Entah apa yang aku lakukan di sini. Segelas Thai-tea dengan sepiring bakso goreng tersaji di hadapanku. Aku sudah bilang pada Vavel kalau aku akan langsung pulang begitu selesai kelas. Tapi aku sekarang berada di tempat makan yang sering Vavel kunjungi dengan teman-temannya. Tempat makan ini begitu luas dengan interior yang sederhana. Meja dari kayu yang dibuat tanpa menambahkan usaha lebih untuk menambah nilai jual dengan kursi dari tangki minyak yang di tambahkan bean bag memberikan nuansa tersendiri. Menu makanan sederhana yang sesuai dengan dompet Mahasiswa ditambah dengan akses WiFi gratis menjadikan tempat makan ini tempat yang tepat kumpul Mahasiswa.
Tepat meja kedua di belakangku, tengah ada dua laki-laki yang aku tahu mereka adalah teman Vavel. Alif yang juga sekelas denganku di beberapa mata kuliah, dan Arka si Ketua BEM. Sebenarnya aku belum dapat memastikan apakah Vavel akan bertemu mereka atau bukan. Disela-sela musik aku dapat sedikit mendengar pembicaraan mereka.
“Si Vavel kok jadi bucin banget ya sama Tiara,”
Indera pendengaranku seakan bertambah kepekaannya begitu mendengat namaku dan Vavel disebutkan oleh Alif.
“Tau lah dulu kayak gimana… sekarang dia mau ikut ngumpul gak? Apa sibuk ngebucin sama Tiara?”
“Gatau lah. Dia kemaren abis nolak cewek cuy. Tau gak si Irina yang paling banyak diincer pas Ospek?”
“Irina? Gila emang… secantik itu Vavel tolak. Padahal lebih cantik dari Tiara.”
Telingaku sangat panas mendengarkan orang lain berbicara mengenai diriku. Rasanya ingin langsung kudatangi mereka dan kulemparkan gelas ke arah mereka saat ini juga. Apa salahnya jika Vavel setia padaku? Memangnya tidak boleh Vavel menunjukkan rasa sayangnya padaku di muka umum? Sayangnya aku tidak dapat serta merta mengutarakan apa yang aku fikirkan dihadapan dua laki-laki yang mungkin akan bertemu dengan Vavel ini.
“Gua dulu sempet pengen deketin si Irina tapi bisa berabe kalau ketahuan doi gua deketin cewek lain lagi.”
“Cewek lo tuh sebenernya baik banget lumayan cantik juga, cuman kebarbarannya yang bikin lo males kan?”
“Jangan ngomongin cewek gua, gua takut dia tiba-tiba dateng.”
Gelak tawa keduanya semakin membuatku kesal.
“Tadi gua ketahuan ngabsenin si Ariel sama Pak Rizqu,” ujar Alif dengan suara naas.
Arka tertawa puas mendengar apa yang Alif katakana mengenai dirinya.
“Lagian siapa yang nyuruh? Emangnya Ariel bakal berterima kasih sama kamu,” ucap Arka setelah mengendalikan tawanya.
“Mana Pak Rizqu ngungit tahun lalu aku ngabsenin Arion lagi.”
Aku terkesiap. menunggu pembicaraan selanjutnya. Apakah mereka akan membahas Arion?
“ARAAA!” suara Vavel tiba-tiba menyentakanku.
Spontan aku menoleh kea rah datangnya suara. Vavel dengan senyuman lebar tengah melambaikan tangan dari pintu masuk. Aku sedikit melirik ke arah Alif dan Arka, apakah mereka sadar aku mendengar pembicaraan mereka? Vavel kemudian menghampiriku setelah menyapa kedua temannya. Tenggorokanku menjadi kering seketika. Segera aku raih gelas Thai-tea dan meneguk isinya dengan terburu-buru.
“Katanya mau langsung pulang,” tanya Vavel seraya duduk di hadapanku.
“Pengen nyemil dulu bentar. Abis ini mau pesen ojek online,” jawabku, mencoba tenang.
Sekilas Vavel melirik piring dihadapanku yang masih penuh.
“Gak enak…” bisikku dengan menarik sudut bibirku dan mengangkat kantung mataku.
Vavel tersenyum kemudian mengusap pelan kepalaku. Sejenak aku menahan nafas begitu Vavel menyentuh kepalaku. Aku tidak berusaha menepisnya dan hanya menatap mata Vavel. Matanya yang terlihat begitu tulus membuatku takut dengan kecurigaan yang sempat terlintas di benakku akan merusak hubungan kami. Tidak ada alasan Vavel menyembunyikan sesuatu dariku, apalagi jika hanya menyangkut teman seangkatan yang bahkan tidak kuingat.