UNSPECIAL

Elizabeth Rotua
Chapter #2

BAB I

Telat adalah hal yang telah menjadi bagian dalam hidup Janesh. Satu hal negatif lagi yang membuat Janesh dicap tidak baik oleh para guru dan teman-temannya. Rasanya hal itu telah mendarah daging dalam diri Janesh dan sangat sulit untuk Janesh hilangkan. Jikalau Janesh datang tepat waktu ia akan tertidur di kelas, seperti kejadian beberapa hari lalu.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah, Janesh memutar otaknya untuk menyusun rencana agar ia bisa lolos dari guru piket yang berjaga. Sesampainya di sekolah, suasananya tepat seperti apa yang telah ia bayangkan. Satpam hampir menutup pintu pagar. Secepat kilat Janesh berlari dan melesat melewati dua sisi gerbang yang hampir menyatu. Ah, untunglah kali ini ia masih bisa lolos.

Tempat pertama telah berhasil Janesh lewati. Kini ia harus melewati meja piket. Kondisi di sekitar meja piket juga sesuai dengan yang sudah Janesh bayangkan. Seorang guru olahraga bernama pak Jordan sedang asyik memainkan smartphonenya dan tidak begitu memperhatikan murid-murid yang sedang lalu lalang.

Janesh tersenyum senang melihat kondisi yang sesuai harapannya, dari balik pilar gedung sekolah ia mencoba mengamati situasi. Ia sudah bersiap melangkahkan kakinya dengan santai, namun sesaat kemudian ia kembali melangkah mundur.

“Aduh, kenapa ada bu Tamara sih!” dumel Janesh saat ia melihat bu Tamara datang menghampiri pak Jordan. Janesh kembali memutar otak. Ia tidak mungkin melewati bu Tamara begitu saja. Bu Tamara adalah guru yang sangat tegas dan disiplin. Beliau pasti tidak akan membiarkan Janesh masuk dengan mudah.

“Telat ya?!” suara tersebut membuyarkan semua pikiran Janesh.

Janesh menoleh ke arah suara tersebut dan mendapati seorang murid laki-laki berdiri di belakangnya. Ia berdecak kesal “Berisik!” protesnya. “Eh… eh.. mau ngapain lo?” tanya Janesh saat pria itu merebut tas selempangnya yang sudah lusuh.

“Udah sana masuk!” jawab pria itu tenang.

“Ta… ta.. tapi…” belum sempat Janesh berkomentar lagi, Pria itu telah mendorongnya untuk berjalan dan membuat bu Tamara menoleh ke arahnya. Sementara pria itu segera bersembunyi di balik pilar.

“Janesh, cepat kesini!” perintah bu Tamara

“Eh-he?! Iya Bu!” Janesh berjalan ragu menghampiri bu Tamara.

“Kamu telat ya? Mana tas kamu?” tanya bu Tamara penuh selidik.

“Eh-he?! Saya..” Janesh bingung harus menjawab apa.

“Sepertinya dia nggak telat deh, Bu.” seru pak Jordan “Karena dia nggak bawa tas.”

“Nggak mungkin Pak, ini anak hampir setiap hari telat.” ucap bu Tamara tak setuju. Bu Tamara mengamati Janesh dari atas kepala hingga ujung kaki “Kemana tas kamu?” tanyanya penuh selidik.

“Saya…” Janesh masih belum menemukan jawaban yang tepat. Ia tidak mau berbohong, karena jika bu Tamara tau ia telah berbohong, beliau akan memberikan hukuman yang jauh lebih berat.

“Pagi, Bu!” sapa seseorang di belakangnya, Janesh mengenali suara orang itu dan membuatnya segera menoleh.

“Kenzi? Tumben kamu telat?!” ujar bu Tamara heran.

Pria bernama Kenzi itu segera menyalami bu Tamara dan pak Jordan “Maaf Bu, Pak saya telat, karena tadi ban mobil saya bocor.” jawabnya tenang.

