"Bukankah kamu bilang kamu bisa mengatasinya? Bagaimana bisa kamu membuat kesalahan besar?" Sosok berkemeja maroon meluapkan ketidakpuasannya pada Dirgantara, ayah angkat dari Ferdy dan Verly.
Seketika, Dirgantara menegakkan tubuhnya, berusaha menunjukkan kewibawaannya. "Kalau kau mampu, tangani saja sendiri," balasnya dengan suara yang tidak menunjukkan rasa takut pada atasannya, yang memiliki kuasa paling tinggi diantara mereka berempat.
Sosok itu mengabaikan omongan Dirgantara, ia tahu betapa berbahayanya sosok Ferdy, anak dari bawahannya itu. "Bagaimana bisa anak-anak itu tahu tempat penampungan kita?" Tanyanya lagi, suaranya menekankan setiap kata.
"Saya juga tidak tahu, tapi saya sudah menanganinya," jawab Dirgantara, berusaha meyakinkan semua orang di ruangan itu. "Saya sudah memerintahkan anak buah saya untuk menanganinya. Percaya lah, kita bahkan tidak perlu melakukan apapun."
Sosok itu menggelengkan kepalanya. “Bagaimana bisa anakmu membiarkan semua ini terbongkar?” Ia terus melihat ke arah Ferdy yang bersikap santai, duduk di samping ayahnya seolah tidak merasa tertekan.
Ferdy tersenyum sinis, "Tenang saja, kau tidak perlu khawatir. Saya punya rencana lain," katanya, penuh percaya diri. Di dalam pikirannya, berbagai skenario bermain—mencari cara untuk mengeliminasi risiko yang ada.
"Tangani dengan cepat. Buat semuanya kembali normal," perintah sosok itu dengan nada suara yang semakin mendesak.
Di ruangan mewah yang tertutup dan rahasia itu, wajah-wajah tegang memancar di antara sosok-sosok yang terlibat dalam permainan mereka sendiri. Redupnya lampu kristal, menciptakan nuansa yang mencekam seolah menyaksikan setiap langkah para pemainnya.
Sementara itu, Verly, yang turut hadir di ruangan itu, hanya ikut mendengarkan. Dalam diam, ia berharap semua orang di hadapannya segera sadar akan apa yang telah mereka perbuat.
Tak lama, sosok berkuasa itu kembali mengalihkan perhatian pada bisnis perdagangan orang yang tengah mereka jalankan. "Bagaimana kamu mengatur transportasi mereka?" Tanyanya pada Dirgantara.
"Mereka yang diperbatasan tidak melakukan koordinasi sama sekali dengan saya, jadi mobil-mobil itu sempat dicegat selama pemeriksaan imigrasi," Dirgantara menjelaskan, nada suaranya semakin tegas.
“Kalau gitu, kita harus merubah rute,” sosok itu memberi instruksi.
"Kita pindah jalur udara," jawab Dirgantara tanpa keraguan.
Kekhawatiran menyelimuti suasana. "Kau yakin? Bukan kah itu lebih riskan?" Sosok itu meragukan keputusan yang baru saja dibuat.
"Biar Ferdy yang mengaturnya," Dirgantara melirik ke arah Ferdy, yang tampak lebih asyik dengan layar ponselnya.
"Tapi, tidak akan ada masalah lagi kan?" Tanya sosok itu memastikan, keresahan jelas tergambar di wajahnya.
"Seharusnya tidak akan ada lagi kesalahan kali ini," kata Dirgantara menutup percakapan, meskipun dalam hatinya, ketidakpastian terus merayap.
***
Sementara itu, di sudut lain, bayangan Aksa seolah terus menghantui pikiran Alexa selama perjalanannya menuju rumah sakit. Baginya, canda dan tawa Aksa selalu mampu membuat segalanya terasa lebih ringan.
“Kau harus bertahan, Aksa. Jangan tinggalkan aku,” bisik Alexa dalam hati, suaranya hampir tak terdengar di tengah desakan jantungnya yang tak berirama.
Ketika sampai di rumah sakit, panik menguasai Alexa. Ia meminta bantuan tenaga medis untuk segera menangani Aksa, yang terkulai lemah di dalam mobil sebelum akhirnya dilarikan ke dalam.
"Aksa! Kau harus bertahan!" Serunya sambil berlari mengikuti tenaga medis, matanya tak pernah lepas dari sosok pria yang kini terkulai lemah di atas brankar, dengan banyak darah yang menggenangi seragam polisinya.
Begitu pintu ruang gawat darurat tertutup, dunia di luar seakan melambat. Suara bising di sekitar seolah memudar, dan segala sesuatunya menjadi hampa bagi Alexa. Hanya ada suara napasnya sendiri yang sulit ia dengar, dipenuhi oleh rasa cemas dan kesedihan yang menyatu, mengisi ruang kosong dalam dirinya.
Sementara itu, di balik pintu, suara alat-alat medis terus menciptakan irama yang tak terduga. Sementara Alexa yang menunggu di luar, merasakan hatinya hancur, mengingat bagaimana Aksa menyelamatkan nyawanya. Setiap detak waktu yang berlalu, rasa takut akan kehilangan semakin merayap ke dalam hatinya.
“Kenapa, Aksa? Kenapa kau harus melakukannya untukku?” Bisik Alexa, seolah berharap bahwa suaranya akan terdengar oleh Aksa.
Tiba-tiba, kenangan pertemuannya dengan Aksa menyeruak dalam pikirannya. Bagaimana dia dan Wili dipercaya untuk membentuk tim investigasi bersama Aksa, selalu menghabiskan waktu bersama, berbagi tawa, dan terkadang bertengkar kecil di depan rekan-rekan yang lain. Ada hal lain yang membuatnya terpesona oleh sosok Aksa, bagaimana pria itu selalu bisa membuatnya merasa lebih ringan dengan candaan-candaan bodohnya.