Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #175

#175. Akhir salah sangka

Vanila sedang membaca dongeng dari ponselnya sementara ayah mertuanya telah tertidur sedari tadi karena berniat bangun lebih pagi agar bisa pulang ke rumah lebih cepat. Kehadiran cucu-cucu memang membuat semangat hidup ayah mertuanya melonjak tinggi. Melihat wajah tua itu Vanila merasa bersalah pernah membuat pria itu mencemaskan keadaan rumah tangganya dan Tom.

Vanila bangkit dari duduknya dan merapikan selimut ayah mertuanya lalu merasakan lapar di perutnya. Namun malas turun ke bawah, kalau memesan makanan online juga, dia tetap harus turun ke bawah untuk mengambil makanan yang diantar. Coba kalau ada yang mengambilkan.

Uhhh, Vanila menepis pikiran itu... Dia baru selesai membaca kisah dongeng Tangkuban perahu. Gara-gara kemalasan dayang Sumbi mengambil alat untuk menenun maka dia bersumpah siapapun yang membantunya mengambil alat menenunnya yang jatuh akan menjadi suaminya dan sialnya alat penenun itu diambil seekor anjing yang tahu bahasa manusia. Itu awal kesialan nasib dayang Sumbi hingga terciptanya gunung Tangkuban Perahu karena putranya ingin menikahinya- yah walaupun Vanila yakin tak ada seekor anjing yang akan membantunya, tapi kalau dia mengucap sumpah semacam dayang Sumbi dan seorang pria ganteng datang...? Itu sebuah kesialan juga buatnya karena dia sudah memiliki suami.

Tepat saat memikirkan hal itu, pintu ruang inap ayah mertuanya terbuka. Vanila menoleh dan menemukan sebuah senyuman manis terlempar padanya. Tom mengangkat tinggi kotak makanan di tangannya.

"Belum makan-kan? Aku bawain makanan buat kamu dengan sunny side up." Tom berbisik di telinga isterinya itu saat melintasi Vanila yang masih berdiri di sisi ranjang ayah mertuanya. Tom meletakkan makanan itu di atas meja. "Aku masak sendiri," ujarnya sambil melepas jaket yang dia kenakan dan meletakkannya di sandaran kursi yang ada di sisi pembaringan papanya.

"Aku udah makan. Ngapain kamu kemari?" Kruuuukkkk. Suara perut Vanila berbunyi kencang. Sudah jam sembilan malam sih, lumrah ususnya meronta. Tom meliriknya kemudian tersenyum. Vanila memilih menghindar ke sofa bed di sudut kamar. Mengangkat kakinya naik ke atas dan siap tidur. Merajuk, pikir Tom sambil mendekati isterinya itu.

"Van, kamu ngerajuk? Kenapa?" Vanila diam. "Aku bukan Tuhan loh, Sayang yang bisa menebak apa yang ada dibenak kamu."

"Nggak perlu jadi Tuhan. Tanya diri kamu sendiri." Vanila berkata pelan sambil memunggungi suaminya itu.

"Aku nggak ngerasa buat salah loh, Van." Ucapan Tom segera membuat badan Vanila berbalik. Matanya menatap tajam wajah suaminya itu.

"Kamu bohongi!" Vanila memekik lalu suaranya menelan tertahan sambil melirik ayah mertuanya. "aku."

"Bohongin apa? Aku ngerasa ngebohongin kamu, Van. Kamu salah paham dan kamu tahu? Yang salah paham akan dapat hukuman." Tom mendekatkan wajahnya pada telinga isterinya itu, "melakukan apapun yang dikatakan orang yang disalahkan. Setuju?"

Vanila bangkit untuk duduk. Matanya memplototi Tom dengan jengah. Saat seperti ini pun Tom masih mampu bergurau. Benar-benar mengesalkan. Namun walau amarah sudah di ujung, dia masih mencoba bicara dengan suara sepelan mungkin agar ayah mertuanya tidak mengetahui pertengkaran mereka. "Kamu masih berhubungan dengan Clara-kan? Kamu nelpon dia tadi di luar ruang rawat Ayahkan?" Tom mencoba bicara, tapi Vanila tidak mengizinkannya, "juga ketika masih di Jakarta, kamu diam-diam ke tempat sampah, diam-diam menelponnya. Kamu nyari ini?" Vanila lalu meraih sesuatu dari kantong celana jeans-nya lalu meletakkannya dengan kasar di telapak tangan Tom.

"Cincin?"

