Verly menatap layar ponselnya dengan cemas. Berita tentang penjualan organ ilegal di rumah sakit yang ia kelola, kini telah menjadi sorotan utama di semua saluran berita. Ia tahu betul siapa yang berada di balik semua ini—kakaknya sendiri, Ferdy.
Kecemasan yang melanda, membuat Verly bergegas menuju rumah Ferdy. Langkahnya terasa berat, saat mengingat masa kecilnya—senyuman hangat kakaknya, pelukan yang menenangkan, dan momen-momen indah yang terukir dalam benaknya, seperti lukisan yang mulai memudar. Kakaknya, Ferdy, kini sudah terjerumus ke dalam dunia gelap yang tak pernah ia bayangkan. Rasa sakit dan trauma yang mendalam telah membangunkan monster di dalam diri sang kakak, yang akhirnya mengubah segalanya diantara mereka.
Di dalam mobil, Verly menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. "Aku harus bicara padanya," ucapnya pelan, dengan suara bergetar. Keresahan mulai merayapi pikirannya, ia khawatir berita yang saat ini tersebar akan membuka kedok mereka, yang akan membuat sang kakak berada dalam bahaya. "Aku tidak bisa membiarkannya terus seperti ini." Verly menekankan tangannya pada setir, berusaha untuk mengalihkan pikirannya.
Setibanya di rumah Ferdy, Verly tidak ingin membuang waktu. Dengan cepat, ia mengetuk pintu rumah yang sudah lama dianggap sebagai tempat perlindungan. Detakan jantungnya menggema di telinga, setiap ketukan terasa semakin menekan.
Pintu terbuka, memperlihatkan Ferdy yang berdiri di sana dengan ekspresi sulit dibaca. “Apa kabar?” Tanya Ferdy sedikit tersenyum, seolah tidak ada yang salah. Suara rendah dan tenang Ferdy menyambut adiknya yang baru saja datang, dan itu menciptakan rasa canggung di antara mereka.
"Kak..," suara Verly tersendat. “Kita perlu bicara.”
Ferdy mengangguk, lalu membiarkan Verly masuk. Mereka duduk di ruang tamu, di mana lampu yang redup menciptakan suasana yang berat dan mencekam. Keduanya terdiam dalam ketegangan, hanya terdengar suara detakan jam dinding yang seakan menggema di antara mereka berdua.
“Ada apa kau datang ke sini?” tanya sang kakak, suaranya datar dan tidak menunjukkan tanda-tanda gelisah. Tak ada pengakuan, tak ada kesalahan yang ditunjukkan di wajahnya.
“Kau khawatir?” Ferdy melanjutkan, sosoknya yang berwajah oriental dengan rambut cepak itu tampak seolah sudah mengetahui kekhawatiran dalam pikiran Verly.
“Apa ada alasan untuk tidak khawatir?” Balas Verly, berusaha menjaga suaranya agar tetap stabil. Amarah dan ketakutan bergelembung di dalam dirinya, membuatnya kesulitan untuk tetap tenang.
“Kau tenang saja. Ini permainanku. Akan ku pastikan kau tidak akan terlibat. Aku akan menjagamu dari jauh,” ucap Ferdy, nada suaranya masih tenang. Namun, ada kedalaman dalam kata-katanya yang terdengar meragukan.
“Bukankah sekarang aku yang harus pasang badan karena ulahmu?” Verly tidak bisa menahan nada emosinya lagi. Ia merasa seperti terjebak dalam permainan berbahaya yang tidak pernah ingin ia lakukan. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata, dan refleksnya yang dulu kuat kini terasa lemah.
Ferdy hanya tersenyum, senyumnya menyebar dingin di antara mereka, menutup peluang bagi Verly untuk melihat sedikit penyesalan dalam tindakan mereka. “Dengar aku baik-baik," ujarnya sambil mengunci tatapan pada Verly. "Kau tidak tau seberapa besar permainan ini. Aku bisa menghancurkan siapa pun yang mencoba mengganggu kita.”
Verly merasa amarahnya membara, tapi dia tahu bahwa melawan kakaknya hanya akan memicu ledakan yang lebih besar. Ia pun berusaha menyeimbangkan perasaannya. "Terus, kau tidak berpikir akan ada jalan keluar dari semua ini? Kemana kita akan pergi setelah semua ini berakhir?" Tanyanya, berusaha mengguratkan pengertian di antara mereka.
"Dengar Verly," seru Ferdy dengan nada tegas, "Kau tidak perlu khawatir. Aku dan ayah sudah mengatur segalanya. Irjen Andi adalah kaki tangan ayah. Dia akan memastikan berita ini mereda. Kau hanya perlu berdiam diri dan jangan lakukan hal yang bodoh.”
Verly merasa tenggorokannya tercekat. Dia tahu siapa ayah angkatnya— Dirgantara— polisi dengan ambisi yang kompleks, terjerat dalam jaring-jaring kegelapan yang diikat oleh Ferdy.
"Sampai kapan kita akan terus sembunyi seperti ini? Apa kau tak ingin mengakhiri semuanya?" Verly mengingatkan sang kakak agar segera menyudahi permainannya.
"Aku hanya membantu orang-orang yang membutuhkan uang untuk melunaskan hutang mereka," kata Ferdy dengan nada tenang sambil menghindar dari tatapan mata Verly.
"Tapi, kenapa pada akhirnya kau juga membunuh mereka?" Tanya Verly, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan.
"Membunuh? Sekarang kau berpikir kalau aku ini jahat?" Tanya Ferdy, nada sinis menggoda di balik suaranya.
"Uang itu tidak akan cukup bagi mereka. Pada akhirnya, mereka akan kembali dengan lebih banyak permintaan, menawarkan organ tubuh mereka yang lain, atau bahkan organ saudaranya," jelas Ferdy, memaparkan argumennya yang terdengar logis. "Jadi, aku hanya menutup kemungkinan-kemungkinan, yang akan lebih banyak menimbulkan kasus kriminal lainnya." Suaranya begitu meyakinkan, seolah membenarkan tindakannya.
"Anggap saja seleksi alam untuk orang-orang ber-SDM rendah," tambahnya dengan nada tidak peduli.
Verly terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Sosok bertubuh atletis dengan mata coklat yang tajam, dan beralis tebal itu menggambarkan wajah yang intimidasi dengan jenggot dan kumisnya yang tipis. Sekarang, kakaknya tampak seperti monster, Verly tidak bisa lagi melihat Ferdy sebagai kakak yang ia kenali sebelumnya. Betapa jauh mereka terjatuh ke dalam jurang moral yang menyimpang.
Setelah beberapa saat terdiam, Verly memutuskan untuk mengalihkan topik pembicaraan. “Lalu, apa yang kau rencanakan selanjutnya?” Tanyanya, berusaha menggenggam diri dari emosinya yang meluap.
“Mengumpulkan lebih banyak uang, kemudian pindah ke tempat yang lebih aman. Setelah itu, mungkin kita akan membeli sebuah pulau kecil, dan hidup tenang di sana,” jawab Ferdy dengan senyuman dingin, seolah ini semua hanya permainan baginya.