Bintangmu bercahaya Ataukah redup
Bintangmu cemerlang Ataukah suram
Akankah kau meraih bintangmu
Tangan lemah itu yang menentukan
Bukan tangan baja
Ataupun besi
Namun
Tangan lemah itu yang menentukan!
Sudah, sudah cukup. Kali ini Joe tidak akan pernah mengalah lagi. Dua belas tahun rasanya sudah cukup bagi Joe hidup terkengkang dalam ambisi seorang ayah. Selama dua belas tahun, tak ada satu haripun yang ia lewati tanpa menerima rasa tidak puas dari ayahnya sendiri. Pengakuan akan keberhasilannya adalah satu hal yang tidak pernah Joe dengar selama ini. Ia tidak pernah mengerti apa yang salah dengan keinginanya. Joe hanya mencintai barisan-barisan kata sebagai bentuk ekspresi diri. Tetapi dimata ayahnya, semua itu hanyalah kesia-siaan yang tidak akan pernah mendatangkan rasa bangga.
Dua belas tahun sudah Joe menantikan masa dimana ia dapat diterima seutuhnya oleh sang ayah. Namun semakin Joe berusaha membujuk, semakin keras pula ayahnya menolak. Ayahnya tidak pernah sedikitpun berubah pikiran untuk mematikan gairah menulis dalam diri Joe. Gairah itu adalah musuh besar bagi ayahnya. Gairah itu tidak pernah membuat ayahnya bangga. Gairah itu telah menarik mata dunia, tetapi tidak bagi ayahnya. Dua belas tahun Joe berjuang dan kini dia memilih menyerah. Mungkin sampai kapanpun pengakuan itu hanyalah mimpi baginya.
Joe menarik nafas dalam dan menghelanya secara perlahan, ia bangkit berdiri dari tempat tidurnya dan berjalan medekati jendela kamar. Tangannya mengibas asal kearah tirai yang terpasang rapih pada kusen jendela. Lalu ia membuka dua engsel pengunci jendela secara bersamaan. Sesaat kemudian ia mendorong jendela itu secara perlahan dan membiarkan angin malam masuk ke dalam kamarnya. Angin malam yang terasa dingin langsung menghempas wajahnya yang kaku. Amarahnya belum juga sirna, masih merasuk ke dalam sendi-sendi tulangnya. Joe kembali menarik nafas dalam dan menghelanya secara perlahan. Ia mengulangi hal itu hingga hatinya merasa jauh lebih tenang.
Malam ini langit terasa jauh lebih gelap, tidak ada satupun bintang yang terlihat sinarnya. Joe tertawa sumbang sembari menatap langit. Mungkin langitpun turut bersedih bersamanya. Atau langit sedang memberi pertanda, bahwa sinar bintang milik Joe tidak akan pernah sanggup menerangi gelapnya malam. Yahh… hidup memang sulit bagi Joe. Sinar yang ia miliki tidak akan pernah sanggup menerangi gelapnya relung hati sang ayah.
Segala rasa obsesi sang ayah, begitu dalam terukir pada setiap hembus nafas Joe. Siang dan malam obsesi itu begitu menghantui dirinya yang rapuh. Begitu rapuh karena selama dua belas tahun ia harus hidup tersiksa akibat obsesi ayahnya. Seorang ayah yang egois. Sambil duduk termenung di sisi jendela, Joe terus meratapi hidupnya. Pandangannya lurus tak bergairah, pikirannya terus melayang tak tentu arah. Keinginan baginya adalah omong kosong belaka. Hanya orang-orang yang mempunyai kebebasanlah yang akan meraih apa yang mereka inginkan. Ah… hidup begitu sulit bagi Joe!.
Sebuah sentuhan hangat membuyarkan lamunan Joe. Ia menoleh kearah orang yang berdiri disamping kanannya. “Joe nggak lapar, Ma.” ujar Joe yang telah mengetahui maksud kedatangan mamanya.
