"Dan untungnya kami sedang pergi dari Jakarta beberapa hari ini. Clara..."
Vanila berhenti sejenak saat mendengar ucapan Tom pada seseorang di seberang ponselnya. Tom menjauh dari kamar rawat papanya saat berbicara dengannya seseorang di seberang ponselnya seakan pembicaraan itu sebuah rahasia. Pemikiran itu saja telah membuat pikiran Vanila melanglang jauh apalagi saat dia mendengar Tom menyebut nama itu.... Tom ingin menampiknya bagaimana pun, jelas dia mendengar nama Clara disebut, tapi Vanila tak berniat menjadi penguping. Dia akan bertanya pada Tom atau menunggu Tom menjelaskan padanya lalu mengambil keputusan- baik setelah mendengar penjelasan atau tidak diberi penjelasan apa pun. Dia akan mengetahui kesungguhan Tom dalam perbaikan keadaan rumah tangga mereka. Dia ingin mendengar kejujuran dari bibir Tom sendiri.
Vanila memilih kembali ke dalam kamar dengan beberapa bungkus makanan yang dipesan dari online. Hari sudah siang, anak-anak sudah kelaparan sedari tadi. Kedatangannya segera disambut sorakan senang anak-anak yang sedang berbincang dengan nenek dan kakek mereka. Dinda lah yang lebih dahulu menghampiri Vanila yang sedang menghidangkan makanan di piring plastik yang dibawa ibu mertuanya ke rumah sakit sementara Verzet dan Alfa masih berbincang dengan kakek dan neneknya.
"Alfa, kalau kamu mau kamu boleh menganggap Opa dan Oma juga sebagai Opa dan Oma kamu."
"Terima kasih, Opa- Oma dan maaf soal yang dulu itu." Alfa meminta maaf pada perjumpaan mereka yang tidak menyenangkan karena saat itu dia mengerjai Verzet.
Opa dan Oma tertawa. "Nggak usah diingat-ingat. Verzet saja sudah memaafkan kamukan? Masak kami masih marah. Itu biasa. Waktu kanak-kanak dulu Om Tom lebih nakal lagi dari apa yang kamu lakukan."
"Oya, Oma?" Verzet nampak tertarik. "Kenakalan apa yang Papa lakukan? Ayo cerita dong, Oma-Opa."
Wajah tua itu tertawa. Vanila melirik mertuanya sejenak. "Papa kamu itu setiap hari berkelahi, kalau papamu pulang bonyok-bonyok sih Oma masih bersyukur. Nggak di sekolah- enggak di sekitaran rumah, setiap kali Oma mendengar kabar adanya perkelahian- bisa dipastikan Papa kamu ada di sana. Mukulin anak orang atau mecahin kaca jendela orang atau nyuri mangga tetangga. Uhhh, Oma sama Opa udah hafal kalau ada orang yang datang minta ganti rugi karena kelakukan papa kamu. Setelah sama Mama kamu barulah kenakalannya agak berkurang..."
"Bukan...," Opa memotong ucapan Oma, "nggak cocok kalau dibilang agak berkurang, tapi terhenti."
"Iya, Papa benar. Tom berhenti membuat onar karena dia takut Mama kalian terluka."
Benarkah dia sepenting itu buat Tom? Vanila menebak-nebak, tapi kemudian hanya bisa menghela nafas. Kemudian meraih piring-piring yang telah dia isi dengan pesanan anak-anak dan memberikannya pada anak-anak.
"Ayo makan dulu. Oma juga pasti udah lapar tuh." Verzet dan Dinda terkekeh melihat Oma yang kemudian pura-pura meringis kelaparan sambil memegangi perutnya. Verzet, Dinda dan Alfa segera menerima makanan yang diulurkan Vanila lalu mencari tempat nyaman untuk makan. Ketiganya memilih berdesakan di sofa bed. Kemudian Vanila menyodorkan dua piring makanan pada ibu mertuanya: nasi dan gado-gado dan terakhir mengantarkan semangkok sop daging sapi. Ibu mertuanya menyukai masakan itu.
"Untuk Ibu."
"Kamu juga makan, ya. Bareng Ibu."
"Tapi Tom..."
"Nggak apa. Tom bisa makan sendiri. Sekali- kali kamu makan sama Ibu- Tom nggak akan keberatan." Vanila mengangguk kemudian meraih kotak nasi bagiannya. Tak ada lagi piring. Mereka makan di dekat pembaringan ayah mertuanya, di meja makan pasien yang memiliki empat roda- agak tinggi awalnya hingga Vanila berinisiatif menurunkan tinggi meja itu. "Kamu mikirin apa?" Ibu mertuanya itu bertanya saat Vanila mengunyah suapan pertamanya.
"Nggak ada, Bu."
"Apa Tom melakukan kesalahan lagi?" Vanila terbatuk kecil lalu meraih air mineral gelas yang disodorkan mama mertuanya dari atas meja pendingin. Tepat ketika itu Tom memasuki kamar papanya kembali.
"Wuiiih, udah makan aja. Siapa yang masakin?"
"Pesan online dong, Pa," sambut Verzet diantara kegiatan makannya.
"Wuiiih. Sekarang Mama hobby pesan makanan luar, ya? Kalau dulu Papa bakal diomelin sepanjang hari kalau sempat ajakain kalian makan diluar." Tom terkekeh kecil begitu juga anak-anak sementara Vanila memasang wajah datar tanpa ekspresi. Mama Tom menatap gerak Vanila yang diam dan tak menyentuh makanannya kembali.
"Sebenarnya aku nungguin kamu yang pesan makanan. Kamu dimana aja dari tadi?"
"Oh, aku mencari dokter yang merawat Papa dan bicara padanya katanya Papa boleh pulang besok kalau keadaan Papa lebih baik."
Vanila masih memasang wajah datar. Alih-alih memilih jujur, Tom membohonginya. Seakan dia manusia bodoh. Dia juga sempat menanyakan pada perawat di nurse station yang ada di depan kamar rawat inap ayah mertuanya dan para perawat itu bilang kalau hari ini dokter yang merawat Papa mertuanya sedang keluar kota jadi mana bisa Tom berbicara dengan dokter itu. Namun papa mertuanya memang sudah dapat izin sedari tiga hari lalu untuk pulang, tapi mungkin karena ayah mertuanya cemas akan kembali mendapat serangan jantung di rumah- maka ayah mertuanya memilih tetap di rumah sakit. Vanila masih diam tanpa gerak. Tom lah yang kemudian mendekati isterinya itu dari belakang lalu meraih sendok makan yang ada di tangan Vanila dan memakan makanan Vanila. "Enak," gumamnya sambil menyodorkan sesendok buat sang isteri.
"Aku sedang diet. Habiskan saja." Vanila beranjak dari tempat duduknya.
"Van," suara Mama mertuanya terdengar. "kamu yakin nggak mau makan lagi?"