Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #168

#168. Home sweet home

Clara memelankan laju mobilnya yang telah tiba di sekitaran depan rumahnya kemudian menatap curiga pada sebuah kendaraan yang terparkir di pinggir jalan. Kawasan kediaman Clara adalah hunian para konglomerat terletak di sekitaran jalan utama. Namun walaupun disekitaran jalanan utama, tapi kawasan itu jelas dijaga ketat oleh petugas keamanan yang memastikan tak ada parkir liar dan kios pedagang kecil.

Jadi jika sebuah mobil terparkir di sana setelah dia menerima laporan dari salah satu pekerja rumah kalau dua kelompok polisi mendatangi rumahnya- jelas Clara yakin mobil yang kini terparkir di jalan depan rumahnya adalah mobil polisi.

Sejujurnya Clara belum mau pergi dari kota ini. Ada Tom yang masih harus dia perjuangkan, tapi tertangkap hari ini akan memupus usahanya untuk memiliki Tom. Dia tidak akan membiarkan kisah cintanya kali ini berakhir dengan kehilangan seperti dulu. Clara memilih menekan pedal gas lebih dalam meninggalkan kawasan rumahnya. "Tunggu saja aku disana, Bodoh," maki Clara.

Dia akan memastikan polisi tidak akan bisa menangkapnya dan yang pertama dia lakukan adalah mencari persembunyian. Villa di Bandung adalah tujuan utama Clara. Setelah aman dari para polisi itu dia akan mencari cara memiliki Tom. Membuat pria itu menikahinya.

***

Tom membuka matanya dan mendapati Vanila tertidur nyenyak berbantalkan lengannya- seperti dulu saat mereka belum bertengkar. Lengannya sudah pasti terasa kebas, tapi itu tak mengurangi rasa nyaman dan bahagia yang menjalari hatinya karena kini mereka berbaikan bahkan tidur bersama lagi.

Mata Vanila tertutup rapat, tarikan nafasnya yang lembut berjalan teratur dan tenang. Isterinya itu nampak sangat cantik. Tom masih ingin menikmati keindahan wajah Vanila, tapi kemudian menyadari tak hanya dia dan Vanila yang ada di rumah ini: ada juga Alfa Romeo. Anak itu jelas harus sekolah dan juga kedua anaknya dan Vanila.

Verzet dan Dinda jelas tengah mencemaskan sang mama yang belum pulang juga hingga pagi hari. Tom berpikir akan menyiapkan sarapan pagi kesukaan Vanila lalu membangunkan sang isteri setelahnya dan mengajak Vanila menjemput Verzet dan Dinda untuk ke sekolah bersama Alfa. Mengingat rencana Verzet yang diberitahukan Alfa kemarin malam padanya membuatnya tak dapat menyembunyikan tersenyum saat membayangkan ekspresi kaget bercampur bahagia yang akan dia dapati dari wajah putra putrinya saat melihat kebersamaannya dan sang isteri.

Perlahan sekali Tom mengecup kening Vanila sebelum bangun dari tempat tidur dan memastikan Vanila tetap tertidur. Dia akan memasakkan sarapan pagi kesukaan Vanila pagi ini.

Tom sedang sibuk di dapur diantara suara mesin cuci yang terdengar beroperasi. Vanila mengeliat bangun dan meraba sisi ranjang lalu menemukan kekosongan. Mengucek matanya, Vanila segera bangkit dari tidurnya, mengikat rambutnya asal dan segera berdoa pagi sebelum merapikan tempat tidur dan kamar tidur. Sebelum keluar dari kamar tidur Vanila meraih jubah lingerienya dan mengenakannya. Hanya ada dia dan Tom di rumah pagi ini pikirnya, terlihat sedikit seksi di depan suaminya sendiri tak apa kan?

Perlahan Vanila melangkah menuruni anak tangga. Rumah ini masih sama, tak ada satupun benda yang berubah posisi. Foto keluarga mereka nampak berjejer di sepanjang anak tangga. Vanila terus melangkah kemudian menemukan Tom yang tengah sibuk di dapur. Begitu sibuknya hingga bahkan tak menyadari kehadirannya. Aroma masakan Tom mengular memenuhi pernafasannya.

Vanila melangkah pelan menghampiri suaminya itu dan segera melingkarkan lengannya pada pinggang Tom, meletakkan dagunya di pundak Tom.

"Sayang? Kau sudah bangun?" Tom bertanya dengan sedikit kaget saat merasakan dekapan Vanila dari belakang tubuhnya.