“Kenapa? Apa karena pertengkaranmu dengan Papa?” tanya Ratna hati-hati.
Joe menggeleng lesu “Nggak Ma, Joe cuma masih kenyang aja.” jawabnya berbohong.
“Tapi dari tadi kamu belum makan, nanti kamu sakit Joe.” nada suara Ratna terdengar sangat khawatir.
“Nanti kalau lapar, Joe akan makan Ma.” kata Joe seadanya. “Nanti Joe makan, Ma!” tambahnya sambil tersenyum, mencoba menenangkan ibunya yang masih terlihat gelisah.
Ratna menatap wajah putranya lekat-lekat, dari sorot mata Joe terpancar jelas kekecewaan yang dirasakannya. Ratna begitu khawatir melihat anak semata wayangnya ini. Sejak kecil seluruh tingkah lakunya harus mendapat persetujuan dari sang ayah. Keinginan Joe selalu bertentangan dengan obsesi ayahnya yang tidak pernah menjadi kenyataan. Sampai pada kejadian tadi sore, Joe sudah tidak dapat menahan seluruh perasaanya lagi. Joe benar-benar muak dengan seluruh obsesi ayahnya yang egois. Joe membantah semua pandangan negatif ayahnya tentang keinginan Joe. Hingga akhirnya pertengkaran itu pun terjadi, meskipun semua tetap berakhir dengan kemenangan sang ayah.
“Ma!” panggil Joe membuyarkan lamunan Ratna. “Apa ada yang salah dengan keinginan Joe?” tanya Joe perlahan.
Ratna tersenyum pilu “Tidak sayang.” jawabnya pasti.
“Terus kenapa papa tidak pernah menghargai Joe?” tanya Joe kecewa.
Ratna menggeleng pelan. Sesungguhnya Ratna juga tidak mengerti alasan suaminya begitu membenci keinginan Joe.
Melihat mamanya terdiam Joe kembali bertanya. Kali ini nada suaranya terdengar lebih emosional. “Apa aku bisa pilih jalanku sendiri, Ma?”
Ratna kembali menggeleng pelan “Mungkin tidak sayang.” jawabnya pilu.
“Kenapa Ma?” protes Joe kecewa.
“Mungkin tidak bagi Papa, tapi bagi Mama kamu bisa!” jawab Ratna akhirnya “Ini hidup kamu, jalan kamu, pilihan kamu. Kamu yang akan mejalaninya, karena itu kamu berhak menentukan jalanmu sendiri.” jelas Ratna lembut.
Joe meraih tangan Ratna dan menggenggamnya erat “Makasih ya ma. Mama selalu dukung, Joe!” ucapnya sambil memaksakan seulas senyuman.
Ratna ikut tersenyum bersama Joe “Sekarang Mama turun dulu ya, kasihan Papa sudah nunggu dari tadi.”
*
“Kok Papa udah makan duluan?” protes Ratna saat ia menghampiri suaminya di meja makan.
“Mama kelamaan sih, Papa kan udah lapar Ma.” ucap Anton memprotes balik Ratna.
“Aku habis bujuk anak kita Pa, biar dia mau makan.” ujar Ratna sembari menyendokkan nasi ke piringnya.
“Untuk apa Mama manjain anak itu terus? Semakin besar, semakin nggak bisa dibilangin.” dumel Anton kesal.
Ratna tak merespon kekesalan Anton. Ia memandangi nasi yang ada diatas piringnya. “Pa… Mama rasa kita sudah terlalu keras dengan Joe.” kata Ratna hati-hati.
Mendengar perkataan Ratna membuat Anton menghempaskan sendok yang ia pegang ke atas piring. “Terlalu keras apa Ma? Kita hanya mencoba memberikan yang terbaik untuk dia. Dia saja yang tidak mengerti. Coba dia mengikuti semua keinginan Papa, pasti dia sudah jadi orang hebat.” jelas Anton kesal.
“Iya Pa, Mama tau. Tapi kenapa kita nggak coba cari bakat dalam diri Joe. Mama yakin Joe tetap jadi anak yang hebat kok, Pa!” jelas Ratna meyakinkan.
