UNSOLVED CASE

Gemini QT
Chapter #7

Investigasi

Kasus-kasus mencurigakan belakangan ini, menciptakan gelombang kekhawatiran di antara tim investigasi. Suasana tegang memenuhi markas mereka, sebuah ruang kecil dengan dinding berwarna abu-abu dan papan konspirasi yang penuh dengan foto-foto, catatan, dan benang merah yang menghubungkan kasus-kasus.

Di tengah keheningan yang mencekam, Alexa duduk dengan ekspresi serius, pikiran-pikirannya melayang pada ancaman yang datang beberapa hari lalu. Suara profesor Verly masih terngiang di telinganya, seolah menuntut perhatian dan kewaspadaan.

"Sepertinya pesan ancaman yang arya dapatkan itu berasal dari profesor Verly. Sebelumnya tidak ada yang memperingatkan kita seperti itu," kata Alexa, suaranya masih membawa beban pikiran dari ancaman yang mereka terima beberapa hari yang lalu. Dia mengingat kembali momen di mana profesor itu dengan tenang memperingatkan mereka untuk tidak terlibat terlalu dalam.

Wili, yang selalu berpikir analitis, melipat kedua tangannya, berusaha mengingat detail-detail dari pertemuan mereka terakhir kali. "Belum tentu, tapi mungkin saja ada hubungannya. Kita harus menggali lebih dalam."

"Dia hanya mengingatkan, bukan memperingatkan. Kayaknya gak ada yang aneh, cuma emang karakter dia aja yang kayak gitu," sahut Aksa, seakan tidak merasakan kecurigaan sedikit pun pada profesor Verly.

"Kita gak bisa anggap ini sepele. Pesan ancaman itu datang setelah kita bertemu profesor Verly. Bagaimana kalau dia tau semua rencana kita? Lo emang gak ada peka-pekanya ya, dasar cowok!” kata Alexa, frustrasi dengan sikap Aksa yang seolah mengabaikan potensi bahaya yang ada.

“Ada juga harusnya lu yang pake akal, dasar cewek! Balas Aksa dengan nada sarkas yang membuat Alexa tersulut emosi.

"Dia memperingatkan kita untuk tidak terlibat, dan lu masih gak ngerasa?!" Alexa berkata, suaranya semakin meninggi.

"Lalu, bagaimana selanjutnya? Apa kita harus kembali menyelidiki semua kasus yang serupa?" Tanya Alexa, seakan mengharapkan jawaban dari Wili. Dia berharap pada pengetahuan dan ketenangan Wili untuk menemukan jalan keluar dari kebuntuan ini.

Wili berjalan menuju papan konspirasi. Ia mulai mengotak-atik benang merah, menghubungkan semua titik dari kasus yang ada. Dia menunjukkan pola masing-masing kasus, seakan berusaha menemukan keterkaitan di antara semua kejanggalan tersebut.

"Hey, kenapa kau pindahin semua?" Tanya Aksa, mencermati gerakan Wili. "Kita belum punya bukti yang kuat."

"Walopun belum punya bukti, kita bisa ngembangin teori yang ada, tentang calon tersangka!" jawab Alexa, berusaha menunjukkan betapa pentingnya penalaran dalam situasi seperti ini. "Katanya harus pake otak, tapi soal gini aja payah!"

"Kita harus mencari koneksi antar korban, baru akan terlihat bagaimana pembunuh itu memilih korbannya," sahut Wili dengan nada santai, namun tetap serius berpikir. Otaknya berputar menerka-nerka potongan-potongan yang ada.

Sementara itu, perdebatan di antara Alexa dan Aksa terus berlanjut. Namun, di tengah kekacauan itu, terkadang mereka terlihat saling peduli, ada momen-momen tertentu di mana saat mata mereka bertemu, ada kekhawatiran dan rasa tanggung jawab yang tak terucapkan.

Wili, yang sejak awal tampak acuh dengan drama yang berlangsung di depan matanya. Dengan langkah tenang, dia memilih untuk meninggalkan ruangan, tidak ingin terjebak dalam perdebatan yang tak kunjung usai itu.

Namun, tepat saat dia hampir melangkah keluar, suara Alexa menghentikan langkahnya. "Kau mau ke mana?" Tanya Alexa dengan nada penasaran, sedikit melupakan pertikaian yang ada.

"Ada hal yang harus ku urus," jawab Wili dengan datar, tanpa menoleh sedikit pun. Melihat Wili pergi, rasa curiga Alexa pun membuatnya segera berlari mengejar langkah Wili, dan mengikutinya diam-diam.

