Madya membuka matanya dengan gamang kemudian menyadari bahwa dia berada di kediaman Pak Munchen. Kemarin malam dia memang memaksa Pak Munchen dan isterinya untuk mengantarkannya ke apartemennya saja dan tidak menginap di rumah mereka. Namun keduanya menolak permintaannya karena mengkhwatirkan keadaanya.
Menghembuskan nafasnya, Madya kemudian memilih bangkit dari tidurnya saat menatap jam dinding yang telah menunjukkan pukul tujuh pagi. Dia tertidur tiga jam, pikirnya. Penerbangan yang akan membawanya kembali ke Paris dengan transit di bandara Changi akan terbang pukul sepuluh pagi. Dia harus segera berpamitan untuk kembali ke apartemennya dan mengepak beberapa barang yang belum sempat dia pakcing.
Perlahan Madya melangkah menuruni anak tangga rumah keluarga Munchen. Dari anak tangga dia bisa melihat keriuhan di pagi hari dari keluarga kecil Pak Munchen. Ada dua orang anak laki-laki yang telah cukup dewasa sekitaran dua puluh tiga hingga dua puluh lima tahun-an mengecup pipi isteri Pak Munchen saat wanita itu nampak tengah sibuk bertelepon entah dengan siapa.
Madya melangkah turun dan segera menjadi objek tatapan mata kedua anak Pak Munchen.
"Pagi semuanya," sapanya selaku tamu di rumah ini. "Pagi Bu Marsha."
"Pagi, Madya."
"Ini siapa, Ma?" Salah seorang anak Pak Munchen bertanya dan mengulurkan tangannya dengan cepat ke depan Madya yang segera membalas uluran tangan itu.
"Madya."
"Nggak tanya status pendidikan kamu. Tanyanya nama. Kan bukan lamaran kerja." Cowok yang gantengnya seganteng Pak Munchen membuat mata Madya membulat tak paham. "D3 kan? Ahli madya? Awuuu, Mas Awan." Sebuah getokan segera mengenai kepala cowok ganteng itu. Dia mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit.
"Modus mulu lo dekati anak orang."
"Jadi mau lo gue dekati anak lo? Emang lo pikir gue insek..."
"Insektisida maksud lo atau insektivora?" Si abangan yang dipanggil Awan menyerang ucapan si adik dengan judes, "ngomong incest aja lo belum betul. Belajar dulu baru pacaran."
"Sontoloyo! Lo pikir umur gue berapa?! Gue dua puluh empat tahun dan lulusan Cambridge university."
"Om Sandy, ngomongnya kok gitu? Kata Papa bilangin orang sontoloyo- itu nggak bagus loh." Suara seorang bocah perempuan terdengar menengahi kedua pria dewasa yang bersikap kanak-kanak itu. Kejadian selanjutnya kedua pria itu segera berusaha saling menyalahkan satu sama lain. Gadis kecil berusia dua tahun berteriak keras sambil menutup telinganya menghadapi tingkah kedua Om-nya. Lucu dan menggemaskan.
"Kalian ini, ya. Selalu begitu." Isteri Pak Munchen memukul lengan kedua anak laki-lakinya sambil menggendong gadis kecil yang imut itu.
"Jangan buat Erica pusing pagi-pagi begini."
"Erica?" Madya mengulang nama itu. "Nama kamu Erica?" Gadis kecil yang ada di gendongan istri Pak Munchen itu mengangguk. "Teman Tante juga dulu ada yang namanya Erica, uniknya nikahnya dengan cowok yang namanya kembaran: Eric. Jodoh sejak dalam kandungan kalee." Madya terkekeh sendiri pada omongannya sementara yang lain menatapnya serius.
"Seperti Mama dan Papa Erica kalau gitu," celetukan Awan membuat Madya terbatuk-batuk. "Papanya namanya Eric, Mamanya-Erica. Jodoh sejak kandungan."
"Coba kalau nyari jodoh semudah itu. Nama lo Awan berarti pacar lo: Awin."
"Lo Sandy. Pacar lo harusnya Andy."
"Lo kira gue jeruk makan jeruk?!"
"Nggak gue kira lo durian makan sirsak." Keributan terjadi lagi diantara dua pria muda itu.
"Kalian ini, ya, ribut mulu pantasan nggak laku-laku!" Sang mama memekik lalu mengajak Madya ikut bersamanya ke meja makan. "Madya, kebetulan kamu udah bangun, ayo, sarapan bareng Erica dan Tante aja. Tolong lupain saja dua anak itu. Usianya aja yang dewasa, kelakuan lebih kanak-kanak dari Erica bahkan."
"Mammi, mau mimik..." Awan mengguncang tangan mamanya sementara sang adik Sandy mendekap mamanya yang tengah menggendong sang keponakan: Erica.
"Apaan sih kalian ini?! Nggak tahu apa kapan waktunya bercanda dan kapan waktunya serius?" Si ibu menjewer telinga putra keduanya hingga membuat pria itu menjerit. Si adik buru-buru menghindari sang mama dengan menertawakan si abang. Memaksa Awan minta maaf dan berjanji tidak akan pernah mengulangi kelakuan absurd-nya.
"Sekarang kita ke meja makan, yuk. Si Bibik pasti udah nyiapin sarapan."