Vavel membelikanku baju terusan putih untuk aku pakai besok sore. Meskipun tidak akan cocok dengan suasananya namun Vavel tahu persis jika aku menyukai warna putih. Tidak seperti pasangan pada umumnya aku dan Vavel jarang sekali merencanakan pergi ke suatu tempat untuk berbincang, makan malam, jalan-jalan atau yang orang lain sebut kencan. Kami terlalu sering bertemu bahkan dengan rutinitas kami sekarang, rasaanya tidak perlu membuat waktu khusus untuk kami sekedar ngobrol, makan malam ataupun jalan-jalan. Kami juga tidak sedang merayakan hari khusus. Vavel merencanakan ini hanya karena ia takut aku terlalu banyak fikiran dengan tugas kuliah yang padat dan kejadian meninggalnya Kehan yang terjadi kurang dari dua belas jam setelah pertemuannya denganku.
Untuk saat ini aku tidak akan terburu-buru mencari tahu tentang Arisa. Aku juga tidak akan menceritakan apa yang aku ketahui dari Kehan kepada siapapun. Biarkan untuk sementara semuanya berjalan seperti seharusnya. Aku belum dapat mengantisipasi jika seandainya aku terlibat dengan hal berbahaya sebelum aku koma dan amnesia. Tanpa harus aku pastikan sendiri, aku yakin Vavel akan menjadikan penyakitku sebagai alasan pada Arka, kalau-kalau aku dibutuhkan untuk membuat kesaksian mengenai Kehan.
“Kamu akan pergi dengan Vavel?” tanya Ibu yang tiba-tiba muncul dibalik daun pintu kamarku yang sedikit terbuka.
Ibu kemudian masuk dan memperhatikan terusan yang aku pegang.
“Kamu sudah banyak baju putih.”
“Vavel membelikan ini untukku, besok aku tidak akan makan malam di rumah” ujarku.
“Tidak seperti biasanya…” gumam Ibu.
Aku tidak menanggapinya. Ibu kemudian keluar setelah membawa keranjang baju kotorku. Apakah karena Ibu menganggapku masih sakit ataukah memang biasanya seperti itu, tetapi aku tidak pernah diminta untuk membantu pekerjaan rumah. Ibu selalu melakukan semuanya seorang diri, bahkan ia terlihat sengaja menyibukan diri dengan pekerjaan rumah. Ia selalu mencari sesuatu untuk dikerjakan. Apakah Ibuku mengidap OCD? Tidak menutup kemungkinan. Barang-barang di rumah ini cenderung berwarna putih, warna yang sangat memerlukan perhatian ekstra untuk menjaga kebersihanya.
*****
Gelap. Aku mendapati diri ini tengah tersesat di tempat yang tidak aku ketahui mengapa dan bagaimana aku ada disini. Sayup-sayup suara dua anak perempuan yang mengatakan hal yang sama tertangkap telingaku. Satu anak mengatakan satu kalimat dan anak yang lain mengulangi kalimat yang sama. Aku tidak dapat memastikan posisi mereka. Suara mereka seakan keluar dari kepalaku sendiri.
“Keranjang cucian berwarna abu.”
“Keranjang cucian berwarna abu.”
“Baju bersih di keranjang putih.”
“Baju bersih di keranjang putih.”
“Pakaian kotor jangan disimpan di lemari,”
“Pakaian kotor jangan disimpan di lemari.”
“Pisahkan pakaian bernoda darah.”
“Pisahkan pakaian bernoda darah.”
“Kau mengerti?”
“Kau mengerti.”
“Jangan ulangi pertanyaanku, aku bertanya padamu.”
“Jangan ulangi pertanyaanku, aku bertanya padamu.”
“Rara aku marah padamu!”
Telingaku terasa berdengung hingga aku tidak mendengar apapun lagi selain suara lebah yang bersarang di telingaku.
*****
Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat sekarang. Mengapa harus sebanyak ini? Bagaimana aku memakainya? Ariel meminjamkanku peralatan make up nya. Aku meminjamnya bukan untuk pentas seni atau acara kondangan tapi dia meminjamkanku satu koper kecil yang sangat padat. Hanya ada satu masalah, aku tidak bisa mengenali beberapa urutan produk yang bisa aku pakai. Bahkan aku tidak tahu apa saja yang bisa aku pakai. Saat ini aku tidak melakukan apapun selain memandang cermin.
Mengapa aku harus memikirkan apa yang orang lain fikirkan? Meskipun hari ini cukup spesial tapi aku tidak mau merusaknya dengan opini sembarangan orang. Apalagi dua lelaki yang tidak punya cermin itu. Memangnya mereka cukup tampan untuk bersisian dengan Irina sampai harus menyayangkan keputusan Vavel. Smartphoneku bergetar dan menampilkan notifikasi pesan dari Ariel.
Ariel : Kak, gmn make up nya?