Janesh menatap tak percaya ke arah orang yang dipanggil Kenzi itu. Ia tidak mengerti mengapa pria itu mau berbohong demi membantunya.

“Tulis nama kamu di buku ini!” perintah bu Tamara sembari menyodorkan buku catatan siswa terlambat kepada Kenzi.

Kenzi mengangguk mengerti dan mengikuti tepat seperti yang diinstruksikan bu Tamara.

Bu Tamara kembali menoleh ke arah Janesh “Jadi kamu dari mana, Janesh?” tanyanya penuh selidik.

“Dia dari tukang foto copy Bu, tadi saya lihat dia di depan.” kata Kenzi sebelum Janesh menjawab pertanyaan bu Tamara.

Janesh kembali menoleh ke arah Kenzi tatkala ia mendengar Kenzi kembali berbohong. Kenzi menjawab pertanyaan bu Tamara dengan sangat tenang sembari tetap fokus menulis.

“Benar Janesh?” tanya bu Tamara. Janesh mengangguk ragu. “Habis beli apa? Kok tangan kamu kosong?” bu Tamara kembali mengamati Janesh dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Karton warna jingga, tapi nggak ada, Bu.” jawab Janesh ikut-ikutan berbohong.

Bu Tamara berpikir sejenak “Ya sudah, segera masuk kelas!”

Janesh mengangguk mengerti “Baik bu!” ia segera berlalu meninggalkan ruang piket dan berjalan menuju kelasnya. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat apa yang akan terjadi dengan pria bernama Kenzi itu. Janesh yakin, Kenzi pasti akan mendapatkan hukuman dari bu Tamara. Bu Tamara adalah salah satu guru yang sangat ditakuti oleh siswa-siswi yang sering datang terlambat. Beliau tidak akan mentolerir alasan apapun bagi siapa saja yang datang terlambat.

Sesampainya di kelas 12 IPA 2 belum ada guru yang mengajar. Suasana masih ramai oleh suara tertawaan anak-anak yang sedang bersenda gurau. Tidak terlalu menarik minat Janesh untuk tetap berada di dalam kelas, karena meskipun suasana ramai tetap terasa sepi baginya. Setelah memastikan tidak ada tugas yang harus ia selesaikan. Janesh kembali berjalan keluar kelas, dia memilih untuk duduk di bangku panjang depan kelasnya. Sesaat kemudian pikiran Janesh kembali lagi pada Kenzi. Entah apa yang terjadi pada pria itu sekarang, Janesh sungguh ingin tau.

“Ini!” kata Kenzi sembari mengulurkan tas Janesh, setelah sepuluh menit Janesh menunggunya.

“Lo dihukum?” tanya Janesh heran.

Kenzi mengangguk pasti dan duduk santai di samping Janesh.

“Hukumannya apa?” tanya Janesh lagi.

“Nyapu lapangan.” jawab Kenzi sembari tersenyum lebar.

Dahi Janesh berkerut mendengar jawaban dan ekspresi Kenzi. Ia heran melihat Kenzi masih bisa tersenyum setelah mendapatkan hukuman yang bukan karena kesalahannya. “Kok lo malah seneng, sih?”

“Ini pengalaman pertama buat gue, jadi gue happy!” jawab Kenzi tenang.

Janesh berdecak heran “Aneh lo!”

Kenzi tak menghiraukan ejekan Janesh, ia justru tersenyum mendengar ucapan Janesh. “Lo nggak mau bilang terima kasih gitu, sama gue?” tanyanya sembari menatap Janesh.

“Dih, nggak ada yang minta bantuan lo ya!” tandas Janesh sinis.

Kenzi tertawa kecil “Ya udah, gue mau ke kelas dulu.” katanya sambil bangkit berdiri.

“Lain kali nggak usah sok jadi pahlawan kesiangan deh! Gue bisa sendiri kok. Gue nggak suka ngerepotin orang lain apa lagi sampai berutang budi.” jelas Janesh ketus.

