang berhasil dia tangkap. "Kelamaan jadi ikan, ya? Tau aja ada wanita cantik di sini?" Vanila betkata pada si ikan emas yang berada dalam genggaman ke dua tangannya. Lalu tertawa. "Kamu bilang apa?" Vanila mendekatkan si ikan emas pada telinganya. "Apa? Kamu disihir nenek sihir hingga begini? Sebenarnya kamu Tom Dwiguna? Cup... cup.. cup. Kasihan....Tunggu..." Vanila memandangi ikan emas yang mulai megap-megap di tangannya. "Di dongeng kamu itu seharusnya pangeran bukan Tom..., tapi Tom emang pangeran...pangeran aku sih." Vanila terkekah sambil memeluk si ikan di atas dadanya. Sementara suasana di sekitaran kolam ikan makin ramai oleh tamu dan pekerja hotel yang kini menonton Vanila dengan tertawa geli. Beberapa orang bahkan telah mengacungkan ponsel untuk merekam kejadian itu. "Mau aku bantuin biar kamu kembali jadi pangeran maksud aku jadi Tom? Tapi janji jangan merasa ketampanan."
Vanila mencium rongga mulut ikan itu. "Kamu bau. Ihhh...mulai kapan kamu malas mandi? Jorok tau." Vanila menatap si ikan lagi. "Kok kamu belum kembali jadi Tom? Satu ciuman lagi. Oke?" Vanila mencium ikan itu kembali. Satu kegilaan yang dia lakukan. Ikan itu menelusup masuk ke dalam mulut Vanila dan dengan gelagapan Vanila menarik keluar ikan besar itu, untungnya tidak masuk hingga ke tenggorokannya. Hasilnya si ikan melompat kabur ke dalam air kolam.
"Kamu, ya, Tom kalau nyium aku selalu gitu. Nafsuan amat. Awas kamu, ya. Nggak aku izinin cium aku lagi kalau kamu nggak balik ke sini dalam hitungan sepuluh. Aku hitung dari sekarang... Satu..."
***
"Aku nggak mau, Andy." Madya meronta dalam kungkungan Andy. Siapa pun dia harap bisa menolongnya. Entah bagaimana Andy berubah menjadi begitu gila. Namun tak ada yang menolongnya. Vanila benar- seharusnya dia pergi bersama Vanila tadi, seharusnya dia tidak memikirkan harga diri pria ini. Toh Andy juga tidak pernah memikirkannya. Sekarang bahkan Andy melakukan perbuatan yang sangat jahat padanya. "Andy!" Madya menjerit saat tangan Andy dengan kurang ajar menyentuh bagian vital dari tubuhnya. Andy tidak pernah begini, tapi pria itu kini benar-benar melecehkannya.
Tangannya meronta. Kakinya bergerak menyudul ke atas tepat ke selangkangan Andy. Sundulan lutut Madya sukses. Laki-laki itu membeku sesaat, perlahan tangannya menyentuh bagian dimana Madya menghajarnya. Namun sepertinya tendangan Madya kurang keras, nyatanya hal itu tidak juga menyadarkan Andy atas kesalahannya. Kini pria itu tersenyum menyeringai seolah mengejek.