Orang – orang rumah pun kaget melihat Alena sudah tiba di rumah pukul segini ditambah dengan matanya yang sangat sembab. Ayahnya baru saja berangkat kantor.
“Loh, Non Lena kok udah pulang?” tanya Bi Mar.
“Non Lena gimana tadi kejutannya? Sukses nggak?” tanya Mira.
Alena tak menggubris dan hanya terus berjalan menuju kamarnya. Ia langsung menutup pintu kemudian menguncinya. Ia lempar tas nya begitu saja, merebahkan tubuhnya di atas kasur kemudian menangis sejadi – jadinya.
Semua perasaan sakit, kecewa, malu dan marah berkumpul jadi satu. Tiba – tiba saja terdengar suara pintu kamarnya diketuk. Alena pun langsung mengamuk.
“Jangan ganggu! Lagi mau sendiri dulu!” teriaknya.
“Oh, baik…baik, maaf Non!” ternyata adalah Bi Mar.
Alena pun lanjut menangis sesenggukan. Ia tak hanya kecewa karena disakiti oleh Iqbal, tapi pengkhianatan yang dilakukan oleh Tika kepadanya begitu kejam. Persahabatan mereka selama satu tahun ini ternyata hanyalah pura – pura. Ia padahal selalu meminjamkan banyak uang yang sampai sekarang belum ada sepeser pun dikembalikan, memberikan baju – baju dan tas branded nya yang sudah tak terpakai. Bahkan pintu rumah ini selalu terbuka jika wanita itu selalu mendapat masalah di rumah dan ingin menginap.
Alena padahal senang sekali waktu wanita itu pertama kali datang ke cabang Thamrin. Ia nge-fans sejak saat acara pemilihan Puteri Indonesia. Meski tak menang, tetap saja tak melunturkan rasa kagum Alena. Alena tambah senang saat mereka langsung akrab. Itu kali pertamanya ia memiliki sahabat perempuan.
Ia mencoba mengingat – ingat semuanya lagi dari awal. Ada beberapa hal yang baru ia sadari dan semuanya menjadi terasa masuk akal.
Ia ingat dari beberapa bulan sebelum Iqbal pindah ke Samudra Bank, Atika sering senyum – senyum sendiri setiap habis keluar kantor dan setiap membaca pesan.
“Cieee, kenapa sih Tik senyum – senyum sendiri? Pacar baru, ya?” goda Alena saat itu.
“Ada deh!” Atika tak pernah mau memberi taunya.
Lalu kemudian ia ingat saat Bang Taga pamit mau pindah ke Bekasi dan ia mengungkit tentang penggantinya yang tampan. Alena baru ingat wajah Tika saat itu malah tersipu seolah tak sabar ingin segera satu kantor dengan pacarnya.
Mereka memang sangat pintar menutupi sehingga hampir tak kentara. Tak kentara saat Iqbal menatap Tika kagum, tersenyum kepada wanita itu jika berbicara, jalan makan berdua dengan dalih pekerjaan, beberapa kali membelikan makanan dengan dalih titipan dan beberapa kali juga membantunya.
Kalau dipikir – pikir, Iqbal memang tak pernah menunjukkan sikap ramah kepadanya. Tak pernah tersenyum apalagi tertawa jika dirinya mencoba melucu. Berbeda jika dengan Tika yang bersikap sebaliknya. Dengan rekan kantor lainnya saja masih bisa bersikap ramah.
Alena jadi bertanya – tanya apa yang membuatnya tiba – tiba jatuh cinta dengan pria itu? Padahal ia sering menemui pria yang jauh lebih tampan dan cerdas. Biasanya ia hanya mengagumi dari jauh. Namun, hanya dengan pria inilah ia benar – benar merasa klik, sehingga rela memutus urat malu untuk mengejar – ngejarnya.
Ah, bagaimana pria itu tidak naksir Tika? Wanita itu begitu sempurna. Sesuai dengan kriteria Iqbal yang disebutkannya tadi. Apalagi penampilannya begitu anggun tadi pagi dengan terusan blazer dan heels yang sebenarnya itu adalah pemberian Alena. Rambutnya yang hitam panjang kecoklatan tergerai dengan sempurna. Wajahnya memang bak barbie Arab.
Yah, kalau dipikir – pikir mereka berdua memang serasi. Alena sampai merasa sakit sekali membayangkannya. Bagaimana besok di kantor? Apa sebaiknya ia mengajukan resign saja karena sudah kehilangan muka? Ah, ayahnya pasti akan sangat kecewa. Mungkin ia bisa menghabiskan jatah cutinya saja untuk menyendiri, ke Sumba atau Raja Ampat misalnya. Ia butuh waktu untuk memulihkan diri setelah dibuat merasa tak berharga.
Alena yang sudah tak mau sendirian itu langsung menelepon Bi Mar dan memintanya untuk ke kamarnya.
**********
Selain Bi Mar, Alena juga bercerita semua kepada ayahnya di malam hari. Baik Bi Mar dan juga ayahnya, tentu sudah mengenal Tika karena sering menginap di rumah.
Selama Alena bercerita, ayah Alena tak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. Namun, ia sebisa mungkin menahan amarah. Bukan marah kepada pria yang ayahnya tak kenal, namun kepada Tika yang selalu meminjam duitnya. Terlebih mendengar putrinya tak henti – hentinya menangis sejak tadi pagi menurut info dari pembantunya. Ayah mana yang tak sakit melihat putri semata wayangnya diperlakukan seperti itu.
Namun, ayahnya itu tetap menyemangatinya, “Lena ingat nggak waktu SMA, papa pernah bilang apa?”
Alena hanya menggeleng. Suara gemericik air mancur di kolam renang menemani mereka.
“Lena harus fokus sama kelebihan dan kebaikan hati Lena,” ujar ayahnya, “papa kan sudah sering bilang, kalau ada orang yang ngerendahin Lena, Lena harus ingat kalau Lena yang sekarang kan bisa kerja di bank terbaik, berturut – turut mendapat penghargaan sebagai sales terbaik, disukai teman – teman kantor karena ramah dan dermawan, Lena nggak perhitungan, bantu banyak anak yatim. Jadinya banyak yang sayang Lena.”