Unperfect Marriage

Elisabet Erlias Purba
Chapter #180

#180. Jebakan Clara

PART INI MENGANDUNG KEKERASAN YANG SEBENARNYA SUDAH SANGAT DIPERHALUS. DIMOHON KEBIJAKSANAAN DALAM MEMAHAMINYA.

"Clara!" Vanila memekik sambil memutuskan percakapannya dengan Tom yang memintanya tidak meneruskan perjalanan mengikuti Clara, tapi menunggu Tom tiba. Mereka berdebat panjang sepanjang perjalanan Vanila tadi.

Yang akhirnya dimenangkan oleh kekeras kepalaan Vanila. Dia seorang ibu, dia tidak akan meninggalkan putrinya sendirian walaupun itu berarti bersama putrinya mengancam nyawanya. Tom bilang dia akan segera menyusul. Tom memintanya menanti kedatangan Tom usai Tom memberitahukan lokasi yang diperkirakan Tom sebagai tempat Clara membawa Dinda.

Tom mengetahui lokasi Clara setelah menanyakan hal itu kepada sekertaris Pak Wie melalui sambungan telepon tentang pabrik atau fasilitas Wie group yang mungkin ada di sekitaran Bandung. Wanita itu awalnya dipenuhi tanda tanya pada permintaan Tom. Namun setelah Tom menjelaskan tentang perbuatan Clara dengan cepat wanita itu memberikan informasi. Rupanya kepolisian juga telah mencari Clara sampai keseluruh perusahaan Wie group.

Ngomong-ngomong tentang Wie Group, mereka baru saja akan meresmikan sebuah pabrik tekstil. Namun peresmian terpaksa ditunda karena kejadian yang menimpa Pak Wie dan putranya Aldi Wie serta menantu Pak Wie. Pabrik itu kosong sampai sekarang. Clara juga tahu hal itu.

Vanila memilih untuk tidak menuruti suaminya kali ini. Dia tahu Tom akan memahami keputusannya. Perlahan langkah kaki Vanila memasuki gedung megah dan luas itu. "Clara! Kembalikan putriku padaku!" Vanila memekik. Lalu terkaget-kaget saat mendengar suara anak laki-laki dari dalam.

"Verzet? Alfa?" Ucap Vanila saat menemukan kedua anak laki-laki itu di tempat ini.

"Mama."

"Kenapa kalian bisa ada di sini?" Vanila menarik keras tangan Verzet, " Mama menyuruh apa, Verzet? Mama minta kamu tunggu Opa dan Oma! Kenapa kalian disini?! Bagaimana bisa kalian disini?!" Vanila menatap wajah Alfa,

"Aku yang ajak Verzet, Tan buat ngikuti Tante Clara." Alfa menundukkan kepalanya. "Naik ojek."

"Apa kalian tahu itu berbahaya?" Vanila memegang dadanya yang berdebar kencang. Dia bukan hanya mengkhawatirkan Dinda sekarang, juga Verzet dan Alfa. "Kalian mau membantu Mama? Apa benar Tante Clara masuk ke sini?" Alfa lebih dahulu mengangguk.

"Bagus. Sekarang tolong Mama sekali lagi... Keluar dari pabrik ini... Nggak perlu," Vanila berubah pikiran. Tidak aman menyuruh anak-anaknya pergi, pikirnya- bagaimana jika mereka bertemu orang jahat? Vanila meraih pundak kedua anak laki-laki itu lalu merangkul keduanya menuju mobilnya yang terparkir di halaman belakang. Dia membuka mobil, menghidupkan mesin dan AC kemudian meminta keduanya masuk ke jok belakang. "Jangan ke jok depan," pintanya karena takut Verzet atau Alfa malah tak sengaja menginjak gas dan mendorong rem tangan lalu mobil melaju, tapi meminta keduanya bersembunyi di dalam mobil sementara mobil dalam keadaan mati berarti sama saja membunuh anak-anaknya. Mereka bisa kepanasan dan kehabisan oksigen tanpa AC menyala. "Mama minta kalian jangan keluar- apapun yang terjadi. Papa sebentar lagi nyampek. Beritahu Papa dimana Mama dan kunci pintunya saat Mama pergi. Mama sayang kalian." Vanila mengecup kening Verzet. Lalu kening Alfa. Baru akan pergi dia mendengar suara Alfa mengguman pelan.

"Tante harus hati-hati. Wanita itu orang jahat." Vanila mengangguk. Membelai lembut rambut Alfa.

"Tante akan berhati-hati. Kalian juga hati-hati, ya." Verzet dan Alfa mengangguk, Vanila melangkah pelan, baru dua tiga langkah, dia membalikkan badannya. "Kunci pintunya." Alfa segera mengulurkan badan dari jok belakang ke depan, tangannya mengarah ke pintu mobil dan segera menekan tombol kunci di sisi dalam pintu mobil yang ditempati pengemudi. Vanila memastikan pintu itu telah terkunci sebelum benar-benar pergi memasuki pabrik.

***

Vanila menyusuri gedung pabrik yang nampak masih baru itu. Dia telah menelpon polisi dan pemadam kebakaran, Vanila berpikir dia tentu harus waspada pada kegilaan seorang Clara. Sepanjang perjalanan dia tak henti berdoa. Dia tidak pernah berada pada posisi seperti ini yang mungkin memaksanya harus menggunakan kekerasan fisik.

Vanila berjalan cukup lama. Tanpa pemandu apapun dan tanpa arah, gedung ini jelas begitu luas. Akhirnya setelah menaiki anak tangga Vanila tiba di atap gedung satu. Clara dan Dinda tetap tak terlihat. Tenggorakan Vanila bahkan sudah terasa kering sedari tadi akibat berteriak memanggil nama Dinda dan Clara.

Vanila nyaris memutuskan turun kembali ke lantai bawah ketika kemudian dia mendapati satu jembatan menuju ke atap gedung lain yang dipenuhi tangki air. Jelas sebagai pasokan bagi keberlangsungan pabrik baru ini. Vanila terhenti. Matanya menerawang menatap atap seberang.

"Clara! Aku tahu kau disini! Keluar! Hadapi lawan yang seimbang denganmu, jangan menculik anak kecil! Kau benar-benar tidak punya moral, ya! Clara, keluaaaaar!" Tak ada siapa-siapa yang terlihat sepanjang matanya memandang.

"Aku pikir kau tidak akan datang dan merelakan putrimu menanggung hukumanmu." Vanila menolehkan kepalanya menatap ke atas gedung seberang. Menemukan Clara ada di rooftrop gedung, di sisi sebuah tangki air. "Uhhh, akhirnya kau datang juga."

"Clara, dimana putriku?! Jika kau melakukan hal buruk pada putriku aku janji akan membalasmu!"

Tawa terkekeh dari mulut Clara terdengar lagi. "Apa kau yakin sanggup membalasku? Tapi sebelumnya kau harus memikirkan keselamatan putrimu. Aku sudah membuat dia berenang... hmmm..." Clara melirik arlojinya. "Udah setengah jam lebih bahkan dan itu karena kau tidak bisa mendidik putrimu dengan baik. Aku sebenarnya hanya ingin menyekapnya, tapi dia malah menggigit punggung dan lenganku, juga mencakar wajahku jadi..."

Lihat selengkapnya