Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #172

#172. Surat Lamaran Penuh Ancaman

Tom tiba lebih dahulu di rumah dari pada anak-anak. Tepat beberapa detik setelah sebuah mobil melaju meninggalkan rumah mereka. Hari masih terlalu pagi untuk menerima seorang tamu. Tom menatap sekejap pada mobil mewah Lamborghini hitam yang perlahan menghilang dari pandangan matanya.

Dia dan anak-anak baru saja melakukan balapan sepeda pagi ini sebagai olah raga pagi di hari libur keagamaan- agama lain yang mencapai tiga hari karena terkena hari terjepit nasional- Sabtu dan Minggu. Menyambut hari libur ini, Tom dan Vanila sepakat untuk mengunjungi rumah papa dan mamanya di Bandung. Vanila jelas pasti tengah kembali disibukkan urusan rumah tangga. Saat dia tinggalkan tadi, Vanila tengah bersiap menyapu rumah. Tom telah membantu sedikit hal kecil- menjemur pakaian dan ketika akan membantu lebih banyak, Vanila memintanya menemani anak-anak mereka dan Alfa yang berniat olahraga pagi balapan sepeda. Kemarin lalu Aiptu Sam mengizinkan Alfa membawa sepeda BMX nya dari rumahnya yang masih dijadikan TKP dan ditutup polisi.

"Pak Tom. Untung ketemu." Satpam perumahannya menyodorkan sebuah amplop coklat ke hadapan Tom. "Kemarin datang, tapi Bapak dan semuanya nggak ada di rumah. Jadi saya terima saja." Tom mengucapkan terima kasih atas perhatian si satpam yang menganggukkan kepalanya tanpa melepas senyum di bibirnya. "Saya senang Pak Tom dan ibu udah baikan lagi. Saya doain mudah-mudahan Bapak sama ibu akur selamanya, ya?" Tom menganguk.

"Terima kasih buat doanya, Pak Mul," ucap Tom saat satpam itu mulai bergerak lagi melakukan tugasnya seperti biasa mengelilingi kawasan perumahan. Memastikan semua aman dan kejadian dimana Clara memasuki rumahnya secara diam-diam atau kejadian pembunuhan yang menimpa Neli dan Widya Mandala tidak terulang lagi. Para penghuni perumahan sempat melayangkan protes keras pada para satpam dan pengurus perumahan setelah kejadian yang menimpa ibu dan Tante Alfa. Mereka membayar cukup mahal untuk perumahan ini dan juga uang keamanan untuk menjamin keselamatan, keamanan dan kenyamanan tempat tinggal mereka. Sangat disayangkan ternyata para satpam melalaikan kewajiban mereka untuk melindungi dan menjaga keamanan perumahan.

Reformasi di tubuh satpam perumahan dilakukan. Satpam yang berjaga di hari terbunuhnya Neli dan Widya kemudian diberhentikan. Kepala para satpam juga nyaris diberhentikan bersama dengan satpam yang berjaga pada hari Clara memasuki rumah Tom, tapi karena tidak terjadi apa-apa- Tom memilih memberi pria itu kesempatan sekali lagi.

Tom menatap sepucuk surat bersampul coklat yang dia terima dari satpam perumahan. Menatap nama pengirim di sampul surat dari Vinci SA, sebuah perusahaan konstruksi yang berkantor pusat di Perancis. Perlahan Tom membuka surat itu. Matanya segera membelak bahkan sebelum membaca surat yang ada di tangannya karena sebuah cincin menggelinding jatuh di bawah kakinya. Tom hanya menatap cincin itu dengan wajah dingin.

Tom belum membaca surat itu, tapi menyadari dia terkecoh. Bagaimana bisa dia tidak mencurigai surat itu? Seharusnya dia sudah tahu Vinci SA tidak mungkin mengirim surat konvensional begini- surat langsung dari Perancis sementara hanya dengan email semua bisa lebih cepat. Dia menebak surat ini jelas dari sosok itu. Ya, seharusnya dia bisa memikirkan: Clara lah pengirim surat ini bahkan sebelum membukanya. Sama seperti surat-surat elektronik yang dikirimkan Clara ke email boxnya. Memenuhi keranjang sampahnya sebelum dia memblokir email Clara dan email-email baru lainnya yang dikirim wanita itu.

Namun merasa ingin tahu, Tom memilih membaca surat yang ada di tangannya. Kali ini isi surat ini nampak lebih serius dari isi dalam email yang dikirimkan Clara padanya.

Kalau di email Clara merayunya kadang dengan cara cukup memalukan dengan mengirim foto-foto diri wanita itu sambil mengenakan pakaian minim atau bahkan naked- yang segera memasuki keranjang sampah email Tom- kini Clara memakai metode baru. Ancaman buat Vanila dan anak-anaknya- lebih tepatnya Clara memintanya kembali jika ingin Vanila dan anak-anaknya selamat.

