Madya melangkah pelan keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah, dia memakai hanya sehelai handuk putih kekecilan- satu-satunya handuk yang dapat dia ditemukan di dalam lemari pakaiannya yang telah kosong melompong. Jelas semua sudah dia masukkan ke dalam koper dua hari lalu. Tetesan air masih menempel di kulit beningnya klop dengan aroma manis yang menyebar dari sana hasil dari sabun kecantikan merk internasional yang dia pakai selama ini.
Madya menatap sebentar pada seluruh kamarnya yang telah rapi, hanya tinggal barang-barang besar semacam ranjang, lemari pakaian dan meja belajar yang masih berada di sana. Semuanya dalam keadaan tertutup kain putih. Hasil kerja kerasnya sebagai manager seorang Andy Herline.
Entah berapa lama dia akan pergi, dia sendiri tidak tahu- apa dia akan kembali atau memilih bekerja serabutan di negara orang lain. Banyak luka yang tercipta di sini. Setiap kali kembali sebuah luka baru bertambah. Dia bukan seseorang yang suka melarikan diri, tapi hari ini- dia ingin sekali melarikan diri sejauh-jauhnya bahkan jika bisa membiarkan bumi menelannya.
Madya mengenakan pakaiannya, dia bahkan tidak tahu kalau seseorang memasuki apartemennya dan melangkah menyusuri kediamannya. Andy Herline menatap nanar pada tumpukan koper-koper yang berjejer di depan pintu dan kain putih yang menutupi perabotan yang ada. Madya jelas ingin pergi ke suatu tempat. Apa itu karena perbuatannya? Batinnya bertanya-tanya. Namun melihat deretan koper itu membuatnya sedikit merasa nyaman karena itu berarti Madya belum pergi, masih ada kesempatan untuknya bertemu Madya dan minta maaf pada semua kesalahannya.
Dia sudah menanti Madya dari kemarin malam di sini, tapi gadis itu tetap tak datang. Dia telah pergi ke rumah Pak Munchen beberapa jam lalu, tapi pria itu bahkan tidak mengizinkan satpam rumahnya membukakan pintu pagar buatnya dan mengancam akan menyebarkan perbuatannya di media sosial jika dia masih membuat huru hara di rumah pria itu. Jadi dia memilih menunggui Madya di luar sana- di dalam mobilnya, tapi sialnya dia malah ketiduran malam itu dan baru bangun beberapa menit lalu. Kemudian memilih kembali kemari.
Andy melangkah menyusuri bagian apartemen Madya dengan lesu. Tak pernah merasa seaneh dan sesunyi ini. Lalu tatapannya berhenti pada pintu kamar Madya, dia akan merebahkan tubuhnya di atas ranjang sambil menanti kepulangan Madya seperti biasanya saat dia melarikan diri dari kesibukan dunia- kemudian memaksa si pemilik apartemen malah tidur di sofa. Ya, apartemen Madya adalah apartemen unit termurah dengan satu kamar tidur. Kalau tidak melihat kawasan apartemen ini- Andy merasa ini lebih seperti rumah susun. Berkali-kali dia sudah meminta Madya pindah ke unit yang lebih luas atau membeli dua unit lainnya dan menjadikannya satu- dia bahkan menawarkan akan mendahulukan pembayaran, tapi Madya yang keras kepala menolak. Perlahan tangan Andy menguak pintu putih itu.
"Siapa..." Suara Madya terhenti saat menatap sosok yang muncul di ambang pintu kamarnya. Andy Herline. Sial, dia melupakan kenyataan bahwa apartemennya bukan tempat yang aman karena Andy Herline mengetahui kunci elektronik dari unit apartemennya. Sebelum pertengkaran mereka, pria itu biasa datang dan pergi seenaknya dari apartemennya bahkan tanpa meminta izin. Kadang hanya untuk menyembunyikan diri dari keributan yang dia buat sendiri di luaran sana. Madya buru-buru menarik celana panjang yang baru dia kenakan sebatas betisnya. Untungnya dia sudah mengenakan kemeja di bagian atas tubuhnya.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Pekiknya sambil meraih sebuah kemoceng di atas meja lalu menyadari bahwa benda itu tak akan mampu menyelamatkannya dari kebejatan Andy Herline jika pria mesum itu berniat mengulang kembali kejadian kemarin.
