Pandanganku gelap, mataku terasa berat. Entah aku masih berada di alam mimpi atau sudah terbangun. Sayup-sayup aku mendengar dua orang sedang berserselisih. Suaranya pelan dan rendah namun keduanya penuh penekanan.
“…Tiara harus tahu mengenai Kakaknya…” suara seorang laki-laki.
“Mariana bukan Kakaknya, dia hanya anakku, bukan anakmu,” suara perempuan yang sedang terisak.
“Tiara dan Mariana anakmu. Sampai kapan kita akan menyembunyikan semua ini dari Tiara?”
“Tiara tidak perlu tahu… Mariana sudah tidak ada, dan tidak ada yang boleh mengusik Mariana lagi,”
Aku berusaha untuk mengambil alih kesadaran namun rasanya berat dan aku mulai terlelap lagi.
*****
Dering smartphone memaksaku menarik kembali kesadaranku. Perlahan mataku menyesuaikan lebar pupilnya dengan intensitas cahaya yang kuterima. Sesaat fikiranku kosong, berusaha untuk memikirkan suatu hal yang perlu aku fikirkan kembali. Seperti ada suatu hal yang sudah aku lewatkan.
“Udah bangun?” suara Ibu membuatku menoleh ke arah pintu.
Aku mengangguk pelan, Ibu kemudian tersenyum tipis dan hendak menutup pintu kamarku lagi.
“Bu,” panggilku.
Ibu menahan pintu yang sudah hampir tertutup.
“Kenapa?”
“Siapa Mariana?”
Ibuku bergitu terkejut mendengar nama yang baru saja kusebut. Sejujurnya aku sendiri pun kaget dengan pertanyaan yang barusan aku lontarkan pada Ibu. Nama itu tiba-tiba terbesit di kepalaku. Mata ibu terlihat sedikit berkaca-kaca, tangannya bergetar memegang pegangan pintu yang nyaris terlepas dari genggamannya.
“Darimana kamu tahu nama itu?” lirih Ibu, tercekat.
“Aku sendiri tidak tahu…”
Untuk beberapa saat kami terdiam. Menyelami fikiran masing-masing. Sepertinya nama Mariana itu sangat penting bagi Ibu. Aku sempat berfikir jika mungkin saja mimpiku itu benar, aku melihat sosokku sendiri dalam mimpi mempunyai seorang Kakak dan Mariana itu adalah kakakku. Meskipun mimpi yang pernah menghampiriku bukan mimpi yang indah namun mungkin saja itu adalah bagian dari ingatanku yang hilang.
“Lupakan Mariana, ia sudah tiada… Tidak ada yang perlu kamu ingat mengenai dia…” ujar Ibu.
“Tapi Mariana itu siapa?” desakku.
Roman wajah Ibu menjadi merah padam. Kedua bahunya bergetar dan air mata mulai berjatuhan dari kedua matanya yang menatap kosong meja di samping tempat tidurku.
“Kamu tidak pernah menuruti perkataanku, Tiara…” lirih Ibu dengan suara yang rendah.
“Tidak dahulu, tidak juga sekarang…” lanjutnya.
Aku hanya terdiam melihat sikap Ibu yang tidak seperti biasanya. Bahkan aku tidak pernah menyangka Ibu akan bersikap demikian hanya karena satu nama yang bahkan aku tidak ingat siapa dia. Aku memilih untuk tetap tidak bersuara, bukan karena takut melihat sikap Ibu yang demikian, namun aku merasa akan lebih menguntungkan jika aku diam saja sekarang.
“Tiara…” aku mendengar suara teriakan Ayah.
Begitu pun Ibu yang dengan cepat mengontrol diri dan segera beranjak dari tempat ia berdiri sebelumnya. Pintu dilepas begitu saja sehingga kini terbuka lebar. Aku bisa melihat punggung Ibu yang perlahan menjauh dari pandanganku. Sosoknya menghilang ketika ia berbelok menuju kamarnya.