Hari berganti, Wili tidak bisa menahan rasa curiganya terhadap semua keterangan profesor Verly dan kepala kepolisian terkait kasus penjualan organ ilegal yang sedang ramai dibincangkan. Dalam pikirannya, ia merasa semua pernyataan resmi yang diberikan penuh dengan kepalsuan. Setiap kata yang diucapkan seolah-olah merupakan bagian dari sebuah skenario yang telah disusun rapi.
Setelah berhari-hari mempelajari detail-detail terkecil dari berita dan laporan yang beredar, Wili menghubungi rekannya, Aksa, untuk menemaninya menggeledah rumah Evan. Wili yakin ada sisa-sisa bukti yang mungkin tertinggal, yang bisa membongkar misteri di balik insiden yang terjadi.
Namun, rencana mereka seketika tertunda oleh sebuah berita yang kembali mengguncang tempat tinggal mereka. Semua media menyiarkan sebuah laporan penting yang menyita perhatian masyarakat.
Saat Wili bersiap untuk berangkat menemui Aksa, ponselnya berbunyi. Dengan sigap ia mengambilnya dan sebuah pesan singkat dari Alexa muncul di layar : "Lihat berita ini." Tanpa berpikir panjang, Wili segera mengklik tautan itu.
Sebuah video viral dan menjadi sorotan, lantaran sejumlah Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi korban Tindak Pidana Penjualan Orang (TPPO) di Myanmar.
Wili terdiam, terperangah oleh situasi yang baru saja terungkap. Berita tersebut seolah menghidupkan kembali keraguan yang ada di benaknya mengenai kasus pembunuhan yang tengah mereka selidiki, memperkuat keyakinannya bahwa insiden tersebut melibatkan perdagangan organ jaringan internasional yang tentu saja melibatkan pihak-pihak berwenang.
Disisi lain, Bagas yang berada dalam keheningan mendadak terbangun dari tidurnya. Ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Puluhan pesan dan notifikasi dari aplikasi media sosial bergetar di ponselnya. Setelah melihat salah satu wajah yang muncul di video yang beredar — wajah yang familiar baginya — Bagas segera bangkit dari tempat tidur, dan mencoba menghubungi sosok tersebut berulang kali untuk mencari tau informasi lebih detail. Namun, tidak ada jawaban.
Tanpa buang waktu, meski tubuhnya masih lemah, Bagas tetap membuka laptopnya dan mulai menyelami dunia maya. Ia mulai menjelajahi media sosial, membaca setiap postingan yang ada, meneliti setiap komentar, dan menggali informasi lebih dalam. Bagaikan seorang hacker, ia berusaha mencari segala informasi dan mengumpulkan fakta, guna menemukan titik terang dari kekacauan ini.
Bagas merasa di dalam dirinya ada tanggung jawab untuk menemukan jalan menuju keadilan. Dia tidak bisa tinggal diam, saat dunia di luar masih memperjuangkan kebenaran. Tekadnya untuk membantu rekan-rekannya yang lain tidak terbendung.
Detik demi detik berlalu, dan setelah melakukan pencarian tanpa henti, Bagas berhasil menemukan alamat penampungan yang digunakan oleh para pelaku TPPO. Dengan cepat, ia memberitahukan informasi tersebut kepada rekan-rekannya yang berada di tim penyidik.
Secara bersamaan, Aksa, Wili, dan Alexa menerima pesan dari Bagas. Tanpa membuang waktu, mereka langsung menuju lokasi yang telah diinformasikan.
Wili, dengan cekatan menjemput Alexa terlebih dahulu, dan setibanya disana ia bertemu dengan Lintang juga ayahnya. Seketika, suasana berubah menjadi lebih serius. Ada ketegangan yang terlihat di wajah ayah Lintang, namun Alexa segera berusaha menenangkan.
"Kunci pintu rapat-rapat, jangan biarkan siapapun orang yang tidak kalian kenal masuk ke dalam rumah, ok?" Pesan Alexa, matanya berbinar dengan ketegangan yang sulit disembunyikan. Dia merasa sedikit khawatir meninggalkan Lintang dan ayahnya dalam keadaan seperti ini, tetapi tugas mereka lebih mendesak.
Lintang mengangguk, “Kalian hati-hati, ya.”
“Kalau gitu, saya sama Alexa pamit dulu. Kalau ada apa-apa bisa hubungi salah satu dari kami,” lanjut Wili, sedikit berpesan sebelum beranjak pergi, memastikan Lintang dan ayahnya baik-baik saja.
Setelah pamit, mereka bergegas menuju lokasi yang telah dikirimkan Bagas. Dalam perjalanan, Alexa menanyakan banyak hal pada Wili, rasa penasaran mendorongnya untuk mendalami misteri yang menggelayuti pikiran mereka.