Di luar, malam yang semakin larut membuat suasana semakin misterius dan sedikit mencekam. Pepohonan di samping jalan tampak seperti bayangan mengancam, menciptakan ketegangan yang tak terelakkan. Alexa berusaha untuk tetap dekat dengan Wili, meskipun langkahnya sedikit kewalahan mengejar rekannya yang mulai mempercepat langkahnya.

Wili, di sisi lain, merasakan ada sesuatu yang tidak biasa. Setelah beberapa langkah, ia menyadari ada seseorang yang menguntitnya. Sesekali, ia menghentikan langkahnya, untuk memastikan tidak ada satu pun orang yang mengawasinya.

"Keluar lah, apa kau tidak lelah mengikutiku seperti itu?" kata Wili tanpa menoleh, suaranya datar namun menyiratkan sedikit ketidaknyamanan. Alexa terkejut. Dia menahan napas, tidak menyangka Wili bisa merasakan kehadirannya. Meski instingnya begitu tajam, namun Wili tetap membiarkan rekan wanitanya itu untuk tetap mengikutinya di belakang.

Kedua individu itu terdiam sejenak, dibakar oleh rasa ingin tahu dan ketegangan yang mengalir di antara mereka. “Aku hanya ingin tau kemana kau pergi,” jawab Alexa pelan, sedikit gugup. Kalimatnya terasa seperti suara angin yang bertiup lembut, mencoba menghancurkan ketegangan di antara mereka.

Wili berpaling, dan menatap Alexa dengan tajam. Matanya seolah menyaring setiap pikiran di dalam kepala gadis itu. "Tidak semua hal harus kau tau," jawabnya perlahan, seolah mencoba menjaga jarak. Kemudian, dengan tegas, ia kembali melangkah, sementara Alexa tetap berada di belakang, mengikutinya.

Sampai lah mereka di area parkir yang sepi. Senyap. Hanya ada suara angin malam yang berdesir lembut. "Mau ikut tidak? Kalau mau ikut, cepat naik!" seru Wili sambil membuka pintu mobil. Tanpa berkata apa-apa, Alexa segera melangkah ke dalam mobil, dan duduk di samping Wili.

Sepanjang perjalanan, suasana di antara mereka tampak canggung. Alexa berusaha mencairkan ketegangan dengan mengajukan berbagai pertanyaan, tetapi Wili hanya memberikan jawaban singkat, seolah terlalu fokus pada jalan.

"Kenapa kau tidak pernah terlibat dalam perdebatan itu?" tanya Alexa mencoba menjaring perhatian laki-laki disampingnya.

"Karena itu hanya membuang waktu," jawab Wili tetap terfokus pada jalan.

Tidak lama, Alexa menatap Wili dengan lebih mendalam. “Tapi, kadang kita perlu mendengar pendapat orang lain, bukan?”

Wili menghela napas, berpikir sebelum menjawab. "Mendengarkan adalah satu hal, bertindak adalah hal lain. Untuk saat ini, kita butuh tindakan."

Senyum samar mengembang di wajah Alexa, mungkin pertama kalinya dia melihat sisi lain dari Wili yang biasanya terlihat sangat dingin. Di balik semua dinding yang Wili bangun, ia menangkap sedikit kehangatan dan kejujuran. Akhirnya, suasana menjadi lebih nyaman dibanding sebelumnya. Dalam keheningan yang kian mencair, mereka berbagi tatapan yang lebih dalam, dan sesekali menyadari kekhawatiran yang terpendam dalam diri masing-masing.

Melihat Wili yang tampak lebih terbuka, Alexa pun memberanikan diri untuk bercerita tentang dirinya. Dia menjelaskan bagaimana kehidupan membawanya ke titik ini, bagaimana rasa kehilangan yang membekas di hatinya setelah ayahnya menjadi salah satu korban pembunuhan berantai yang belum terpecahkan.

Seiring cerita mengalir, tanpa terasa, air mata Alexa mulai membanjiri pipinya. Wili yang mendengarkan dengan seksama, meskipun sikapnya dingin, namun ia tetap menunjukkan sisi lembutnya. Tanpa sepatah kata, ia mengambil tisu dari dashboard mobilnya dan memberikannya pada Alexa, seolah paham betul apa yang dirasakan gadis itu.

“Maaf, aku terbawa suasana,” ucap Alexa ketika menyadari air matanya. Sebenarnya dia tidak ingin menampakkan sisi kelemahannya.

“Tidak apa, aku bisa memahami situasinya,” jawab Wili lembut, nada suaranya menunjukkan empati yang jarang ia tunjukkan.

Lihat selengkapnya