Wili menundukkan kepalanya, mengambil benda yang terjatuh di dekat mereka. Sebuah batu besar yang tampaknya telah dilempar ke arah mereka, hampir saja mengenai kepala Alexa.
"Siapa yang berani melakukannya?" Tanya Alexa, matanya mencari-cari jejak pelaku di gelapnya malam. Namun, tidak ada seorang pun di sekitar mereka. Hanya suara angin yang berbisik lembut di antara pepohonan, seolah menyaksikan kecemasan yang melanda keduanya.
"Sepertinya ini sebuah ancaman," jawab Wili dengan nada serius, wajahnya menjadi lebih tegang. Rona cemas membentuk kerutan di dahi, seolah-olah bayangan-bayangan kegelapan mulai menyelimuti pikiran mereka. "Lebih baik kita masuk dulu," lanjutnya, menuntun Alexa untuk segera berjalan ke dalam rumah.
Suasana mencekam masih terasa di udara, saat Wili dan Alexa melangkah masuk ke dalam rumah. Pintu dan jendela ditutup rapat-rapat, seolah menahan segala macam kengerian yang baru saja menimpa mereka.
Keduanya terdiam sejenak, mendengarkan suara-suara hening yang menyelimuti ruang tamu. Kejadian yang mereka alami di luar sana masih membekas dalam ingatan, menciptakan bayang-bayang yang merayap di sudut-sudut pikiran mereka.
Sebenarnya, Wili sudah merasakan kegelisahan ini dalam beberapa waktu terakhir. Ia mengantar Alexa pulang, dengan harapan bisa melindungi Alexa dari firasat buruk yang ia rasakan. Dalam beberapa hari terakhir, Wili merasa seolah selalu diawasi oleh seseorang—sosok samar yang kerap muncul di ujung ekor matanya. Awalnya, ia berpikir itu hanya imajinasinya, tapi setelah kejadian ini, semua terasa semakin nyata. Sengaja, Wili menyimpan semua ini untuk dirinya sendiri. Ia tidak ingin menambah kekhawatiran teman-temannya, mengenai ancaman yang mulai mengintai mereka. Wili yakin sosok itu tidak hanya mengincarnya, tapi juga teman-temannya.
"Kau mau minum apa? Biar aku buatkan," tanya Alexa, senyum palung menghiasi wajahnya, berusaha mengalihkan perhatian dari ketegangan yang masih menggelayuti suasana. Suara lembutnya mengisi ruang kosong di antara mereka.
"Tidak perlu, aku akan segera pulang," jawab Wili sedikit tersenyum, meski sejujurnya ia sangat mengkhawatirkan Alexa. "Aku rasa sudah aman sekarang," lanjutnya, berusaha meyakinkan wanita di hadapannya.
Namun, semua itu tidak cukup. Alexa menggelengkan kepala, seakan menolak kenyataan yang mengganggu pikirannya. Dengan langkah mantap, ia mendekat, dan dengan cepat menggenggam tangan Wili, menginginkan kehadiran yang lebih dari sekadar teman.
"Jangan pergi!" Ucap Alexa dengan nada penuh cemas. "Bisakah kau tetap di sini?" Tatapannya seolah menginginkan kehadiran Wili untuk melindunginya.
"Alexa, semua sudah aman. Tidak ada yang perlu kau takutkan. Kau bisa menelponku jika sesuatu terjadi," Wili berusaha memberikan afirmasi positif. Namun, keyakinan yang sempat ada di hatinya mulai goyah saat melihat kegelisahan yang terukir di wajah Alexa.
"Tidak, jangan pergi. Ku mohon," suara Alexa hampir berbisik, matanya berkaca-kaca, ia masih terkejut dengan kejadian yang baru saja menimpanya.
Menyaksikan ketegangan yang terpancar dari wajah Alexa, Wili akhirnya mengurungkan niatnya untuk meninggalkan wanita itu sendirian. Suara Alexa, yang penuh harapan dan kerentanan, seolah memanggilnya untuk tetap tinggal dan memberikan perlindungan. Melihat ketulusan dalam tatapan matanya, Wili menyadari bahwa kehadirannya saat ini sangat berarti bagi Alexa.
Senyum lembut muncul di wajah Alexa, menandakan bahwa ia merasa lebih tenang dengan kehadiran Wili. Kehangatan yang terpancar dari sosok pria di sampingnya menjadi penghalau sejenak kegelisahannya. Mereka kemudian duduk lesehan di atas karpet yang lembut, berbaur dengan aroma kopi yang masih mengepul dari cangkir di meja.
Wili mengeluarkan SD card baru yang telah disalinnya dari barang bukti, dan menyisipkannya dengan lembut ke dalam laptop Alexa. Layar menyala, menampilkan deretan data yang penuh makna. Rekam medis ini bukan hanya sekadar angka dan nama, melainkan sebuah teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan.
Saat berkas-berkas itu terbuka, rasa cemas Alexa mulai mereda, digantikan oleh keinginan untuk menemukan jawaban. Dengan teliti, mereka pun membuka berkas itu satu per satu, mencari celah, pola serta petunjuk untuk mencegah kasus baru yang mungkin saja akan segera terjadi. Wili percaya bahwa beberapa nama yang ada di dalamnya adalah calon korban pembunuhan selanjutnya—sebuah asumsi kelam yang mengusik ketenangan suasana.