"Mmmm." Gumam Vanila pelan membuat Tom menoleh ke belakang. Wajahnya bertemu dengan wajah Vanila dan mendaratkan ciuman di bibir isterinya itu. Ciuman ringan. "Kau sedang apa? Kenapa tidak membangunkan ku?" Vanila bertanya usai ciuman mereka.

"Kau muntah banyak sekali tadi malam, jadi aku tidak sampai hati membangunkanmu."

"Aku pasti sangat menyusahkanmu. Maaf."

"Nggak masalah. Kalau kamu tidak mabuk kemarin malam aku rasa kita tidak akan berakhir dengan berbaikan seperti ini. Semua ada sisi baiknya aku rasa. Sekarang aku sedang memasak sarapan pagi. Dan satu-satunya makanan kesukaanmu. Sunny side up." Vanila mengintip isi di dalam kuali kuetiaw goreng lengkap dengan telur mata sapi sunny side up kesukaannya yang ada di teplon. Tom selalu tahu sunny side up adalah makanan kesukaannya. "Bagaimana telurnya? Sempurna?" Tom bertanya sambil memindahkan telur tersebut ke atas piring membuat senyum di wajah Vanila tersibak.

"Aku tidak tahu kau bisa memasaknya dengan sempurna." Vanila memuji dan Tom terkekeh. Sebentar kemudian Tom telah meraih kecap manis dan menuangnya di permukaan sunny side up yang baru saja dia masak, meniupnya sebentar lalu dengan sendok menyodorkannya pada Vanila. Vanila menerimanya dan melahapnya dengan mata berbinar.

"Bagaimana enak?" Sekali lagi Vanila mengangguk sambil meraih sendok di tangan suaminya itu lalu menyantap habis sunny side up lalu beralih mengambil beberapa sumpitan kwetiau yang dimasak Tom dengan sumpit stainless steel baru dan meletakkannya pada piring kecil sebelum menyantapnya. Kebiasaan Vanila yang higenis demi Verzet, Tom tahu jelas itu.

Sementara sambil memakan masakan Tom- Vanila dibawa menebak-nebak entah sejak kapan suaminya itu belajar memasak, tapi Vanila tidak mungkin mengingkari masakan suaminya itu: jelas sempurna. Tom menatapnya dengan senyum. Vanila jelas kelaparan pikirnya usai muntah begitu banyak kemarin malam.

Tom melangkah menuju dispenser. Untungnya dia telah membeli air mineral itu kemarin malam di minimarket depan perumahan. Tom mengambil segelas air dan kembali ke hadapan isterinya yang segera meraih air yang ada di tangannya dengan cengiran khas Vanila yang imut. "Aku akan membuatkan masakan lainnya untuk menu makan siang kita nanti. Makanan kesukaanmu yang lainnya tentu saja lengkap dengan sunny side up." Hanya Tom yang tahu dia menyukai semua makanan, tapi dengan sunny side up. Vanila menyadari suaminya itu benar-benar telah kembali padanya karena Tom tahu makanan kesukaannya: sunny side up. Mata Vanila mendelik tajam menatap suaminya itu.

"Makanan kesukaanku? Jangan bilang kau sengaja belajar memasak untuk membuatku terkagum-kagum?"

"Awalnya karena aku ingin membuatkan makan malam terakhir yang istimewa buatmu sebagai perpisahan kita. Jadi aku minta Mbak Asih mengajariku memasak." Vanila menyembutkan air yang ada di mulutnya karena kaget mendengar pengakuan Tom. Bagian atas lingerie hitam yang dia kenakan basah mempertunjukkan bahwa dia bahkan tidak mengenakan dalaman atas bagi wanita. Tom menyeka wajah Vanila saat isterinya itu menatapnya intens.

"Kau yakin kalau kita berpisah aku masih mau menghadiri undangan makan malam yang kau adakan?"

"Aku akan membuat cara agar kau mau datang." Tom berkata yakin.

"Lalu ketika aku datang dan merasakan masakanmu, kau ingin aku mulai menyesali keputusanku berpisah denganmu?"

"Akan bagus jika begitu. Tapi simpelnya aku hanya ingin kau mengenangku sebagai pria baik."

"Jahat dan kejam." Vanila memukul lengan Tom dengan gemas, Tom menangkap tangan itu diantara tawanya yang terlihat indah. Tangannya meletakkan gelas di tangan Vanila ke meja kompor dan kemudian perlahan mengecup punggung tangan isterinya itu dan menarik tubuh Vanila kedalam pelukannya, mendekap Vanila lebih erat lagi. Mata mereka saling terkunci.