"Iya, cincin kamu dan Clara. Kematian pun tidak bisa memisahkan Tom dan Clara. Manis sekali," ejek Vanila sinis. Tom menatap cincin itu dan membaca tulisan yang ada di lingkaran cincin itu.

"Dapat darimana?" Bukan menenangkannya, Tom malah bertanya hal itu membuat Vanila semakin kesal.

"Penting, ya, kamu tahu aku dapat darimana? Intinya..." Tom menutup mulut Vanila dengan ciumannya membuat Vanila meronta kesal dan berusaha melepaskan diri. Wajahnya jelas terlihat marah ketika dia berhasil melepaskan diri dan melompat menjauhi Tom. Namun tarikan keras tangan Tom membuat Vanila kembali terhempas di sofa bed. Nyaris bahkan membentur dinding rumah sakit karena sandaran sofa itu telah diturunkan Vanila sedari tadi. Untungnya lengan Tom melindungi kepalanya. Kini setengah berbaring dengan wajah Tom yang nyaris nemplok di wajahnya, Vanila merasakan hembusan nafas suaminya itu saat Tom bicara:

"Kamu salah sangka, Van. Aku tidak berhubungan dengannya lagi." Tom mengangkat tubuh Vanila hingga duduk dengan tegak kembali, kemudian dia merogoh saku jaket yang tersampir di sandaran sofa lalu menyodorkan surat yang ada di tangannya pada Vanila. Wajah isterinya itu jelas sudah begitu sendu. Sebentar lagi hujan pasti membasahi wajah itu. "Baca biar kamu tahu." Sejenak Vanila masih diam pada posisinya. Tom tetap menjulurkan surat itu. "Baca biar kamu nggak salah paham lagi."

Akhirnya Vanila meraih kertas yang dijulurkan kepadanya dan membacanya.

Dear my love,

Untuk sekali lagi aku menyadari mencintai itu menyakitkan. Tapi bagaimana aku bisa berpaling darimu? Kau menjeratku hingga kakiku tak bisa melangkah menjauh darimu bahkan walaupun kau terus menyakitiku karena memikirkan dan mengejar wanita bodoh itu.

Aku memberimu banyak sekali waktu dan ribuan maaf, Tom karena aku mencintaimu.

Namun hanya karena aku selalu memaafkanmu, menerimamu dan mencintaimu. Bukan berarti kamu bisa berlaku semaumu. Lautan ada batasnya, begitu juga penantian dan kesabaran ku padamu. Namun sekali lagi cintaku menghalangiku.

Lupakan Vanila. Kita mulai hidup baru kita tanpa bayangannya. Hanya ada kau dan aku. Bahkan kematianpun tidak bisa memisahkan kita. Demi cinta yang kupunya buatmu, hari ini- melalui surat ini: aku- Clara Chang melamarmu Tom Dwiguna: menikahlah denganku.

Kau bisa menjawab lamaran ini dengan datang ke pernikahan kita. Hanya datang karena aku sudah menyiapkan semuanya. Di gedung...

"Clara melamarku dan mengancam akan melukaimu dan anak-anak jika aku tidak menuruti." Tom buka suara.

Atau kau bisa memilih melihat kematian Vanila dan anak-anakmu jika kau menolak lamaranku. Lalu kita akan mati berdua. Kematianpun tidak akan bisa memisahkan kita, Sayang.

Vanila menelan ludahnya dengan keras hingga terasa sakit di tenggorokannya. Clara mengancam Tom. Kali ini mata Vanila beralih, wajahnya yang menekuri surat Clara terangkat menatap wajah suaminya itu. Kini tanpa rasa amarah ataupun ragu. "Aku menelpon Aiptu Sam untuk memberitahunya informasi ini pagi tadi sebelum kita pergi ke Bandung. Aku mengambil surat ini dari tempat sampah untuk memfotonya buat Aiptu Sam. Namun tadi siang... Aiptu Sam menelpon untuk memberitahu bahwa Clara lolos. Mereka sudah ada di gedung pernikahan itu, tapi sepertinya Clara mengetahui aku melaporkannya ke polisi. Aiptu Sam memintaku membawa kalian beberapa waktu ke luar kota sampai Clara ditangkap. Aku hanya tidak ingin kau mencemaskan ini." Tom meraih tangan Vanila, "aku tidak bermaksud membohongimu apalagi kembali padanya, kalau itu terjadi itu berarti aku sudah sinting."

"Maaf, tapi mengetahui Clara melamarmu atau mengancam kita semua tidak menakutkan tahu. Yang menakutkan itu kehilanganmu." Vanila mendekap tubuh Tom dengan erat.

Lihat selengkapnya