Vanila melangkah menuju ke kamar kerja setelah mengetahui dari anak-anak yang tengah bermain boneka-bonekaan kalau Tom ada di sana. Dulu kamar kerja ini tentu saja kamar kerja papa Tom.
Vanila menemukan Tom tengah berada di depan laptopnya yang menyala terang memamerkan beberapa email sementara Tom mengetik sesuatu di sana.
"Sibuk?" tanya Vanila ingin tahu.
"Aku rasa kaulah yang sibuk. Kau bahkan segera meninggalkan kami usai makan bakso dan segera pergi bersama Mama."
Vanila terkekeh. "Ada sesuatu yang tidak pernah aku ketahui selama ini tentang Ibu. Apa kau tahu kalau Ibu selama ini ternyata salah satu penggemarku? Ibu punya semua novelku, beliau bahkan menyimpannya dengan sangat rapi. Kami berbincang tentang novel-novelku. Ibu juga memberiku beberapa ide tulisan yang keren. Kami bicara panjang sekali."
"Yayayaya. Gitu deh kalau ketemu fans." Vanila terkekeh senang sekali. Tawanya membuat Tom juga tertawa.
"Terus kamu ngapain di sini? Nggak main sama anak-anak? Sibuk apaan sih?"
"Hanya membalas beberapa email. Tuhan amat baik padaku, ada beberapa perusahaan menawariku posisi sebagai direktur umum, ada yang bahkan menawarkan aku posisi yang dulu kumiliki di Clement Construction jika bergabung bersama mereka."
"Oya?" Vanila membelalak dan Tom meraih tangannya, membawanya mendekat pada posisi duduk suaminya itu. Vanila memilih berdiri di belakang Tom dan meletakkan dagunya pada ubun-ubun suaminya itu sementara lengannya melingkar di leher Tom dan jemarinya jatuh di dada suaminya itu. Mata Vanila membaca beberapa email yang tengah ditunjukkan Tom. "Aku tahu suamiku adalah pria luar biasa," pujinya saat membaca email-email baru itu. Tom terkekeh sambil mendongakkan kepalanya dan memonyongkan bibirnya pada wajah Vanila yang segera mengabulkan permintaan suaminya itu.
"Suamiku ini, ya, suka sekali minta cium," ucap Vanila gemas sesaat setelah mengakhiri ciuman mereka.
"Kedengarannya konyol, tapi aku benar-benar merasa saat dicium olehmu: diinginkan dan dicintai oleh kamu." Tawa Vanila terdengar renyah. Tom memang kadang kekanak-kanakan
"Jadi kalau aku nggak mencium kamu atau sedikit mencuekinmu- kamu pikir aku nggak lagi cinta sama kamu?" Tom menggoyangkan kepalanya sebagai jawaban. Nampaknya malu untuk jujur. Vanila mencubit gemas pipi suaminya itu, "aduh suamiku yang bentar lagi udah kepala empat kok jadi kayak ABG labil? Dengar, ya." Vanila menangkup wajah Tom dengan kedua telapak tangannya dan memandang lekat-lekat wajah tampan itu. "Aku tetap mencintai kamu walaupun aku tidak menciummu- mungkin karena aku sedang flu atau sariawan atau lagi sentimen karena siklus datang bulan..." Vanila mencoba melihat reaksi suaminya yang kini tersenyum kecil layaknya bocah laki-laki yang kembali bahagia setelah dibujuk sang mama. Laki-laki memang unikkan kadang childish banget, pikir batin Vanila lalu matanya terpahat pada bibir merah Tom yang rasanya semanis es krim. "...atau karena pusing mikirin ulah anak-anak. Aku mencintaimu saat menciummu, aku mencintaimu saat tidak menciummu, Tom Dwiguna." Tanpa meminta izin sang suami Vanila menundukkan wajahnya dan mengecup bibir Tom kembali. Tom membalas ciuman itu. Cukup lama. Kegiatan mereka terhenti karena sebuah panggilan masuk dari telpon milik Tom.
"Mungkin dari Vinci SA." Tom memberitahu Vanila. "Aku baru saja membuka email dari mereka. Mereka bilang hari ini ada pertemuan jarak jauh pada beberapa kandidat yang lulus tes yang kemarin lalu." Tom menatap layar ponselnya yang telah menyala. "Bukan. Nomor dalam negeri."
"Kenapa tidak diangkat?" Vanila menatap Tom yang segera meletakkan alat komunikasi canggih itu di atas meja kerja. "Mungkin dari Brian yang ingin berbicara dengan Alfa? Alfa pasti senang sekali kalau Papanya menelpon."
"Aku yakin itu bukan Brian."
"Darimana kau bisa seyakin itu?"
"Intuisi. Kamu tidak bisa berada sejauh ini hanya karena kepintaran, tapi harus mendengarkan intuisimu juga." Tom berlagak serius. "Saat melihatmu pertama kali intuisiku berkata inilah wanita yang bakal jadi istriku selamanya."
"Modus. Masih pagi woi, udah modus aja."
"Beneran. Ini punya isteri kok nggak percayaan sama suami sendiri. Dari awal aku melihat kamu dan ngejar-ngejar kamu aku tidak pernah berniat main-main karena intuisi itu."
"Terus dengan Clara intuisimu berkata apa?" Pertanyaan nyablak dan frontal yang seenaknya keluar dari bibir Vanila membuat suasana sepi seketika. Ada kekakuan yang tercipta perlahan. Vanila merasa bersalah melihat rona wajah Tom yang tak nyaman. Tapi mau bagaimana: pertanyaan itu telah terlanjur terlepas dari mulutnya. Vanila menggigit bibirnya.
Tom merasa gamang antara pentingkah menjawab pertanyaan itu atau menganggap pertanyaan itu sebagai angin lalu dan berpura-pura Vanila tidak menanyakan apa-apa padanya.
Ponsel itu kembali berbunyi. Dari nomor yang sama tepat saat Vanila merasa lebih baik minta maaf. "Maaf, aku nggak bermaksud...."
"Intuisiku mengatakan aku akan berada pada masalah besar, tapi saat itu aku memilih melakukan kebodohan dengan tak mengacuhkan intuisiku. Aku minta maaf." Vanila mendekap tubuh Tom dan membenamkan kepalanya di dada suaminya itu. Mata Tom masih sama seperti waktu-waktu kemarin, menampakkan penderitaan akibat penyesalan. Perselingkuhan dan perpisahan mereka tak hanya menyakitinya, tapi juga Tom.
"Tom, kau tahu wanita adalah makhluk yang mudah memaafkan, tapi sulit melupakan. Jadi maafkan dan pahami aku saat aku masih mengungkit hal itu. Jangan marah ataupun kesal. Aku janji walau sulit suatu saat nanti aku akan melupakan semua itu bahkan menganggap semuanya tidak pernah terjadi." Untuk sekali lagi Vanila mencoba menjelaskan apa yang ada di benaknya agar Tom memahaminya. Vanila mendongakkan kepalanya. Matanya dan mata Tom terpahat.
"Aku tidak keberatan kau mengungkitnya sedikit asal tidak menjadikan itu bahan pertengkaran buat kita di masa depan." Tom menyisir pelan anak rambut Vanila dengan jari-jarinya dan mengambil sejumput rambut di wajah isterinya itu lalu memasukkan rambut itu ke belakang telinga Vanila. "Kau beleh bertanya dan aku akan mencoba menjawabnya sejujur jujurnya dan aku berharap kau menerima jawabanku sebijak mungkin." Vanila mengangguk. "Deal?" Tom mengulurkan jari kelingkingnya.