Sinar matahari terbenam begitu jingga dan dengan cantiknya jatuh melewati kaca membiaskan warna keemasan yang begitu menenangkan. Perlahan mataku mulai terbiasa dengan cahaya itu, menikmati setiap tikamannya yang lembut. Aku tidak tahu mengapa aku bisa merasakan kebahagian yang begitu membuncah hanya karena melihat cahaya matahari di sore hari. Aku merasa sangat familiar di tempat ini, hembusan angin yang keluar dari air conditioner yang di setting hingga 20 derajat Celcius, kursi-kursi merek Cheetos yang melenceng dari barisannya, serta proyektor memancarkan warna biru yang dibiarkan tetap seperti itu untuk beberapa saat.
“Karaa, disini sejak kapan?” tanya seseorang.
Aku tidak bisa mengingat siapa orang itu, tapi rasanya ia sangat familiar bagiku. Tubuhnya cukup tinggi dengan otot yang cukup terlatih serta kulitnya yang sedikit gelap dapat menggambarkan apa yang biasa lelaki itu lakukan. Siapa itu Karaa? Aku tidak tahu mengapa aku hanya bisa terdiam dan memperhatikannya.
“Maaf ya, tadi aku habis bertemu Kehan… aku janji lain kali gakan telat lagi,” ujarnya lagi.
Mengapa ia mengatakan itu? Apakah aku disini memang tengah menunggunya? Tetapi orang yang ia sebut itu bukanlah aku. Dia tidak sedang bicara denganku.
“Aku sudah dapat barangnya, besok kita bisa lanjutkan rencana kita… kamu tidak usah khawatir, semuanya akan berjalan dengan lancar,”
Apa yang dia maksud? Aku sangat tidak mengerti. Barang apa? Apa yang direncanakan? Mengapa aku harus khawatir?
Aku mencoba untuk mengingat siapa laki-laki ini. Rambut yang sedikit kepanjangan untuk laki-laki dan berantakan, dengan poni yang hampir menyentuh mata, memakai jaket dengan emblem angkatan yang sama denganku.
“Kamu kenapa? Ini aku Arion…”
*****
“Tiara… bangun nak, kamu ada kelas pagi kan,”
Suara lembut ibu melemparku dari suatu dimensi ke dimensi lainnya. Terlalu cepat untukku memaksakan mataku untuk beradaptasi dengan cahaya. Segera kusambar smartphoneku begitu aku sudah mencapai tingkat kesaaran yang cukup. 06.30, perjalanan dari rumah ke kampusku menghabiskan waktu 1 jam, sesungguhnya aku tidak mempunyai cukup waktu untuk bersiap, kelas pertamaku pukul 7.30 tapi tidak masuk akal jika aku berangkat begitu saja. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana respon Vavel nanti.
“Ibu sudah menyiapkan kotak bekal sarapanmu, Vavel lagi sarapan sama Ayah,” seloroh Ibu, membantuku membereskan tempat tidur.
Aku sebenarnya ingin marah dan memprotes Ibu karena baru membangunkanku sekarang. Tapi aku tidak punya waktu untuk itu. Dan lagi, kenapa Vavel selalu sarapan di rumahku. Aku dan orang tuaku tidak keberatan akan hal itu, tapi hal ini terasa sangat asing bagiku.
“Gausah buru-buru lah Ra, kan ada toleransi keterlambatan 15 menit, lagian aku bisa ngebut kok,” ujar Vavel setengah berteriak.
Aku tidak pernah bisa membayangkan bagaimana jika tidak pernah ada Vavel disisiku, bahkan mungkin jika suatu hari kita menghadapi suatu masalah yang membuat kita tidak dapat mempertahankan hubungan ini. Aku tidak tahu mengapa dan bagaimana caranya hingga Vavel ada disisiku. Aku bersyukur Tuhan telah menciptakan rasa cinta itu lengkap dengan makhluk yang paling pentas untuk dicinta.