Tubuh Madya menegang. Dia tidak akan pernah membiarkan Andy Herline melecehkannya kembali. Tidak sekarang atau kapan pun lagi. "Keluar dari apartemenku sekarang juga atau aku akan berteriak."
"Aku hanya ingin bicara, Madya."
Madya semakin memegang erat kemocengnya saat Andy bergerak maju. "Kalau kau ingin memastikan apa aku akan menyebarkan perbuatanmu kemarin, kau boleh merasa tenang karena aku tidak akan mengatakan apa pun pada orang lain." Dia mengacungkan kemoceng di tangannya dengan tangan gemetar. "Aku juga sudah meminta Pak Munchen untuk tidak menyebarkan hal itu. Sekarang pergi dari sini. Jangan mendekat. Semua hubungan yang ada diantara kita sudah berakhir kemarin malam. Aku bukan lagi manager yang terikat kontrak padamu dan bukan lagi sahabat mu."
Andy Herline menatap Madya dengan tatapan yang tak dapat diartikan oleh wanita itu. Tangannya yang gemetar, wajahnya yang nampak ketakutan. "Berhenti di situ, Andy Herline atau kau akan membuat semua ini menjadi skandal besar yang menghancurkan karir dan hidupmu. Aku tidak main-main."
Sekilas Madya melirik pada jendela yang terbuka lebar di sisi kanannya. Jika Andy macam-macam dia akan melompat dari jendela itu. Pria itu akan tahu dia tidak main-main pada ancamannya walaupun itu berarti dia harus kehilangan nyawanya.
"Berjanjilah padaku kau tidak akan pergi."
"Kau tidak bisa membuatku berjanji apapun lagi. Tidak lagi." Madya tertawa getir.
"Kalau begitu aku tidak akan membiarkanmu pergi."
"Kau pikir kau siapa?" Parau suara Madya terdengar menahan gejolak perasaannya.
"Pria yang kau cintai dalam diam." Andy Herline mengacungkan sebuah buku tebal yang dia ambil dari balik jaket kulit hitamnya. Buku harian Madya. Madya ingat dia meletakkan buku itu di dalam sebuah kardus kecil yang niatnya akan dia tenteng ke kabin penumpang. Berpuluh buku diary tentang hidupnya yang sebagian besar juga menulis tentang Andy Herline. Setelah kematian ibunya, di usianya yang sangat belia dan pertengkaran keluarga besar saat membesarkan dan merawatnya membuatnya cukup depresi. Tante Yohana- adik perempuan ibunya membawanya ke psikolog. Psikolognya memintanya menulis segala kerisauan hatinya di dalam buku harian alih-alih memendamnya di dalam hatinya walau jelas itu hanya usaha si psikolog untuk mencari tahu dirinya dan memahaminya karena di tiap sesi pertemuan dia hanya diam. Mulai hari itu dia menulis buku harian yang awalnya cuma sebuah deretan kalimat makian dan amarah kepada semuanya: pada papa dan mamanya, pada Tante dan Om-omnya, pada sepupu-sepupunya, pada guru dan teman-teman sekelasnya bahkan pada Tuhan sampai dia bertemu Eric. Lalu tulisannya mulai berisi cinta walau berakhir luka.
Dia sempat berhenti menulis buku harian dan memilih mengikuti Om Juan-adik laki-laki mamanya dan keluarganya yang pergi ke Amerika untuk kuliah di sana walau studynya berakhir dengan drop out. Om Juan sangat marah dan dia memilih kabur hanya dengan meninggalkan selembar kertas permohonan maaf dan pamitan. Dia kabur ke Eropa. Bekerja serabutan di sana hingga suatu hari dia bertemu Andy Herline. Pria yang juga lari dari kenyataan hidupnya, pria yang bekerja bukan untuk makan- tapi lebih karena ingin bersenang-senang.
Intinya Andy Herline pasti menemukan buku-bukunya di sana. Beraninya pria itu membuka kardus yang sudah dia tutup dengan rapi.
"Beraninya kau membukanya," Madya mengerang marah.
"Buku harian ini tentangku. Aku berhak mengetahuinya."