18 Tahun yang lalu
Wira Pratama, pria berusia 39 tahun yang memiliki dedikasi tinggi terhadap pekerjaannya sebagai ahli patologi forensik, tinggal di kota kecil bersama dua orang putranya, Arya dan Aksa. Ia dikenal memiliki kepekaan luar biasa terhadap detail, serta etika yang kuat dalam menjalankan profesinya.
Setelah Rina, istrinya meninggal secara tragis dalam sebuah kecelakaan misterius, misinya adalah menyingkap kebenaran di balik kematian, demi memberikan keadilan bagi yang tak lagi bersuara. Laporan polisi tidak pernah menjelaskan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Rasa kehilangan dan kemarahan menyelimuti hatinya, dan sejak saat itu, ia berjanji untuk selalu memperjuangkan kebenaran.
Bersama kedua anaknya, Wira terus menanamkan prinsip bahwa kebenaran berada diatas segalanya. Ia sering mengajak putra-putranya berdiskusi tentang berbagai hal, mengajarkan pentingnya integritas dan kejujuran. Setiap kali dia pulang dari tempat kerjanya, Arya dan Aksa selalu menanti dirinya di depan pintu dengan segudang pertanyaan tentang kasus yang di tanganinya.
“Ayah! Ada kasus apa hari ini?” Tanya Arya dengan semangat, sedangkan Aksa hanya mengangguk-angguk, menunggu cerita dari sang Ayah.
Wira tersenyum, merasakan kehangatan saat melihat antusiasme anak-anaknya. "Hari ini ayah menangani kasus yang sangat menarik. Seorang pebisnis lokal ditemukan tidak bernyawa di tepi sungai," jawabnya sembari melipat jaket dengan rapih. "Terkadang, kita perlu teliti untuk melihat sesuatu yang tidak langsung terlihat,” tambahnya.
“Apa maksudnya, Ayah?” Aksa bertanya dengan mata besar, berusaha mengerti.
Wira berusaha menjelaskan dengan cara yang sederhana. “Mereka menemukan tubuhnya di tepi sungai, dan semua orang mengira itu adalah kecelakaan. Tapi, ada beberapa tanda di tubuhnya yang menunjukkan bahwa mungkin ini bukan hanya kecelakaan,” jelas Wira, berusaha menyesuaikan kata-katanya dengan pemahaman anak-anaknya.
“Jadi, Ayah akan menyelidiki lebih dalam lagi tentang kasus ini?” Arya bertanya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
“Benar sekali. Ayah akan memeriksa lebih banyak detail dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kebenaran itu harus diperjuangkan,” jawab Wira, merasa bangga mendengar putra sulungnya mampu memahami.
Aksa yang lebih kecil, dengan wajah penasaran, bertanya, "Apakah dia akan mendapatkan keadilan?” Tanya Aksa dengan suara polos, menampilkan kepedulian yang membuat sang Ayah terharu.
Wira selalu berusaha menanamkan nilai-nilai moral dan etika pada Arya dan Aksa. Malam itu, seperti biasa, Wira duduk bersama anak-anaknya di ruang tamu sambil menikmati makan malam yang sederhana.
“Kalau di antara kalian nanti jadi polisi, jadilah polisi yang baik.”
“Seperti apa polisi yang baik itu, Ayah?” tanya Aksa penuh rasa ingin tahu.
“Polisi yang baik harus menegakkan kebenaran, seperti yang diajarkan dalam prinsip keadilan,” jawab Wira dengan tegas. “Mereka harus berani mencari kebenaran, meskipun itu sulit atau menyakitkan. Dalam dunia ini, tidak ada yang lebih penting dari itu semua.”
Keduanya mengangguk, mungkin belum sepenuhnya memahami, tetapi mereka bisa merasakan kasih sayang dan harapan sang ayah. Setiap malam, Wira berdoa agar anak-anaknya menginjakkan kaki di jalan yang benar, terlepas dari apa pun yang mereka pilih di masa depan.
Kesederhanaan dan kehangatan rumah mereka menjadikan setiap malam terasa damai, di mana tawa anak-anak bergema di antara dinding rumah. Keluarga Pratama adalah gambaran sempurnanya sebuah keharmonisan.
Namun, keadaan berubah ketika ia mencoba mengungkap kebenaran dari sebuah kasus pembunuhan berantai yang mengguncang kota kecil, tempat mereka tinggal. Dia menjadi incaran kaki tangan pembunuh, dan terus di teror dalam kesehariannya. Kejadian-kejadian aneh mulai menyelimuti hidupnya. Meskipun begitu, ia tidak pernah takut dan menyerah dalam mengungkap kebenaran.
Hingga suatu malam. Saat Wira sedang meneliti catatan kasus di meja kerjanya, pintu rumahnya diketuk dengan keras. Arya dan Aksa yang sedang menonton televisi menatap panik.
"Ayah, siapa itu?" tanya Aksa, suaranya bergetar karena ketakutan. Wira segera mencengkeram kunci mobil dan meminta anak-anaknya bersembunyi di belakang sofa.
Dengan hati berdebar, Wira membuka pintu. Seorang pria mengenakan Hoodie berdiri di balik cahaya remang-remang, wajahnya tertutup bayangan. "Berhenti lah mencari kebenaran, Pratama. Kau tidak ingin anak-anakmu mengalami hal yang sama seperti istrimu, kan?" Pria itu menghilang secepat ia datang, meninggalkan Wira dengan rasa cemas yang mendalam. Situasi menjadi semakin menakutkan, menciptakan ketegangan yang mengancam hidupnya, juga putra-putranya.
“Tenang, Nak. Kita akan baik-baik saja. Ayah akan melindungi kalian,” katanya dengan nada tegas. Namun, dalam pikirannya, ada ketakutan yang menyala. Ia tahu bahwa situasi semakin berbahaya, dan kebenaran yang ia kejar bisa membawa konsekuensi fatal.
"Siapa orang itu, Yah?" Tanya Arya yang sempat mengintip.
Wira akhirnya memberi pengertian dan pernyataan jujur kepada putra-putranya itu. "Ayah sedang berusaha untuk mengungkap sesuatu yang besar, dan itu mungkin membuat kita dalam bahaya. Maafin ayah ya, nak."