Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #166

#166. Pillow talk

"Tetap di sana. Jangan tidur dulu, aku ambil pakaian kamu dulu. Bajumu basah dan sekarang belepotan muntah."

Tom tidak tahu dia harus senang atau sedih saat menatap Vanila yang nampak berantakan setelah memuntahi pakaian mereka saat tiba di kamar tidur. Mereka sudah tiba di rumah- rumah mereka yang sebenarnya, bukan rumah kontrakan Vanila.

Gerak agresif yang ditunjukkan Vanila sedari tadi sejak mereka bertemu terhenti karena Vanila muntah. Butuh usaha keras bagi Tom untuk menahan cumbuan yang dilancarkan Vanila di seluruh tubuhnya bahkan di saat dia menyetir.

Dia pria normal dewasa dan semua perbuatan Vanila meningkatkan gairah di tubuhnya. Kini butuh usaha juga baginya untuk membersihkan muntahan itu, sementara Vanila bersandar lemah di kepala ranjang dan Tom membuka seperai yang juga di nodai muntahan itu. Berpikir haruskah dia mengganti seperai saat ini?

"Aku bau sekali. Aku mau mandi." Rengekan Vanila terdengar membuat orientasi Tom mencari seperai berubah. Lebih baik dia segera mencari pakaian ganti buat Vanila sebelum isterinya itu berlari ke kamar mandi dan terjatuh.

"Kau mabuk, Vanila. Aku tidak mau kau jatuh di kamar mandi. Kau tahu kalau aku yang menguasai kamar mandi- kamar mandi akan menjadi basah. Tak ada bagian yang kering."

Dia melemparkan sperai ke dalam keranjang cucian yang ada di sudut kamar mandi kamar tidur mereka.

"Bantu aku mandi." Rengek Vanila membuat Tom berhenti sebentar di depan pintu kamar mandi dan tertegun menatap Vanila. Vanila bergerak hendak bangkit dari posisinya.

"Tetap di sana. Besok saja. Oke? Kau bisa mandi sepuasnya."

"Mandikan aku." Mata Tom nyaris melotot mendengar permintaan Vanila. Tidak taukah Vanila itulah yang dia hindari sedari tadi? Dia sudah cukup tersiksa menahan cumbuan demi cumbuan yang diberikan Vanila. Akan kelepasan jika dia melihat dalam waktu lama bagian tubuh istrinya yang harusnya tertutup itu. "Aku memandikanmu waktu kau sakit."

"Kamu cuma melap tubuhku saat aku demam. Aku ingat aku belum pernah sakit sebegitu parah hingga kamu harus memandikanku, Vanila." Vanila nyengir lebar tanpa rasa berdosa. Tom melangkah meraih gayung di kamar mandi. Mengisinya air hangat dan membawanya ke meja kecil di sisi ranjang.

"Kamu memang nggak boleh sakit nanti aku sedih." Tom melirik kembali pada Vanila saat mendengar gumaman kumur-kumur yang tak jelas dari mulut isterinya itu, tapi Vanila tidak mengulangi kata-katanya dan Tom juga tidak berniat menanyakannya kembali.

Tom lebih memilih melangkah ke depan lemari pakaian. Sejenak Tom berhenti di depan lemari pakaian mereka. Memilih pakaian jenis apa yang akan dia pakaikan pada Vanila. Tom meraih lingerie. Bukan karena alasan mesum, dia pikir pakaian jenis itu akan lebih memudahkannya memakaikannya pada isterinya yang kini nampak lemah- ya, muntah Vanila cukup banyak. Sepertinya bahkan isterinya itu memuntahkan semua makanan yang dia makan satu harian dan kini terlihat mengantuk berat-piyama akan lebih butuh tenaga esktra untuk membuat Vanila mengenakannya. Selain itu dia juga meraih washlap.

