Unremembered

Ririn Siti Rahmatillah
Chapter #1

Bagian Satu

Aku pernah mendengar sedikit cerita mengenai kutukan, kutukan yang sangat terkenal dari dulu hingga era sekarang saat manusia sebenarnya tidak perlu lagi mempercayai segala hal yang tidak bisa dibuktikan. Cerita-cerita kutukan seperti kutukan Tutankhamun, kutukan Hope Diamond, kutukan Tecumseh, dan berbagai kutukan lain yang tidak pernah bisa dibuktikan kebenarannya hingga saat ini. Atau mungkin, semua itu tidak akan lagi disebut kutukan jika ada hal yang dapat membuktikannya? Sesungguhnya aku tidak peduli.

Siang ini begitu ricuh, kemarin atau besok mungkin masih kan sama. Semua orang membicarakan satu hal yang sama. Aku bukan tidak peduli, namun saat ini apa yang tengah ada dalam pikiranku membuatku lebih memilih untuk diam. Ini semua bukan karena apa yang mereka katakan, tapi ini mengenai hal yang tidak semua orang ketahui, termasuk diriku sendiri. Intuisi tidak pernah memiliki bukti untuk ditampilkan, tidak ada yang bisa kuceritakan pada seseorang, apalagi jika aku sendiri tidak benar-benar yakin mengenai hal ini. Hal yang sama ketika teriknya matahari menciptakan fatamorgana, dan suara dari dosen menjadi terdengar seperti lantunan lagu pengantar tidur siang, aku dalam keadaan tengah tidak menemukan rasa nyaman dengan apapun. Aku rasa aku tidak bermimpi, aku menemukannya ketika aku tersadar tetapi aku tidak benar-benar yakin apakah hal itu nyata atau tidak.

Aku masih ingat enam bulan yang lalu saat aku terbangun di ruangan putih yang berbau ethanol, kepalaku terasa akan pecah begitu membuka mata. Aku tidak bisa mengingat dengan jelas apa yang terjadi padaku, memori yang kupunya terasa hancur dan segalanya menjadi kosong. Aku tidak ingin mengingat saat-saat mengerikan itu lagi. Selama ini Ibu, Ayah dan Vavel-lah yang perlahan-lahan kembali menyusun setiap bagian dalam memoriku sehingga aku bisa menjalani semua ini. Vavel adalah pacarku, aku tidak mengingat bagaimana kita bisa bersama, tapi aku sangat bersyukur memilikinya.

Beberapa orang dilahirkan dengan penuh keberuntungan dan beberapa yang lain harus lahir dengan banyak ujian yang harus dilaluinya sepanjang hidup. Mungkin aku adalah gadis yang dilahirkan dengan keberuntungan itu. Meskipun aku tidak menemukan pecahan memori yang pernah kumiliki. Tidak mengapa, semua yang kumiliki sekarang sudah sempurna untukku, meskipun aku tahu tidak ada definisi mengenai kesempurnaan itu.

“Ara?” suara baritone Vavel yang rendah dan menenangkan dengan tatapan halus serta senyum lebarnya seakan membuat otakku mengeluarkan dopamine yang cukup sehingga aku tersenyum seketika.

“Vel… aku rasa aku mengingat sesuatu…” lirihku.

Kedua alis Vavel nyaris bertautan, saat itu aku merasa ia sangat menggemaskan. Mengapa ia selalu tampan bahkan ketika ia khawatir? Aku tidak tahu bagaimana dulu kita bertemu dan menjalin kasih, tapi aku tidak pernah ragu padanya, seakan ikatan antara kita tidak ikut hilang bersama dengan kenangan kita yang mungkin saja sangat indah.

“Kepala kamu sakit lagi?” Vavel menangkup kedua pipiku dengan tangannya.

 Dengan menahan tawa kuraih punggung tangan Vavel di pipi kananku, mengusapnya sesaat.

“Bukan apa-apa… aku tidak yakin kalau itu memang ingatanku yang hilang,” ucapku, pelan.

“Mau ke dokter?”

Vavel menatapku seakan dengan cara itu ia dapat memastikan kalau aku baik-baik saja.

“Tidak perlu… aku ada kelas lagi, jadwal kita kan beda, aku ketinggalan mata kuliah dua semester… tapi aku heran mengapa aku bisa cuti selama itu kalau hanya koma 3 bulan?”

Aku selalu bertanya-tanya mengenai hal itu, apa saja yang aku lalui sebelum aku koma? Semua orang mengatakan kalau aku telah mengalami kecelakaan lalu lintas yang sangat parah. Tapi bagaimana bisa? Aku tidak bisa mengemudikan mobil ataupun sepeda motor? Apa benar setelah itu aku trauma sehingga aku tidak lagi bisa mengemudi? Baik Vavel ataupun orang tuaku, seakan tidak ingin mengingat kembali tentang kejadian itu, aku tahu mereka sangat menyayangiku sehingga mereka tidak ingin mengingatkan kembali diriku pada kenangan buruk yang pernah kualami.

“Jangan terlalu berfikir keras soal kuliah, jalani saja… biarkan aku lulus duluan biar bisa mempersiapkan diri buat ngelamar kamu,” seloroh Vavel dengan yakin.

Pipiku terasa panas sekarang. Vavel tak pernah bisa berhenti menggodaku dengan gombalan recehnya.

“Apa sih Vel… udah ah, kamu pulang duluan, aku harus ke kelas bentar lagi,” ujarku seraya melepas tangan Vavel dari kedua pipiku.

“Beres kelas jam berapa? Aku sih mau nongkrong di Student Center dulu,” tanya Vavel dengan wajah polos.

Aku sedikit kesal padanya. Dia terkadang tidak bisa berfikir serius, terlalu menganggap semuanya enteng sehingga ia sering lalai dengan kuliahnya. IPK tinggi harus kuakui, tetapi dengan sikap santainya ini kapan ia bisa lulus dan menggunakan nilai IPK-nya.

“Vel… kerjain usulan penelitian kamu!” ujarku setengah berteriak.

“Iya iya… Tiaraku sayang…” ujar Vavel sambil mengusap kepalaku.

Aku sangat menyukai saat ia mengusap pelan kepalaku, tapi dengan cepat kutepis tangannya. Vavel kemudian beranjak dan melambaikan tangan padaku sebelum berbelok dan menghilang dari pandanganku.

Haruskah aku cari tahu sendiri? Apakah ada masalah kalau aku tahu semuanya? Bukankah itu memang bagus? Mengapa aku harus berfikir dua kali? Lagian dengan aku mencari tahu sendiri, aku tidak akan membebani Vavel maupun Ibu dan Ayah.

Lihat selengkapnya