"Kau masih memakai lingerie?" bisik Tom sambil mengamati wajah sang isteri. "Sadar nggak lingerimu kini basah? Mau menggodaku?"

"Siapa bilang? Kau yang memakaikanku pakaian ini tadi malam dan apa yang kau lakukan semalam padaku? Apa belum cukup?"

"Tidak pernah cukup bila denganmu."

"Dasar mesum." Vanila berpura-pura jual mahal. Tom terkekeh.

"Mesum sama isteri sendiri nggak apakan? Making love with me in the morning?" Tom mencium leher Vanila membuat Vanila kegelian. Perlahan tangan Vanila mengalung di leher suaminya itu.

"Stop main-main, Tom." Vanila menangkup wajah suaminya itu di kedua telapak tangannya. Lalu mencium bibir Tom kembali kali ini sedikit agak lama sebelum dia mengakhirnya dan angkat suara. "Aku rasa kita punya banyak urusan. Paling tidak aku harus menemui pengacaraku kan untuk meminta mereka memohon pada hakim agar menolak tuntutanku padamu supaya kita tidak jadi bercerai?"

Tom mengangguk setuju. "Aku akan menemanimu menemui mereka. Beritahu kapan kita akan menemui mereka? Aku free sekarang... maksudku...ada sih yang harus kukerjakan. Aku janji pada Mbak Asih untuk membangunkan warteg buatnya agar dia bisa bekerja di rumah. Kasihan anak-anaknya nggak dapat perhatian Ibu mereka karena ibunya sibuk cari duit. Kemarin lalu anak-anak Mbak Asih sampai sakit tipus...Aku pikir- Mbak Asih pandai memasak kenapa nggak jualan di depan rumahnya saja. Rumahnya depan terminal. Pasti bakalan ramaikan? Daripada nunggu cocok harga sama orang yang nawar rumahnya kan lebih baik...."

"Baiknya suami aku," puji Vanila gemas sambil memberikan kecupan ringan pada bibir Tom. "Tapi kamu tahu nggak itu yang buat para wanita selalu salah tafsir sama sikap kamu. Udah keterlaluan gantengnya, masih keterlaluan baiknya. Keterlaluan ramahnya." Vanila mencubit kedua pipi Tom dengan keras hingga suaminya itu mengaduh. "Stop memperhatikan wanita lain. Perhatikan aku saja." Vanila merajuk.

Tom mengelus pelan kedua pipinya. "Masak kamu cemburu juga sama Mbak Asih?" Tom mendekap tubuh Vanila kembali. "Jelas aku akan selalu lebih memperhatikan isteriku ini daripada wanita lain sekarang dan selamanya. Lebih baik aku mati daripada kehilangan kamu dan anak-anak. Aku serius, Van." Manik mata Tom yang terluka menatap mata Vanila, menyadarkan Vanila entah bagaimana dia kembali menyakiti hati suaminya itu. "Aku tahu aku salah dan aku tahu betapa sulitnya buat kamu melu...."

Vanila segera membekap mulut itu dengan telapak tangannya. "Maaf. Maaf, Tom. Tidak akan bicara seperti itu lagi. Janji. Jangan marah. Jangan sedih. Aku nggak bermaksud meragukan kamu, mungkin cuma sedikit cemburu..."

"Ngapain cemburu? Kamu akan selalu jadi pemilik hatiku. Jangan mikir aneh-aneh lagi. Oke?" Vanila mengangguk. Tom mendekap isteirnya itu erat sekali. "Kalau kamu nggak mau aku bantuin Mbak Asih, aku nggak bakal pergi kok."

"Nggak. Kamu harus pergi. Kamu udah janji dan laki-laki sejati harus menepati janji. Lagian hari ini juga aku bakal sibuk di lokasi syuting. Kita temui pengacaraku besok pagi." Vanila menggerakkan jari lentiknya di sekitaran kening Tom yang terlihat sedikit berkeringat. "Aku akan pulang agak malam sepertinya. Siapa yang lebih dahulu pulang, harus menunggu yang belakangan."

Tom tersenyum manis dan mengangguk setuju. "Aku bakal nunggu kamu seperti kamu nunggu aku pulang kerja selama ini." Vanila terkekeh. Beberapa saat kemudian suara teriakan Alfa terdengar mengagetkan keduanya.

Lihat selengkapnya