“Kyaaaa. Sakura!!!”
Hibiki mengusap daun telinganya mendengar suara teriakan maminya yang histeris hingga nyaris pingsan begitu mengetahui Sakura datang dalam keadaan tak sadarkan diri dengan diantarkan seseorang. Hibiki menarik nafas dalam sembari menenangkan jantungnya yang terasa seperti akan meledak. Sebenarnya Hibiki sendiri merasa ingin pingsan melihat keadaan adiknya yang datang dalam kondisi basah kuyup. Baik dari tubuh Sakura maupun orang yang menolong Sakura sama-sama tercium bau laut.
“Apa Sakura baru saja menceburkan dirinya ke laut?” pikir Hibiki gelisah sambil memijit pelipisnya. Kepalanya sakit membayangkan kemungkinan adiknya melompat ke laut mengingat Sakura yang sama sekali tidak bisa berenang. Apa ada orang yang dengan bodohnya menceburkan dirinya ke laut dengan suka rela padahal ia tidak bisa berenang? Kalaupun ada maka hanya ada satu kemungkinan.
“Tidak. Tidak. Sakura tidak mungkin melakukan hal seperti itu,” pikir Hibiki seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Bau air laut kembali mengusik penciuman Hibiki membuat Hibiki tersadarkan kalau orang yang menyelamatkan Sakura masih berdiri bersama dengannya di depan pintu. Hibiki lupa kalau tadi ia sedang mengantarkan tamu itu sampai pintu keluar. Bisa-bisanya ia malah mengabaikan orang tersebut.
“Terima kasih karena sudah mengantarkan Sakura,” ucap Hibiki tulus dengan seluruh hatinya. Seandainya pemuda itu tidak ada, Hibiki tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada adiknya yang tenggelam di laut. Kepala Hibiki kembali berdenyut mengingat adiknya yang baru saja melompat ke laut.
“Ehm.” Azuka berdehem sembari membungkukkan tubuhnya. Ia harus secepatnya pergi sebelum tubuh yang ia gunakan agar bisa terlihat oleh mata manusia sirna. Efek sihir yang ia pakai memang tidak bisa bertahan lama dan hanya bisa digunakan di saat-saat darurat saja.
Hibiki memperhatikan sosok Azuka yang berjalan menjauh. Jika tadi aroma laut begitu mengganggu Hibiki, maka kini Hibiki merasa terganggu dan aneh dengan sosok pemuda yang baru pertama kali bertemu dengannya, tapi entah kenapa sosok pemuda itu justru terlihat begitu familiar di matanya.
“Di mana aku pernah melihatnya, ya?” tanya Hibiki sembari berusaha mengingat sosok pemuda dengan rambut dan bola mata hitam pekat itu.
“Hibiki!” panggil mami dengan tergesa-gesa dan setengah berlari. “Mana pemuda itu? Mami belum sempat berterima kasih.”
“Sudah pergi,” jawab Hibiki pendek.
“Apa? Kenapa cepat sekali? Mami bahkan belum...”
“Mami,” potong Hibiki. “Apa hanya perasaanku saja atau mereka memang mirip? Pemuda itu mirip sekali, ya, dengannya?”
“Ah? Oh iya!” seru mami. “Tapi, itu tidak mungkin dia. Sampai sekarang anak itu masih belum sadar juga,” kata mami lemah dan tidak bersemangat. Setiap kali teringat pada orang yang sedang Hibiki bicarakan, mami selalu merasa sedih. Selain berdoa untuk Sakura, ada satu orang lagi yang selalu mami sebutkan namanya di tiap doa yang mami panjatkan.
“Dia sudah empat bulan koma. Mami, aku rasa dia tidak akan mungkin punya kesempatan hidup,” ujar Hibiki dengan wajah setengah menyesal karena harus mengatakan kenyataan kepada maminya yang sampai sekarang masih mengharapkan keajaiban.
“Astaga, Hibiki!!! Kenapa kamu bicara seperti itu?” teriak mami kesal. Bisa-bisanya anak sulungnya itu mengatakan sesuatu yang bisa membuatnya semakin down?
***