Clara mengajaknya menikah. Wanita gila itu bahkan memberinya tengang waktu untuk menjawab lamaran penuh paksaan itu. Tom meremas kertas itu dengan kesal, tepat ketika Vanila berteriak dari kejauhan sambil menghampirinya.

"Sayang, kenapa tidak masuk?" Vanila menatap Tom yang segera membuang kertas yang ada digenggamnya ke jalanan depan rumah. Dia tidak ingin Vanila jadi cemas karena kertas itu

"Tadi baru ngobrol sama Pak Mul." Vanila celingak-celinguk ke kanan dan kiri. "Pak Mul udah pergi." Tom menjelaskan. Vanila manggut-manggut.

"Anak-anak dimana?"

"Mereka ketinggalan dari aku. Bentar juga nyampek. Tadi udah di pagar kedua kok. Di kalster perumahan kita."

"Untungnya anak-anak belum nyampek, kalau mereka nyampek mereka bakal dapat contoh buruk dari kamu. Berapa kali aku bilang jangan buang sampah sembarangan?" Vanila bergerak menuju kertas yang baru saja dilemparkan Tom. Namun Tom buru-buru menahannya.

"Sorry." Tom nyengir lebar. "Biar aku aja yang ambil." Buru-buru Tom melangkah memungut kertas surat dari Clara yang dia buang. Tidak bisa dia bayangkan bila Vanila membaca surat ini. Uhhh, benar-benar dia sedang beruntung karena Pak Mul menyerahkan surat itu padanya- bisa sajakan Pak Mul tiba di rumahnya beberapa detik sebelum dia tadi tiba lalu menyerahkan surat itu pada Vanila....- Tom tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana ketakutan dan kesedihan menutupi raut cantik wajah isterinya itu. Tom rasa Vanila tidak perlu merasakan hal itu karena dia akan menjaga keluarganya itu dan memastikan Clara tidak akan pernah bisa mencapai niatnya itu. Dia akan menelpon Aiptu Sam dan melaporkan surat ini.

"Ayo ke rumah." Tom merangkul pundak Vanila sementara tangannya yang lain mendorong sepedanya memasuki pekarangan rumah. "Kamu udah wangi banget." Tom mengendus-endus wajah dan leher Vanila membuat isterinya itu berteriak risih karena kelakuan suaminya.

"Tom. Apaan sih? Nanti anak-anak lihat."

"Kalau anak-anak lihat emang kenapa? Aku cuma perlu bilang, mama mereka wangi sekali dan papa jadi mereka agak sange gitu."

"Tuh kan. Ngomongnya asal ajakan? Anak-anak kamu masih kecil loh, Tom. Kamu mau mereka dewasa sebelum waktunya?" Tawa Tom terlihat. Dia mengecup bibir isterinya itu tiba-tiba.

"Aku cuma bergurau, Sayang. Nggak mungkin juga aku bilang gitu walau beneran gitu deh." Wajah Vanila memerah. Sejak memulai hubungan kembali, mereka memang lebih banyak bermesraan- rasanya kembali ke masa awal pernikahan mereka dulu. Dan entah mengapa itu sangat menyenangkan buat keduanya. Vanila: merasakan Tom menginginkannya sepanjang waktu- dalam artian ingin selalu di dekatnya, memeluknya dan bercengkrama dengannya. Begitu juga dengan Tom. Mereka bahkan bisa bicara berjam-jam sambil bersandar satu sama lain. Rasanya selalu ada yang perlu dibicarakan- tidak membosankan sama sekali.

Vanila tersenyum kecil dan melap keringat yang mengalir di kening Tom. Mata mereka saling memaku. Kemudian Vanila menyadari ketika mereka melintasi tempat sampah, Tom bahkan tidak membuang sampah yang tadi dia pungut. "Kamu nggak buang sampahnya? Mau dikoleksi?"

"Sampah?" Vanila mengangguk saat Tom terlihat sebentar kebingungan.

"Di dalam sakumu."

Tom terkekeh sambil menyugar rambutnya. Tentu saja yang dimaksud Vanila adalah kertas yang tadi sempat dia buang. Vanila menganggap kertas itu sampah, padahal itu adalah bukti yang akan Tom tunjukkan pada Aiptu Sam nanti. Namun tak ingin membuat Vanila curiga, Tom membuang kertas itu dengan hati-hati di dalam tempat sampah agar posisinya berada di tempat teratas. Nanti tanpa setahu Vanila akan dia ambil kembali. Tom baru membuang kertas itu saat suara ribut-ribut terdengar dari ambang pintu pagar.

Lihat selengkapnya