“Coba lihat ini,” kata Wili, menggeser laptop sedikit agar Alexa bisa lebih dekat melihat layar. “Ada banyak data yang harus kita analisis disini. Pada umumnya, kasus pembunuhan berantai itu menerapkan pola yang intermittent. Jadi, seharusnya kita bisa menemukan petunjuk yang dapat mengarahkan kita pada pola tersebut.”
Mata Alexa terpaku pada layar. Nama-nama tercetak jelas, bersandingan dengan tanggal dan diagnosis medis yang mengungkap kisah hidup singkat masing-masing pasien. Setiap baris data yang muncul mengingatkan pada fragmen-fragmen kehidupan yang hilang, dan rasa sedih serta simpati berkelindan dalam jiwanya, sementara pikiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya menggantung di benaknya.
Sementara Wili menjelaskan beberapa hal, Alexa tak bisa menahan pandangannya dari pria di sampingnya. Dengan beberapa kancing kemeja yang terbuka, wajahnya tampak serius, dan kumis tipisnya memberi kesan maskulin yang tak terbantahkan. Semangatnya untuk menyelesaikan kasus ini, membuatnya terlihat semakin menawan di mata Alexa.
“Kita harus menganalisis semua berkas ini dengan teliti, dan menemukan nama-nama yang mungkin akan menjadi korban selanjutnya," tutur Wili, dengan nada penuh konsentrasi.
Satu per satu, data pasien terurai. Semua informasi yang mereka temui menghimpun potongan-potongan teka-teki yang lebih besar, suatu misteri yang akan mengancam lebih banyak nyawa. Diskusi mereka pun terus mengalir, menyentuh berbagai aspek, hingga mencuat topik mengenai profesor Verly—sosok yang selama ini dianggap mencurigakan.
Dalam keadaan serius tersebut, suasana di antara mereka kembali dipenuhi dengan ketegangan. Kemudian, saat Alexa mengulurkan tangannya untuk membenarkan posisi laptop, dan tanpa sadar tangannya menyentuh tangan Wili secara tidak sengaja. Ketika jari-jari mereka bersentuhan, seolah dunia menghentikan gerakannya, membiarkan mereka terjebak dalam keintiman sesaat. Senyap yang mendalam memenuhi ruangan, dan mata mereka bertemu dengan beban kata-kata yang tidak terucap. Seakan-akan, dalam tatapan itu, mereka berbicara tentang perasaan masing-masing.
Perlahan, tanpa menyadari keputusan yang diambilnya, Alexa mendekat dan dengan sentuhan lembut, ia mendaratkan bibirnya pada bibir Wili. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, wanita itu seperti ingin memvalidasi perasaannya.
Wili sedikit terkejut oleh sikap Alexa, namun keheningan di antara mereka membawa sebuah keinginan yang tak dapat diabaikan, ia pun segera membalas ciuman Alexa. Keduanya terpuruk dalam rasa yang dalam, seolah dunia luar pudar dalam sesaat. Ciuman itu berlangsung cukup lama, membawa serta rasa bingung di tengah harapan yang tak terkatakan. Mereka terdiam sesaat, terjebak dalam momen yang magis sebelum akhirnya Alexa melepaskan ciumannya lebih dulu.
Dengan wajah yang memerah, Alexa langsung mengalihkan perhatian, berusaha menutupi rasa malunya. “Eee.. Tunggu disini, aku akan buatkan kopi baru untukmu,” kata Alexa yang segera berjalan ke arah dapur, berusaha menata kembali pikirannya.
Wili tersenyum kecil sambil mengamati langkah Alexa menjauh. Dalam sekejap, semuanya terasa berbeda. Tanpa beranjak dari tempatnya, Wili memikirkan bagaimana semua ini akan berlanjut.
Setelah beberapa menit berlalu, Alexa kembali dengan membawa secangkir kopi hangat dan selimut lembut yang terlipat rapih. Sementara itu, Wili kembali menatap laptop dengan wajah yang serius, seolah mencoba menggali kembali wibawanya yang sempat goyah. Suasana pun perlahan kembali normal, meskipun bayangan ciuman itu masih tertinggal, dan menciptakan kehampaan di antara mereka.
"Kita harus selesaikan ini segera," ucap Wili, meneruskan analisisnya. Suara tegasnya menggugah kembali fokus Alexa, dan mereka pun mulai membahas berbagai detail penting yang harus diselesaikan.
Malam semakin larut dan waktu berjalan tanpa terasa. Fokus mereka terserap dalam setiap baris dokumen yang ada. Namun, rasa lelah tak dapat dielakkan. Mata mereka mulai berat, rasa lelah mulai menggerogoti, dan pada akhirnya, Wili memutuskan untuk bermalam di rumah Alexa. Wili menghabiskan malam itu dengan membenamkan dirinya pada berkas-berkas di hadapannya, mencatat setiap detail yang mungkin akan berguna di kemudian hari. Di sisi lain, Alexa perlahan tertidur di sampingnya, terlelap setelah berjam-jam berkonsentrasi.
Dalam ketenangan yang baru tercipta, Wili, yang masih terfokus pada layar laptop, sesekali melirik ke arah Alexa yang tampak damai dalam tidurnya. Melihat wajah damai itu membuat senyum kecilnya merekah, menandakan bahwa ia merasa lega saat menyadari bahwa setidaknya, untuk malam ini, wanita itu dapat beristirahat. Tanpa pikir panjang, ia menyelimuti Alexa dengan selimut yang seharusnya di persiapkan untuknya.