Waktu berjalan begitu lambat. Setiap detik seolah dipenuhi ketegangan dan kebingungan yang mencekik. Sudah beberapa hari sejak kematian Fero, dan setiap harinya diisi dengan ketidakpastian. Bagas merasa terjebak, tidak tahu harus berbuat apa. Rasa sabarnya semakin menipis, menunggu kabar dari teman-temannya tentang kebusukan Evan dan lingkaran gelap di sekelilingnya.
Teman-temannya, meskipun memiliki naluri keadilan, terlampau berhati-hati. Mereka lebih memilih untuk menghindari risiko, mengedepankan keselamatan daripada mengejar kebenaran untuk para korban. Hal itu membuat Bagas semakin frustrasi. Baginya, terlalu banyak bicara dan sedikit bertindak hanya akan menghambat segala rencana yang sudah disusun di kepala.
Kegelapan yang menyelimuti setiap kasus, membuat Bagas semakin tergerak untuk cepat bertindak. Betapa mengecewakannya jika kejahatan yang dilakukan Evan tidak terungkap, hanya karena ketidakberdayaan rekan-rekannya. Dengan tekad yang bulat, akhirnya Bagas memutuskan untuk bergerak sendiri. Tanpa menunggu lebih lama, ia langsung meraih jaket dan kunci mobilnya. Ia tahu persis ke mana harus pergi.
Setiba di rumah Evan, semua rencana yang sudah terukir di benak Bagas seketika teredam, ketika mendengar suara teriakan yang menggema dari dalam rumah. Tanpa berpikir panjang, ia segera menerobos masuk, dan menuju sumber suara. Dalam kebingungan, ia mendapati sosok Evan tergeletak di lantai, dengan mulut yang sudah berbusa.
"Evan!" Teriaknya. Keterkejutan dan rasa simpati bercampur aduk dalam dirinya. Suara itu nyaring, seakan memecah keheningan malam yang mencekam.
Rasa iba menyergapnya, meski hatinya dipenuhi kebencian pada manusia yang dulu berhadap-hadapan dengan kebenaran, namun kini lebih memilih untuk bersembunyi di balik tirai kebohongan. Waktu berlalu dengan cepat, dan takdir pun tidak memberikannya kesempatan untuk menolong Evan.
Di depan mayat temannya yang tergeletak kaku, Bagas berusaha menelan kepedihan. "Tapi…, ini gak mungkin," gumamnya pada diri sendiri. "Evan tidak mungkin seperti ini, pasti ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini." Kecurigaan mulai merayap dalam pikirannya.
Dengan hati yang berat dan pikiran yang berputar, Bagas tahu bahwa ia tidak bisa menghentikan pencariannya di sini. Seseorang harus menemukan apa yang sebenarnya terjadi. Ia melanjutkan rencananya, untuk lebih dalam menggali setiap jejak yang ditinggalkan Evan. Segera setelah itu, ia tersadar bahwa kematian Evan mungkin bukan akhir dari segalanya, melainkan skenario untuk menutupi sesuatu yang lebih gelap.
Malam itu, hati Bagas bergejolak. Ia tak percaya bahwa semua usaha dan rencananya akan berakhir tanpa hasil. Kematian Evan berpotensi menjadi pembungkam, dan pikirannya pun mulai berkelana ke banyak kemungkinan. Mungkin Evan telah menyingkirkan dirinya untuk menutupi sesuatu yang lebih besar. Tapi, siapa yang diuntungkan dari kejadian ini?
Tidak lama kemudian, tim investigasi tiba di rumah Evan dengan cepat. Suara langkah kaki yang kian mendekat, membuat Bagas mulai mengambil langkah mundur. Ia sadar bahwa keberadaannya di sini bisa sangat mudah disalahartikan. Aroma pecahan gelas dan rasa dingin pun menyelimuti ruangan.
"Angkat tangan!" Teriak Alexa, menerobos ketegangan dengan pistol yang siap menembak seseorang di hadapannya.
Bagas mengangkat tangannya perlahan, napasnya terengah–engah. “Tenang-tenang, gua Bagas,” suaranya sedikit bergetar. Alexa dan rekannya, Wili, saling berpandangan, lalu perlahan menurunkan senjata, meski ketegangan masih tergambar jelas di wajah mereka.
"Lu ngapain disini?!" Seru Alexa, mempertanyakan kehadiran Bagas dengan skeptis.
"Gua bisa jelasin," jawab Bagas, merasa ada harapan untuk membuktikan ketidakbersalahannya.
Bagas pun mulai menceritakan semuanya, menjelaskan kronologi dari awal, bagaimana ia sebenarnya berniat menjalankan rencananya secara diam-diam, tetapi tanpa diduga ia justru menemukan Evan dalam keadaan tragis seperti itu. Ia juga menekankan, bahwa tidak ada niat sedikit pun untuk melakukan hal yang bisa menyakiti Evan.
