Pertemuan kami dengan istri pak Amir tidak menghasilkan apapun. Sepertinya Kehan cukup dekat dengan anggota keluarga Pak Amir. Apa yang mereka ucapkan mengenai Kehan cukuplah baik. Tidak ada seorangpun yang tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Dunia ini sangatlah luas dengan jumlah manusia tujuh ribu lima ratus sembilan puluh emat miliar orang. Kehan hanya berfikiran sempit jika berfikiran kalau dirinya tidak memiliki siapapun lagi. Meskipun benar, tidak ada seorang pun yang benar-benar mempertanyakan kepergian Kehan, kecuali ratusan orang yang tiba-tiba mengucapkan bela sungkawa memajang foto Kehan dengan kenangan yang dibuat-buat mengenai di sosial medianya, masih ada orang yang merasakan kehilangan atas kepergian Kehan. Aku tidak peduli dengan hidup orang lain, hanya saja hal ini terasa menggelitik bagiku, mendapatkan manusia yang kepergiannya tidak akan dipertanyakan tidak lah mudah. Akan tetap ada orang lain yang menghargai eksistensi seseorang.
Menghilangkan eksistensi Kehan saja bukanlah hal yang mudah, apalagi dengan orang yang aku lihat sekarang. Aku benci melihatnya tersenyum dan berusaha membuat Vavel tetap berada dalam jangkauannya. Dapat aku lihat Vavel sedikit berhati-hati mengingat aku juga sedang berada di tempat yang sama dengan mereka. Tiba-tiba saja terlintas dalam benakku, apakah Vavel hanya bersikap hati-hati ketika aku bersama mereka? Apa yang akan terjadi seandainya aku tidak ada di sini? Apakah mereka akan bersikap seperti sepasang kekasih?
Vavel melambaikan tangan ke arahku dan bergegas menghampiriku. Seharusnya dia menghargai kebesaran hatiku untuk menenemaninya menghadiri launching caffe milik Irina sekarang. Aku tidak akan bersikap kekanakan dengan melarang Vavel datang, dan aku juga tidak akan bersikap terlalu possessive dengan merantai Vavel agar terus berada di sampingku. Aku sedang bersikap baik sekarang, hanya untuk menunjukan pada Irina kalau aku tidak perlu berusaha sekuat dirinya untuk membuat Vavel tetap berada di sampingku.
“Maaf ya… tadi aku bantuin di dapur sebentar, yang magang gabisa make grinder,” ujar Vavel meraih tanganku.
“Gapapa… kayaknya bakal terus rame ya, baru buka udah banyak yang dateng,” ujaru basa-basi.
Aku akui popularitas dan kemampuan marketing Irina cukup baik. Konsep caffenya cukup aestetik dengan memperhatikan detail dari berbagai sisi. Aku penasaran apa saja yang dilakukan Vavel untuk membantu Irina menyiapkan semua ini.
“Ibu gimana kabarnya? Tiap aku ke rumah gak ketemu sama Ibu,” tanya Vavel.
Pertanyaan Vavel menyadarkanku pada sesuatu yang sebelumnya aku abaikan. Sejak pagi itu aku juga tidak sering bertemu dengan Ibuku, meskipun kita berada di bawah atap yang sama. Mungkin terdengar miris, namun sepertinya Ibu mengerjakan pekerjaan rumah dengan memperhitungkan waktu sehingga tidak perlu terlalu banyak berpapasan denganku. Makanan selalu tersedia di meja, rumah tetap rapi dan bersih, dan Ibu tetap mengurung diri di kamarnya.
“Agak kurang enak badan jadi banyak tidur…” jawabku asal.
“Oh iya, Ara berikan sekarang aja,” ujar Vavel menunjuk paper bag yang berada dalam genggamanku.
Paper bag yang berisi dua pot Sukulen ini membuat tanganku sakit, namun aku malas untuk menghampiri Irina untuk mengucapkan selamat. Salahku yang sejak tadi memilih untuk tetap berdiri di dekat pintu dan menunggu Vavel sebelum mencari tempat duduk, karena sebenarnya aku berharap segera melewati pintu lagi segera setelah aku memasukinya.
“Kamu aja yang ngasih…” ujarku seraya memindahkan paper bag ke tangan Vavel.