Apa yang dikatakan oleh Arisa terus mengganggu fikiranku. Aku tidak bisa memastikan kebenaran atas apa yang diucapkan oleh Arisa, tetapi aku juga tidak mampu mengindahkannya. Seandainya itu benar, maka aku menemukan alasan yang tepat mengapa Ayah Ibuku tidak mengharapakan aku kembali mengingat masa laluku. Pertemuanku dengan Arisa tidak berakhir sesuai dengan apa yang aku harapkan, malah mengundang masalah lain lagi yang entah mengapa sampai jadi serumit ini.
“Ayah…” lirihku.
Ayah tampak tidak menggubsriskan panggilanku. Ia hanya menunjukan setengah wajahnya dibalik Koran. Aku tidak tahu siapa yang harus aku curigai sekarang.
“Katakan…”
“Apa Ayah bisa mau menceritakan pertemuan Ayah dengan Ibu?” tanyaku, hati-hati.
“Kenapa? Apakah Vavel mengatakan sesuatu yang konyol?”
Konyol? Apakah Vavel juga mengatakan pada Ayah mengenai keinginannya agar hubungan kami lebih serius? Ayah menganggap keinginan Vavel itu konyol… benar, orang tua mana yang akan memberikan putrinya pada seseorang yang dianggap masih belum mempunyai masa depan yang pasti.
“Aku hanya ingin tahu…” lirihku.
Ayah menutup Koran dan meletakannya di kursi tempat ia duduk. Untuk beberapa saat mimik Ayah tampak serius seolah menelisik setiap sudut dari wajahku. Ayah kemudian beranjak dan duduk disampingku. Matanya menatap lepas jendela rumah di hadapan kami. Entah apa yang ia perhatikan, kendaraan yang berlalu lalang atau ranting pohon yang kian mongering di halaman rumah.
“Jangan pernah gegabah dalam memutuskan nasib suatu hubungan. Baik itu mundur ataupun maju, semuanya membutuhkan pertimbangan yang matang. Jangan sampai kamu menyesal karena hidup dengan seseorang yang tidak bisa kamu terima sepenuhnya, dan jangan pula kamu menyesal karena telah melepaskan seseorang yang mampu menerimamu seumur hidupnya…”
“Bagaimana aku bisa tahu akan menyesal karena menerima atau meinggalkan?”
“Tidak ada… tidak ada cara untuk mengetahuinya. Manusia tidak akan sepenuhnya terbuka, aka nada dalam sudut hatinya rahasia yang ia simpan sendiri. Dan tidak ada seorangpun menerima perbedaan seutuhnya…”
“Perbedaan?”
“Setiap manusia berbeda bukan? Contohnya, kamu meminum air putih setelah sarapan, dan Vavel meminum jus. Perbedaan kecil saja beberapa orang tidak bisa menerimanya,”
“Aku tidak beronsultasi soal hubungan aku dengan Vavel Ayah… aku bertanya mengenai Ayah dan Ibu..”
Ayah tersenyum sesaat, kerutan di sekitar mata dan pipinya terlihat jelas. Kemudian Ayah mendekat ke telingaku, ia menangkupkan tangannya seolah suaranya akan terbias apabila ia tidak memfokuskan suaranya ke telingaku.
“Dahulu Ayah menikahi Ibumu karena merasa bahwa hanya Ayah yang dapat menerimanya… Hanya Ayah yang bisa melindunginya…” bisik Ayah menahan tawa.
“Karena Ibu OCD? Lalu, apakah Ayah merasa benar memutuskan untuk menerima Ibu dalam hidup Ayah?”
“Menjebak sekali pertanyaanmu nak… Pokoknya jangan melakukan apa-apa dengan Vavel, atau Ayah akan menggantung Vavel.”
Ayah tertawa meninggalkanku yang kebingungan dengan pernyataannya. Aku kesal karena Ayah tidak benar-benar menjawab pertanyaanku. Aku sama sekali tidak memikirkan hubunganku dengan Vavel, apalagi melakukan hal yang aku tahu Ayah khawatirkan. Vavel tidak pernah melampaui batas. Aku hanya ingin mengetahui siapa diantara Ayah dan Ibu yang terlibat dengan apa yang disebutkan oleh Arisa. Bukan aku mempercayai Arisa, karena mungkin saja Arisa mengatakan itu agar aku mengikuti keinginannya.