Namun, wajah Alexa tidak sepenuhnya percaya. "Kau yakin tidak melihat orang lain?" Tanyanya dengan nada skeptis dan Bagas menggelengkan kepalanya.
"Terus, kenapa kalian bisa di sini tepat beberapa saat setelah aku datang?" Bagas balik bertanya, otaknya terus berputar mencari kepingan teka-teki yang hilang. Seolah menduga ada seseorang yang dengan sengaja melaporkan kejadian ini pada kepolisian.
“Kami mendapat laporan dari Aksa,” jawab Alexa, wajahnya mulai agak melunak. “Kau tau kalau rumahku dan Wili dekat dari sini. Jadi, jelas kami duluan yang datang.”
“Ini aneh,” gumam Wili, berpikir keras. Percakapan itu semakin menambah ketegangan yang bergelung di dalam suasana.
"Kalau cuma Bagas yang tau kejadian ini, kenapa di saat bersamaan ada seseorang yang melapor?” Alexa mulai mencermati situasi dengan lebih dalam, ketidakpastian di wajahnya semakin terlihat. “Seharusnya ada orang lain yang datang ke sini sebelum Bagas,” tambahnya.
Keheningan malam yang semakin larut, seketika pecah oleh bunyi sirine polisi yang kian mendekat. Tim kepolisian, dipimpin Aksa bersama sang kakak, Arya, selaku ahli forensik, mulai memasuki rumah Evan dengan hati yang berat. Hawa lembap menyelimuti suasana, seolah ikut meratapi peristiwa tragis yang baru saja terjadi.
Begitu menginjakkan kaki ke dalam, Arya bergegas memeriksa keadaan Evan yang sudah tergeletak tak bernyawa di ruang kerjanya, terkulai kaku dengan busa putih yang membanjiri mulutnya. Sementara Aksa langsung mengarahkan perhatian ke sosok yang tampak mencurigakan baginya.
“Kok lu bisa di sini?” Tanya Aksa, berusaha menangkap ekspresi Bagas yang lebih jauh dari sekadar khawatir.
Bagas menghela napas berat. "Gua baru aja jelasin semuanya ke Wili sama Alexa," jawabnya dengan santai, sebelum Alexa, yang berdiri di sebelahnya, menjelaskan segala sesuatunya dari awal.
Cerita Alexa memicu lebih banyak pertanyaan, dan Aksa mulai merasa frustrasi, bertanya-tanya siapa yang sebenarnya bisa dipercaya, di tengah kasus yang semakin kompleks. Semua orang tampak memiliki alasan untuk berdusta, dan Aksa semakin terjebak dalam kebingungan. "Denger, bisa aja lu yang ngeracunin Evan, terus lu juga yang lapor, karena lu mau buat semuanya itu seakan bukan salah lu. Mungkin aja kan lu buat skenario kayak gitu?" Tuduh Aksa kepada Bagas, nadanya menekankan ketidakpercayaan. "Jadi, semuanya seolah cuma lu yang ngeliat kejadian ini," lanjutnya.
"Aksa! Diem dulu deh kalo lu belom punya bukti!" Timpal Alexa mencoba menengahi ketegangan yang semakin memanas.
"Gua cuma berasumsi," balas Aksa dengan santai, meski hatinya merasa terbebani oleh keraguannya sendiri. "Kita gak ada yang tau loh, karena gak ada satu pun dari kita yang ada di tempat saat kejadian."
"Demi Tuhan! Terserah lo mau percaya apa gak, tapi yang jelas gua udah jelasin semua yang sebenernya," Bagas menjadi lebih serius, tatapannya yang tajam seolah menuntut Aksa untuk berpikir dua kali sebelum melanjutkan tuduhannya.
Arya yang sudah selesai mengecek keadaan tubuh Evan, dengan tenang menghampiri rekan-rekannya yang lain. “Kematiannya belum lama. Tidak ada tanda-tanda kekerasan ataupun luka fisik di tubuhnya. Sepertinya ada campuran pestisida di dalam minumannya,” katanya dengan suara berat yang menggema. “aku juga menemukan ini," lanjut Arya seraya menunjukkan secarik kertas yang ia temukan diatas meja kerja Evan.
Aku akan membayar semua yang telah aku lakukan pada Fero. Maafkan aku.
Seketika, mereka semua terdiam. Raut wajah Alexa menyiratkan ketidakpercayaan, “Kalian yakin ini tulisannya?” Pikirnya kritis, mempelajari dari kasus Fero sebelumnya.
“Gua gak yakin kalau Evan milih jalan ini,” jawab Bagas dengan nada ragu. “Di sisa-sisa nafas terakhirnya, gua ngeliat dia kayak minta tolong."
Aksa merenung, “Kalau asumsi saat itu, orang yang paling lama kenal yang bisa niru tulisan, terus siapa yang bisa niru tulisan Evan?” Benaknya kembali berputar, yang ia tau hanya Fero yang mengenal Evan lebih lama di antara mereka.