Kenzi mengangkat sebelah alisnya yang tebal dan tersenyum kecil. Ia tak menghiraukan perkataan Janesh dan memilih berlalu ke kelasnya.

“Aneh!” batin Janesh. Janesh bangkit berdiri dan berniat masuk ke kelasnya. Tetapi ia berpapasan dengan Joe tepat di depan pintu.

“Lo udah selesai salin catatan dan tugas yang gue kasih?” tanya Joe

Janesh menyeringai kikuk sembari menggeleng ragu “Belum Joe.”

Joe berdecak “Gimana sih, kapan kita mau mulai belajarnya kalau lo belum selesai juga!” kata Joe ketus.

“Gue janji hari ini selesai semuanya!” Janesh mengangkat dua jarinya sebagai tanda janjinya.

*

Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak dua jam yang lalu. Namun Janesh masih saja duduk di tempatnya dan berkutat dengan semua buku catatan dan tugas. Janesh harus segera menyalin semua tugas dan catatan, agar Joe bersedia mendampinginya belajar. Janesh sudah berjanji pada Joe akan menyelesaikan semuanya hari ini. Jika Janesh tidak menepati janjinya, ia hanya akan merusak suasana hati Joe dan membuat Joe semakin enggan membantunya.

Pertemanan Janesh dengan Joe berawal dari mandat yang diberikan bu Emily kepada Joe. Sebelumnya Janesh tidak pernah berinteraksi dengan Joe, meskipun sudah dua tahun mereka menjadi teman sekelas. Janesh cukup bersyukur mendapatkan wali kelas seperti bu Emily. Bu Emily adalah satu-satunya wali kelas yang memiliki keyakinan bahwa Janesh pantas berada di kelas IPA. Bu Emily juga yakin Janesh mampu melewati ujian akhirnya dengan baik. Keyakinan tersebut membuat bu Emily memberikan mandat kepada Joe untuk membantu Janesh. Awalnya Janesh menolak untuk mendapatkan bantuan dari Joe, karena ia tidak mau menyusahkan orang lain. Tetapi bu Emily tetap berpegang teguh pada rencananya. Meski begitu bagi Janesh, Joe tidak terlalu banyak membantu. Joe hanya meminjamkan buku catatan dan sesekali menjelaskan beberapa hal yang cukup sulit bagi Janesh. Itu pun kalau Janesh yang meminta, kalau tidak Joe tidak akan melakukan hal itu. Tapi bagaimanapun sikap Joe, Janesh harus tetap bersyukur karena masih ada yang mau membantunya.

Banyaknya tugas dan catatan yang harus Janesh salin, membuat tangannya terasa sangat pegal. Sesekali ia memijit-mijit lengan dan jari tangan untuk membuatnya kembali rileks. Janesh juga meregangkan kedua tangannya dan mengeliat untuk melemaskan otot-otot tangannya. Rasa pegal itu membuat Janesh merasa mengantuk. Ia menyandarkan kepalanya sejenak di atas meja dan menutup matanya perlahan. Posisinya saat ini terasa sangat nyaman hingga membuat dirinya hampir terlelap. Janesh menguap berkali-kali, hingga kemudian terlelap.

“Oh iya pak, sebentar lagi saya pulang!” ujar Janesh saat ada seseorang membangunkannya. Janesh mengira orang itu adalah pak Komar seorang caraka sekolah. “Elo?!” seru Janesh heran, saat ia melihat orang itu bukanlah pak Komar melainkan Kenzi. Kenzi hanya tersenyum sambil menatap Janesh. “Lo ngapain di sini?” tanya Janesh sambil mengucek matanya.

“Lo yang ngapain disini?” Kenzi balik bertanya “Orang-orang udah pulang, lo masih aja asyik tidur di kelas. Mau nginep?”

Janesh memperhatikan kondisi di luar kelas. Tepat seperti yang dikatakan Kenzi, kondisi sekolah sudah sangat sepi. Sepertinya orang-orang sudah kembali pulang ke rumah masing-masing. “Aduh gue pasti ketiduran, nih!” gumamnya.