Dugaan Tom benar, pakaian itu tidak butuh waktu lama memakainya, kini Vanila telah mengenakan pakaiannya kembali. Dia juga telah melap tubuh Vanila: wajah, tangan dan leher isterinya itu. Sudah cukup wangi sabun mandi. Baru akan beranjak dari atas tempat tidur, Tom merasakan tangan Vanila memegang erat jemarinya. Manik indah mata Vanila terlihat sayu. Namun mata Tom membentur cincin yang melingkar manis di jari manis Vanila. Cincin pernikahan mereka yang selama ini telah dilepas Vanila dari jemarinya kini bertengger manis lagi di jari isterinya itu. Tapi Tom tidak ingin berharap lebih pada hal itu. Vanila mabuk, jelas itulah alasan mengapa cincin yang telah dilepaskan Vanila dari jemari manisnya sejak pergi dari rumah-kembali melingkari jemari isterinya itu.

"Jangan pergi, temani aku di sini."

Tom memandangi tubuh sang isteri yang kini hanya mengenakan lingerie hitam. Seksi. Imut. "Kepala kamu masih sakit?" Vanila memang dari tadi mengaku kalau kepalanya seakan mau pecah. Namun sekarang Tom kelihatannya tidak perlu terlalu cemas karena pembicaraan Vanila tidak melantur lagi. Vanila mengangguk. "Aku ambil obat dan makanan. Kamu makan dulu lalu minum obat kemudian tidurlah. Aku akan berganti pakaian baru kemudian menemanimu. Aku di bawah...atau di sofa luar..."

"Aku memuntahimu?" Vanila terkekeh tanpa mendengarkan ucapan Tom. Dia memegangi kepalanya yang masih sedikit pusing.

"Tidak perlu minta maaf. Aku pantas untuk itu."

"Kau marah?"

"Tidak." Tom bergerak dari atas ranjang kembali.

"Aku nggak mau minum obat. Aku benci obat. Kamu tahu itukan?" Vanila memekik. Tom tahu Vanila benci menelan obat sama seperti Dinda. Gadis kecilnya itu akan menjerit histeris lebih dulu sebelum sebuah obat memasuki mulutnya. Dia ingat bagaimana dia dan Vanila harus berbagi tugas agar Dinda menelan obatnya. Dia selalu kebagian tugas menggendong dan membujuk Dinda sementara Vanila memberikan gadis kecilnya itu obat. Selalu menghebohkan jika Dinda sakit. "Kalau gitu makan?" Vanila menggeleng. "Ya, sudah, kalau begitu tidur biar kamu baikan." Tom kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuh Vanila. Lalu menggeser tubuhnya menuju ke tepi ranjang.

"Kamu mau kemana? Pekerjaan kantor lagi? Tom, kau janji akan menemaniku tidur." Vanila mendumel lagi. Namun kini tidak menyebalkan sama sekali.

"Aku akan tidur di bawah. Jangan kwatir, tidak akan terjadi apa-apa..."

"Memangnya siapa yang kwatir? Aku nggak kwatir apapun, sepertinya bahkan kaulah yang kwatir." Vanila menangkup kedua pipi Tom di telapak tangannya lalu menatap suaminya itu lekat-lekat hingga hidung mereka saling bersentuhan. Jangan lupakan bibir mereka yang nyaris tanpa batas. Hembusan nafas Vanila menampar kulit Tom. Tom tidak pernah menyangka dia bisa segugup ini karena posisi sedekat ini dengan Vanila, juga karena tatapan mata Vanila yang intens padanya. Vanila benar dialah yang kwatir. Kwatir tentang kedekatan ini.

"Aku harus berganti pakaian." Tom nyaris melompat saat melihat pergerakan kepala Vanila yang mendekatkan bibirnya pada bibir Tom. Namun niat itu gagal begitu saja ketika Vanila tiba-tiba bangkit dan memeluk pinggangnya. Tentu saja hal itu mengagetkan Tom.

"Van..."

"Aku bilang tetap di sini."

Lihat selengkapnya