***
Kicauan burung di pagi hari begitu indah didengar, membuat gadis cantik dan bersurai panjang terjaga dalam tidurnya, dengan perlahan ia membuka mata indahnya. Hal pertama yang ia lihat setelah beberapa detik menyesuaikan cahaya dimatanya ialah plafon putih yang bersih.
“Ahh, sudah pagi rupanya.?“ sahutnya, sejenak ia terdiam mimpi yang sama kembali menganggu tidur nyenyaknya. Ini sudah kesekian kalinya ia bermimpi tentang tragedi di malam hari. “Sampai kapan aku akan berhenti memimpikan hal yang sama?“ ia menghela nafas, sejujurnya ia merasa lelah dengan mimpi-mimpinya. Tapi hal itu tidak bisa ia hapus dalam ingatanya begitu saja.
“Astaga memikirkan ini membuat kepalaku sakit saja, lebih baik aku mandi dan bersiap.“ ia segera turun dari ranjang dan berlalu ke dalam kamar mandi.
Butuh sekitar 20 menit untuk menghabiskan waktunya hanya sekedar membersihkan diri. Ia kini terlihat lebih segar dan sudah lengkap dengan pakaian sekolahnya.
“Hari ini sarapan apa ya.?“ tanyanya entah pada siapa. Ia kemudian mendatangi dapur kecilnya dan mencari-cari sesuatu yang bisa ia makan pagi ini. “Baiklah, roti dan susupun tidak masalah.“ ujarnya saat ia memegang selembar roti dan segelas susu di tangan kirinya.
Ia sarapan dengan penuh khidmat, walau ia selalu sendiri tapi, dirinya tak perna menyerah dengan keadaanya.
Suasana sekolah mulai ramai, sebagian siswa dan siswi sudah berdatangan termaksud dirinya. Dengan langkah ringan ia memasuki gedung sekolahnya, sekedar info sekolah tempat ia menuntun ilmu merupakan salah satu sekolah elite, di mana sebagian siswanya merupakan anak-anak bangsawan ataupun pengusaha sukses. Tentu saja dirinya tidak termaksud dalam jejeran anak-anak kaya itu, ia hanya siswa biasa yang beruntung bersekolah di tempat elite seperti sekolahnya.
“Pagi Ra,“ sapa Nadin, salah satu anak-anak kaya di sekolahnya. Tentu status di antara dirinya dan Nadin sangat jauh. Tapi, persahabatan mereka sangat dekat. Saking dekat mereka selalu dikira saudara oleh teman-teman mereka.
“Pagi juga Na.“ balasnya, Nadin merangkul pundaknya ia tersenyum lebar kearah dirinya. “Kenapa kau tersenyum seperti itu, Na.?“ tanya Rara bingung dengan wajah aneh sahabatnya.
“Aku boleh lihat tugasmu ya.?“ Rara berdecak, ia sudah menduga maksud dari senyum lebar Nadin.
“ck, sudah kuduga, dasar.“
“Ayolah Ra, masa kau tega melihat sahabat cantikmu ini di hukum.?“ Nadin memegang tangan kanan Rara, tidak lupa ia memelaskan mukanya agar Rara tersentuh dengan wajah dibuat-buatnya.
“Wajah mu sangat jelek Na, kau tau itu.“ balas Rara dengan meledek Nadin. Nadin mempoutkan bibirnya, kesal dengan ejekan Rara. “Ahh, baiklah, dasar tukang paksa.“ ujar Rara akhirnya, ia merasa kasihan dengan matanya yang terus melihat wajah aneh Nadin. Padahal ini masih pagi.
“Yeahh, Rara memang yang terbaik.!” Heboh Nadin, dan berlalu dari hadapan Rara ia meninggalkan Rara sendirian di koridor dan pergi lebih dulu ke dalam kelas. Tidak lupa ia mengambil buku Pr Rara yang sudah ia pinjam. “Da da, Rara sampai bertemu dikelas nanti.“ pamitnya.
Rara hanya bisa menggelengkan kepalanya, ia begitu takjub dengan tingkah Nadin. Seandainya ia bisa seperti Nadin yang gampang mengekspresikan suasana hatinya, mungkin dirinya tidak akan sekaku ini pada orang lain.
“Pagi Ra.“ sapa salah satu siswa, saat dirinya melihat Rara yang sedang lewat di depan kelasnya.
Rara berhenti jalan, ia tersenyum kaku pada siswa kelas lain yang menyapahnya. “Pagi juga“ sapanya balik. baru saja ia ingin meninggalkan kelas XI-C. Seruan lain kembali menghentikan langkah Rara.