Begitu keluar dari lift kantor, Alena mematutkan diri depan cermin, memastikan kalau penampilannya rapih. Dress lilac nya ia pastikan tak ada yang kusut maupun bernoda. Rambutnya yang panjang hitam legamnya ia pastikan masih tertata rapih.
Setelah semuanya dipastikan rapih, ia pun lanjut berjalan menuju ruang makan kantor. Tika barusan chat kalau semuanya sudah berkumpul di sana termasuk Iqbal. Berkat sahabatnya itu, ia bisa mengetahui makanan kesukaan Iqbal. Sahabatnya itu juga mau dimintai tolong mengorek – ngorek informasi soal pria tersebut.
Ia terus bersenandung sepanjang jalan. Wajahnya begitu sumringah. Ia mampu berjalan lincah meski dengan menggunakan heels 12 cm. Dirinya harus memakai sepatu setinggi itu agar tak terlihat pendek apalagi mau ada kunjungan keluar kantor. Kalau tak keluar kantor, ia cukup mengenakan flat shoes saja.
“Pagi, Alen,” sapa seorang rekannya, “cantik amat.”
“Pagi, Fanny. Kamu juga kok,” Alen pun sambil lanjut berjalan.
Ia melewati ruang sales, berjalan lurus kemudian berbelok ke kiri dan tibalah di ruang makan. Teman – temannya pun melambai kepadanya.
“Wah, akhirnya sarapan kita dateng juga,” celetuk Erwin.
Alena sudah tiba di depan mereka semua, “hai hai,” ia kemudian meletakkan tas merah besar yang sejak tadi ditentengnya.
Tentu Iqbal yang disapanya pertama kali, “pagi, Mas Iqbal.”
“Pagi,” pria itu hanya tersenyum seadanya.
“Kok chat Alen semalam nggak dibalas?” ia sambil mengeluarkan kotak makanannya dan membagikannya satu persatu.
“Oh,” Iqbal mencari – cari alasan, “lupa ada urusan lain soalnya semalam.”
“Alen tuh semalam sampai nggak bisa tidur, lho,” ia menyengir lebar, “nggak sabar mau cepat – cepat ketemu Mas Iqbal.”
Iqbal hanya memutar bola mata.
Alena kemudian menyerahkan kotak makan terakhir kepada Iqbal yang duduk di depannya, “nih mas, Alen bawain makanan sehat rendah kalori tapi tetap enak. Alen masak sendiri lho. Mudah – mudahan suka ya. Masaknya spesial pakai cinta,” ia terkekeh.
Iqbal langsung mual mendengarnya. Teman – temannya saling menoleh dan menahan tawa. Untungnya Alena tak sadar.
“Makasih,” Iqbal menyembunyikan perasaan jijiknya.
Masing – masing membuka kotak makanannya, “hmmmm….kayaknya enak nih, bau nya aja udah enak,” celetuk Yudha.
“Enak nih kalo punya temen lagi di-bucinin,” celetuk Erwin sambil menyuap onigiri dari nasi merah itu, “kita juga ikut kecipratan.”
Mereka semua tertawa kecuali Iqbal. Pria itu entah terlalu cuek atau malah terlalu menikmati makanan tersebut. Ia heran, mengapa rasa masakan ini begitu familiar? Seperti masakan ibunya? Apalagi grilled chicken nya.
Ia pun menggelengkan kepalanya. Kan yang bisa memasak seperti ini bukan hanya ibunya saja.
“Gimana, Mas Iqbal?” tanya Alena memecah lamunannya, “enak, nggak?”
Iqbal yang sedang mengunyah makanannya buru – buru mengangguk sambil memaksakan senyum, “enak kok. Makasih ya.”
Alena langsung tersenyum senang, “udah cocok jadi istri yang baik belum untuk Mas Iqbal?”
Iqbal langsung tersedak.
“Hmmmm…minum dulu…minum dulu.” Erwin pun mengusap – usap punggungnya.
“Udah Len, lo harus sabar, pelan – pelan gitu lho,” ujar Yudha, “kasian si Iqbal jadi keselek kan?”
Iqbal buru – buru meneguk minumannya.