“Lo lagi ngapain, sih?” tanya Kenzi lagi, ia melirik buku-buku yang terbentang di atas meja Janesh. “Nyalin catatan? Emang dengan kayak gitu lo bisa ngerti?”

Janesh menutup semua buku-buku di hadapannya dan segera memasukkanya ke dalam tas. “Nggak sama sekali sih, tapi besok Joe akan ngajarin gue, kok!”

Kenzi mengangguk-angguk mengerti “Kalau gue yang jelasin, mau nggak?”

Janesh menghentikan gerakannya dan menatap heran  Kenzi “Emang kita satu jurusan?” tanya Janesh.

Kenzi mengangguk pasti “Kenzi Putra Halim, atau akrab dipanggil Kenzi!” jawab Kenzi sambil mengulurkan tangannya ke arah Janesh.

Janesh masih menatap Kenzi heran. “Kenzi?” Janesh mencoba mengingat-ingat nama tersebut.

“Lo nggak kenal gue?” tanya Kenzi tak percaya, Janesh menggeleng ragu “Serius?”

“Emang lo siapa, sih?” kata Janesh balik bertanya “Emang lo se-terkenal itu sampai gue harus tau?!” cibirnya.

Kenzi tertawa kecil “Ya nggak juga, sih!” katanya sambil tersenyum tipis “Gue nggak seterkenal lo yang atlet sekolah kita.”

“Lebay lo!” tandas Janesh jutek.

“Tapi sebagai teman satu jurusan, seharusnya lo kenal gue dong!” protes Kenzi.

Janesh berdecak kesal mendengar Kenzi memprotesnya. Sejujurnya Janesh memang tidak mengenal Kenzi. Janesh hanya mengenal beberapa murid saja selain teman sekelasnya,

“Jadi lo mau terima tawaran gue, nggak?” tanya Kenzi.

Janesh bangkit berdiri dan menggeleng pasti “Nggak usah, makasih!”

“Kenapa?” tanya Kenzi heran.

“Gue nggak mau merepotkan orang lain.”

“Tapi lo juga ngerepotin, Joe!”

“Itu perintah dari bu Emily!”

“Ya apa bedanya?”

Janesh berdecak kesal “Udah gue mau pulang! Makasih buat tawarannya!” tandas Janesh sebelum meninggalkan Kenzi sendirian di ruang kelas.

*

Janesh mendorong pintu kaca kedai kopi dengan sikunya dan bergegas berjalan menuju ruang karyawan. Lima menit kemudian dia kembali keluar dengan memakai seragam coklat dan apron berlogo cangkir kopi. Janesh segera memgambil tempat di belakang mesin kasir dan menyapa setiap customer yang datang untuk memesan. Hari ini pengunjung kedai kopi tempat Janesh bekerja cukup ramai. Mayoritas pengunjung adalah anak muda yang datang bersama teman-teman atau bahkan kekasih mereka. Mereka datang dengan tujuan yang beragam, ada yang sekedar untuk meminum kopi, berbincang santai dan ada pula yang datang untuk mencari wifi demi mengerjakan tugas kuliah.

“Selamat datang, mau pesan apa ka?” kata Janesh sambil mengutak-atik mesin kasir.

Iced Mochaccino dua,” jawab orang itu.

“Elo?!” seru Janesh heran saat ia menyadari bahwa customernya kali ini adalah Kenzi.

“Hai!” sapa Kenzi dengan senyum mengembang.

Janesh tersenyum kikuk “Mau pesan apa tadi?”

Iced Mochaccino.” jawab Kenzi mengulangi pesanannya.

Reguler atau tall?”

Reguler.”

Normal ice atau less ice?”

Less ice.”

Normal sugar, less sugar?”

Less sugar. Soalnya kamu udah manis!” goda Kenzi.

