Seandainya ada sesorang yang bertanya padaku, siapa yang dapat aku percayai sekarang dan siapa yang tidak bisa kupercayai, jawabannya adalah satu, diriku sendiri. Aku tidak memiliki siapapun yang dapat aku percayai, dan di sisi lain aku sangat tidak mempercayai diriku sendiri. Seperti apa aku dulu, dan mengapa aku terlibat dengan sesuatu yang tidak bisa disepelekan, tidak ada yang bisa menjawabnya dengan jujur. Semua orang hanya menyebutkan hal-hal sederhana dan wajar jika kutanyai. Aku pernah salah memakai dress code saat ospek dan membuat Pembina kelompokku yang kena sanksi, aku pernah tidak memakai sepatu saat praktikum, aku tidak pernah ketahuan mencontek, semua itu bukan sesuatu yang cukup penting untuk kuingat.
Aku memutuskan untuk bertemu dengan Arka. Dan di sinilah kami sekarang. Labolatorium pemeliharaan ayam petelur tempat Arka melakukan pra-penelitiannya. Bisa kuakui jika ia cukup berambisi di akademik dan juga organisasi. Tempat ini sangat tenang, tentu saja karena sekarang hanya ada aku dan Arka.
“Kamu yang butuh tapi aku yang harus jauh-jauh kesini,” protesku.
“Apa kamu mau kita ngobrol di tempat rame biar orang-orang tahu kalau kamu ada hubungannya dengan meninggalnya Kehan dan hilangnya Arion?” ujar Arka sarkastik.
“Mengapa kamu bisa berasumsi jika aku terlibat? Aku hanya bertemu Kehan satu kali dan aku gak kenal siapa itu Arion,” tegasku.
“Yang jelas orang-orang sekarang lagi rame-ramenya nyari tahu tentang mengapa Kehan bunuh diri, sedikit saja terdengar di telinga mereka kalau kamu orang terakhir yang bicara sama Kehan, bakal lebih banyak lagi asumsi yang akan kamu dengar.”
“Masa bodoh Arka. Aku baru tahu kalau Ketua BEM merangkap jadi asisten polisi sekarang. Oh, aku tahu. Kamu bucin kan sama Arisa? Siapa itu Arisa aku gak kenal.”
Sepertinya Vavel tidak memberi tahu Arka kalau aku hilang ingatan.
“Gampang banget ya kamu ngelupain semuanya sedangkan Arisa sekarang depresi gara-gara Kehan meninggal. Arisa juga mau kayak kamu yang gak nyadar dosa hidup damai.”
“Terserah apa yang kamu katakan mengenai aku. Sekarang apa mau kamu?”
Arka terdiam sesaat. Aku tahu saat ini ia sedang berapi-api padaku.
“Aku mau kamu ceritakan semua yang terjadi setahun lalu. Aku gapeduli kenapa kamu bisa cuti setahun, tapi aku mau tahu kejadian setahun lalu yang melibatkan kamu, Arisa, Kehan dan Arion.”
“Apa kamu berfikir kalau aku tahu segalanya mengenai apa yang kamu tuduhkan? Aku tidak akan mengatahan apapun sama kamu sekarang.”
Arka terlihat sangat frustasi dengan jawabanku. Tanpa harus kutunjukan aku lebih frustasi dibandingkan dengan dia. Aku bahkan tidak mengetahui apapun mengenai diriku sendiri. Meskipun aku tahu sesuatu, namun aku tidak akan membaginya dengan Arka. Orang seperti dia akan mudah menyebarkan rumor. Ditambah dengan posisinya saat ini, ia bisa saja memfitnah aku demi keamanan Arisa. Jika benar apa yang membuat aku dan Arisa terlibat ini adalah bukan hal yang wajar.
“Okay. Aku tahu kamu tidak akan bersikap kooperatif denganku. Begini saja, mau kamu akui atau tidak, tapi ini penting untuk kamu kan? Kehan memang bunih diri, tapi jika ternyata kamu terlibat, kamu berada dalam masalah. Belum lagi keberadaan Arion yang sampai sekarang tidak diketahui. Kamu dan Arisa tidak tahu dimana Arion, tapi kalian bisa bersama-sama memecahkan masalah ini,” seloroh Arka.
