Keesokan harinya, Alena seperti biasa normal datang ke kantor. Semua rekan kantor menatapnya iba mulai dari Teller, Customer Service, Back Office hingga Sales.
“Pagi, Alen.”
“Pagi, Kak Alen.”
Sapa mereka semua.
Alena pun hanya tersenyum seadanya dan terus berjalan menuju mejanya. Tak seperti hari – hari biasanya yang selalu ceria. Ia kini hanya fokus agar bisa keterima Master Degree di Amerika.
Begitu memasuki ruang sales, sudah ramai sekali karyawan yang datang. Bahkan Iqbal dan Tika pun juga sudah datang. Mereka tak ragu lagi terlihat bermesraan. Kedatangan Alena sontak menjadi pusat perhatian. Ia terus berjalan tanpa ragu dan tak memedulikan apapun. Bagaimanapun, ia tetap harus melanjutkan hidup.
Ia melewati Iqbal dan Tika begitu saja tanpa mengucapkan selamat pagi seperti biasa. Ia langsung duduk di meja kerjanya dan menyalakan PC di depannya. Alena bisa melihat dari bayang – bayang PC nya bahwa semua orang tengah memerhatikannya. Ia langsung mengambil headphone hitamnya, memasangnya di telinga dan menyetel musik kencang – kencang.
Ia melakukan rutinitasnya dimulai dari mengecek email, membaca berita terkini yang rutin dikirim oleh kantor pusat kemudian mulai melakukan profiling check dan analisa kredit beberapa calon debitur.
Itulah yang ia lakukan selama seharian penuh, sampai dirinya lupa makan dan minum. Ia sampai tak meninggalkan meja sejak pagi tadi. Saat jam istirahat ia juga memilih untuk tetap di mejanya, bahkan ke kamar mandi saja juga tidak.
Berbicara dengan karyawan lain hanya seperlunya saja terkait pekerjaan. Itupun melalui telepon atau whatsapp. Bahkan report ke Tika saja hanya lewat whatsapp dan juga email kantor. Ia sama sekali tak berbicara dengan Iqbal karena memang tak ada kebutuhan juga.
Kedua sejoli itu tak henti – hentinya bermesraan sejak tadi. Alena hanya mampu melihat dari bayangan layar komputernya. Dadanya begitu sesak dan tentu merasa cemburu. Terlebih saat Iqbal tak henti – hentinya memberikan perhatian ke pacarnya itu seperti mengingatkan dan membelikan makanan.
Ia melepaskan headphone-nya sejenak, karena sakit juga telinganya sejak tadi mendengar musik terus menerus, dan kemudian meregangkan tubuhnya sejenak. Ia menoleh ke arlojinya dan ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore.
Tiba – tiba saja Dicky yang baru saja dari luar menghampiri mejanya dengan membawa sebuah kotak.
“Kak Alen,” panggilnya.
Alena pun mengangkat kepalanya, “iya?”
Pria itu langsung meletakkan kotak hijau tersebut di meja Alena, “makan dulu, Kak.”
Alena pun mengernyitkan dahi, “ini…..”
“Iya, kita bertiga beliin buat kak Alen waktu di mal tadi.”
“Sama Erwin dan Yudha maksudnya?” Alen langsung menoleh mencari – cari mereka berdua, namun mereka tampaknya sedang keluar kantor. Hanya ada Iqbal dan Atika.
“Iya, Kak. Tadinya kita mau ajakin makan bareng, tapi takut ganggu. Jadi kita pesenin aja.”
“Wah, kalian repot – repot segala. Makasih ya.” Alena begitu senang ternyata masih ada yang memedulikannya.
“Sama – sama, Kak.” Dicky pun kembali ke meja kerjanya.
Alena langsung membuka kotak tersebut yang ternyata isinya adalah makanan Korea kesukaannya. Ia tersenyum lebar sambil menghirup baunya yang sungguh menggugah selera. Di dalam situ ada Ramen Tteokbokki dengan Saos Gochujang dan ada juga roasted chicken.
“Dick, lo tau aja makanan kesukaan gue,” pekiknya sambil mengambil sumpitnya, “thank you, ya.”
Alena dengan lahap langsung menyantap makanan tersebut. Ia baru sadar kalau perutnya begitu lapar. Ditambah makanan itu juga masih hangat.