Janesh mengangkat wajahnya dari mesin kasir dan mendapati Kenzi sedang tersenyum jahil ke arahnya. Melihat hal itu membuatnya berdecak kesal. “Ada lagi?” tanyanya sedikit ketus.

Red velvet cake nya satu.”

Janesh mengangguk mengerti dan kembali mengotak-atik mesin kasirnya. “Totalnya seratus dua puluh lima ribu rupiah. Mau cash atau debit?”

“Debit.” Kenzi menyodorkan sebuah kartu ATM dan segera diraih oleh Janesh. Setelah itu Janesh menggesekan kartu tersebut pada mesin EDC “Silahkan pinnya!” kata Janesh sembari menaruh mesin EDC di hadapan Kenzi. Kenzi segera menekan enam tombol angka yang menjadi pin ATMnya.

“Silahkan menunggu, pesananannya akan segera siap!” ujar Janesh sambil menyodorkan kartu ATM dan struk pembeliaan kepada Kenzi.

“Oke, thank you!” kata Kenzi sembari tersenyum. Ia segera meninggalkan mesin kasir karena sudah ada tiga orang mengantri di belakangnya. Kenzi berjalan menuju sebuah meja yang terletak di pojok kedai kopi. Letak meja yang berada tepat di samping kaca membuat dirinya dapat bebas mengamati orang-orang yang lalu lalang di luar kedai kopi. Sekitar sepuluh menit kemudian seorang pegawai mengantarkan pesananya, dua gelas Iced Mochaccino dan satu kotak red velvet cake.

“Mas, bisa bantu saya?” tanya Kenzi saat pegawai itu menyajikan pesanannya di meja. Pegawai itu mengangguk pasti.

*

“Ada angin apa, nih?” tanya Janesh heran saat Tito teman sekerjanya memberikan secangkir Iced Mochaccino dan sekotak red velvet cake. Saat ini sedang tidak ada customer yang hendak memesan kopi, jadi dia bebas berbincang dengan Tito.

“Bukan dari gue, itu titipan.” jawab Tito seadanya.

“Dari siapa?” tanya Janesh heran.

“Dari customer.” Tito menunjuk ke arah salah satu meja di pojok kedai kopi. “Yang itu!”

Janesh mengikuti arah tunjukkan Tito. Pandangannya terpaku pada seorang laki-laki dan perempuan di meja yang terletak di pojok kedai kopi. “Mereka siapa?” gumam Janesh heran karena ia sama sekali tidak mengenali kedua orang itu.

Tito ikut memperhatikan meja yang ditunjuknya “Eh bukan!” seru Tito cepat “Tadi bukan mereka yang disana.” jelasnya.

Kening Janesh mengkerut mendengar penjelasan Tito. “Terus siapa?”

“Laki-laki gitu, seusia lo!”

Janesh berpikir sejenak, ada banyak customer laki-laki seusia dia yang datang ke kedai kopi hari ini. Akan tetapi hanya satu orang yang ia kenal dan memesan Iced Mochaccino serta sekotak red velvet cake. Janesh meraih gelas kopi itu dan mengamati keterangan gula yang tertera pada gelas. Less sugar, ya… Janesh yakin orang itu adalah Kenzi. Tapi kenapa Kenzi melakukan semua ini?.

“Orangnya ganteng, kayak keturunan jepang gitu, deh!” perkataan Tito membuyarkan semua lamunan Janesh. “Jangan-jangan dia naksir sama lo!” timpal Tito dengan senyum menggoda.

“Apaan sih lo!” tandas Janesh jutek.

Tito terkekeh melihat ekspresi jutek Janesh “Tapi kayaknya nggak mungkin sih, gue yang wajahnya pas-pasan aja ogah sama lo. Apalagi dia yang ganteng!” katanya sembari mengamati Janesh dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Akhirnya lo mengakui juga tampang lo yang pas-pasan itu.” cibir Janesh.

“Biar pas-pasan gini, gue punya pacar. Lha dari pada lo jomblo terus!” kata Tito balas meledek.

Lihat selengkapnya