“Apa kamu fikir aku terlibat dalam masalah yang bahkan kamu sendiri tidak tahu?” desisku.
“Ya,” ujar Arka dengan sangat cepat.
“Kamu fikir aku bodoh?”
“Tidak. Kamu sangat manipulatif.”
Sejujurnya aku ingin memotong lidah Arka sekarang. Setiap kata yang keluar dari mulutnya benar-benar membuat orang kesal. Aku akui mulutnya sangat pintar, pintar dalam mengambil hati orang lain untuk memilihnya menjadi ketua organisasi paling berpengaruh di fakultas, juga pintar dalam memancing amarah orang lain.
“Jangan libatkan Vavel,” ujarnya, kemudian.
Mengapa aku harus melibatkan Vavel? Jadi, ini berarti Arka tidak memberitahu tentang ini pada Vavel. Apakah Vavel benar-benar tidak mengetahui apapun?
“Setiap orang yang tahu tidak akan mempunyai kesempatan memberitahu.”
Apa maksudnya? Arka mengatakan kalimat itu dengan mata yang bersirobok dan bibir yang bergetar. Sepertinya ia benar-benar marah sekarang. Namun ia sama sekali tidak menoleh ke arahku. Bukan aku yang membuatnya marah.
“Arion hilang, Kehan meninggal. Aku tidak menyalahkan kamu yang bersikeras menutupi semuanya. Tapi Arisa tidak seperti kamu Tiara. Asal kamu tahu, aku akan melakukan apapun untuk Arisa, tapi aku tidak mau membahayakan Vavel hanya untuk orang seperti kamu.”
Aku bisa menyimpulkan satu hal. Arka, orang yang paling aneh yang pernah aku temui.
“Pertemukan aku dengan Arisa. Jika itu yang kamu mau.”
*****
Apa keputusanku untuk bertemu dengan Arisa itu salah? Mengapa aku harus mengusik kolam yang sedang tenang. Aku merasa sedang membawa diriku kedalam masalah besar. Hilangnya Arion dan kematian Kehan bukanlah hal masalah yang kecil seandainya benar aku terlibat. Aku tidak yakin Arisa membantuku menemukan jawaban atas semua ini, aku lebih yakin jika Arisa membawa lebih banyak lagi masalah untuk diriku. Seharusnya aku lebih bersikap hati-hati. Aku berada dalam posisi yang tidak diuntungkan. Kemungkinan aku terlibat dalam sesuatu yang tidak aku ingat itu sangat besar. Sialnya, aku tidak mengingat apapun tentang itu semua.
“Ara kenapa akhir-akhir ini sering banget melamun?”
Seketika suara Vavel menyadarkanku.
“Aku sedang berusaha mengingat.”
“Jangan sering-sering berfikir keras, nanti sakit lagi,” ujar Vavel sambil mengusap lengan atasku.
Aku hanya tersenyum singkat. Mencoba menelusuri kejujuran dalam mata Vavel. Benarkah kamu tidak mengetahui apapun?
“Kenapa? Baru nyadar aku ganteng?” canda Vavel tertawa ringan.
Aku membalasnya dengan tatapan tajam dengan sudut bibir terangkat. Sebenarnya, aku mengakui kalau dia tampan. Semua orang mengatakan bahwa ia tampan. Dia juga sangat hangat pada semua orang, termasuk si Irina yang entah mengapa aku membencinya.
“Oh iya, Ibu kemarin minta aku buat beli kandang kucing. Ibu mau melihara kucing? Bukannya Ibu sangat menjaga kebersihan?” tanya Vavel.
Sangat menjaga kebersihan? Vavel agak kikuk begitu mengatakan kalimat itu. Aku heran mengapa ia tidak langsung saja mengatakan Ibuku OCD. Meskipun aku sendiri belum benar-benar memastikan jika Ibuku memang mengidap OCD.