“Memang bisa, tapi Papa nggak akan pernah merasa bangga!” tandas Anton kesal “Coba Mama lihat lemari kaca di ruang keluarga! Mama ingat dulu Papa beli itu dengan harapan apa? Papa berharap lemari kaca itu akan penuh dengan penghargaan-penghargaan yang Joe dapat Ma. Tapi sampai sekarang tidak ada satupun isinya.” jelas Anton panjang lebar.
“Kenapa kita tidak memberi kebebasan untuk Joe memilih Pa?” tanya Ratna hati-hati.
“Semakin bebas anak itu, semakin tidak benar Ma.” sanggah Anton kesal “Sudahlah Ma, jangan dibahas lagi. Papa jadi nggak selera makan.” Anton berlalu meninggalkan Ratna sendirian di meja makan, sementara Ratna hanya bisa memandangi kepergian suaminya dengan pilu.
Selepas Anton meninggalkan meja makan, Ratna duduk termangu memikirkan keegoisan suaminya. Ratna sadar usaha membujuk suaminya itu adalah sia-sia. Suaminya adalah pria keras kepala yang tidak suka dibantah. Jadi percuma saja merengek-rengek, jika A tetap A sampai kapanpun tidak akan pernah menjadi B. Ratna menghela nafas panjang, hatinya sungguh pilu setiap mengingat hubungan yang dingin antara suami dan putranya. Ah… memang benar yang orang katakan. Bertengkar di meja makan dapat menghilangkan selera makan. Kini itu pula yang sedang Ratna rasakan, selera makannya tiba-tiba menguap entah kemana. Nasi di piringnya ia masukan kembali ke dalam rice cooker. Lalu ia membersihkan meja makan, dan mencuci piring-piring kotor. Setelah semua bersih, ia segera menuju kamar tidurnya. Namun langkah Ratna terhenti, saat ia melewati kamar Joe.
Perlahan Ratna membuka pintu kamar Joe, dilihatnya Joe telah terlelap di atas kasurnya yang empuk. Ratna membetulkan letak selimut dan mencium kening Joe lembut. Ia ingin sekali mengetahui keinginan Joe yang sebenarnya. Selama ini obsesi Anton telah membuat Joe tumbuh menjadi anak yang sangat tertutup. Joe tidak pernah membiarkan siapapun tahu keinginan yang terpendam dalam hatinya.
Ratna memperhatikan satu persatu deretan buku di atas meja belajar Joe, buku-buku sastra. Ratna kembali mengamati rak buku disamping meja belajar Joe, sebagian besar isi rak didominasi oleh novel dan antologi puisi. Sastra? Apa selama ini Joe tertarik terhadap Sastra? Pikiran itu kini merajai batin Ratna. Perlahan Ratna membuka sebuah buku agenda Joe. Pada halaman pertama, terpampang foto Joe saat berusia lima tahun. Saat itu Joe berhasil meraih juara satu lomba membaca puisi kategori anak tingkat kota. Menjadi juara satu membaca puisi yang pertama dan terakhir bagi Joe. Semenjak itu ayahnya melarang Joe mengikuti lomba dalam bidang bahasa, kenang Ratna lirih.
Mata Ratna terpaut pada puisi yang tertera pada halaman yang kelima.
Bintangku bersinar terang
Memancarkan kilau yang cemerlang
Membuat mata dunia terpesona
Tetapi tidak bagi sang raja
Bintangku berkilau cemerlang
Menerangi hamparan langit yang pekat
Memberikan cahaya bagi dunia
Tapi tidak bagi sang raja
Puisi ini membuat Ratna tersadar, begitu tersiksa anaknya selama ini. Semua pencapaian Joe tidak pernah membuat suaminya merasa bangga. Keberhasilan Joe tertutupi oleh begitu besarnya obsesi sang ayah. Seolah Joe tak pernah punya obsesi sendiri.