Janesh mengeluarkan novel Tersayat dari dalam tas selempangnya. Tangannya bergerak cepat membuka halaman 59, letak paragaraf terakhir yang kemarin ia baca. Bola matanya yang besar bergerak ke kanan dan ke kiri. Membaca dengan seksama setiap kalimat yang tertulis pada novel tersebut. Guncangan metromini dan suara berisik teriakan sang kondektur tidak menghalangi fokusnya dalam membaca. Rasa penasarannya membuat Janesh tetap fokus membaca meskipun sedang berada di tengah keramaian.
“Ongkos neng!” seru sang kondektur sambil memainkan uang receh ditangannya.
Tanpa berpaling dari novel yang sedang ia baca, Janesh merogoh saku celananya dan mengambil selembar uang lima ribuan. Ia segera menyodorkan uang tersebut kepada kondektur bis. “Kembaliannya mana bang?” tanya Janesh sesaat sang kondektur hendak berlalu dari sampingnya.
“Kirain nggak sadar!” seru kondektur itu sembari terkekeh malu.
“Sadar dong, kembaliannya bang?!” pinta Janesh sambil mengulurkan dan menengadahkan tangannya ke arah kondektur tersebut. Sementara matanya tetap terpaku pada novel.
Sang kondektur menyerahkan selembar uang seribuan ke atas telapak tangan Janesh.
“Kurang bang! Kembali dua ribu, saya pelajar!” serunya tak terima.
“Nggak pakai seragam, jadi termasuk penumpang umum.” kata kondektur tak mau kalah.
Janesh menoleh ke arah kondektur itu dan menatapnya tajam “Saya langganan abang, loh! Tiap hari naik metromini ini harganya juga tiga ribu!” tandasnya tegas.
Si kondektur segera menyerahkan selembar uang seribuan lagi kepada Janesh “Ya… ya… ya… rugi aku kalau kau yang naik!” katanya tak bersemangat. Si kondektur bergegas meninggalkan Janesh, sepertinya ia malas bila harus beradu pendapat dengan Janesh.
“Makasih bang!” Janesh memasukkan dua lembar uang seribuan ke dalam kantong celannya. Lalu kembali lanjut membaca novel.
Sekitar dua puluh halaman berhasil Janesh baca selama perjalanan dari dujo menuju kedai kopi. Terkadang ia merasa takjub dengan kemampuannya membaca. Ia sanggup membaca banyak halaman dalam waktu singkat. Tetapi itu hanya berlaku untuk beberapa jenis bacaan yang menarik hatinya dan tidak berlaku untuk buku pelajaran. Baru membaca dua halaman saja, Janesh langsung merasa ngantuk dan tertidur. Ah… itulah sebabnya dia menjadi siswi peringkat terendah disatu angkatan.
“Bang kiri, kiri, kiri!” seru Janesh sembari mengetukkan jarinya pada bagian atas metromini. Mendengar seruan Janesh, secepat kilat sang sopir segera menginjak rem. Janesh bergegas turun, sebelum metromini itu melaju kembali. Ia memasuki kedai kopi dan berjalan menuju ruang staff. Janesh bergegas mengganti pakaiannya dengan seragam. Setelah itu ia menuju meja kasir untuk bertukar shift dengan staff sebelumnya.
Hari ini adalah hari Sabtu, pengunjung kedai kopi jauh lebih ramai bila dibandingkan hari-hari biasanya. Janesh mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut kedai kopi. Rata-rata pengunjung yang datang hari ini berusia remaja dan dewasa muda. Disamping itu ada pula beberapa orang tua yang datang bersama keluarga mereka. Jika tidak ada customer yang datang memesan, biasanya Janesh asyik mengamati situasi disekitarnya. Tatapannya sering terpaut pada customer yang sedang sibuk berkutat dengan laptop mereka. Terkadang Janesh merasa penasaran apa yang sedang mereka kerjakan. Pasti itu adalah hal yang penting sehingga mereka sanggup duduk berjam-jam di hadapan layar laptop. Janesh juga senang mengamati beberapa remaja yang datang bersama teman-teman satu genknya. Mereka mengobrol dengan santai, tertawa dan saling melempar candaan. Wajah mereka terlihat begitu bahagia menikmati masa muda. Sementara wajah pasangan-pasangan muda yang datang juga terlihat sangat berseri-seri. Mereka pasti bahagia bisa bersama menghabiskan waktu di akhir pekan.
Ahh… beruntungnya mereka, karena bisa menikmati hidup. Terkadang Janesh juga ingin merasakan seperti yang mereka rasakan. Berkumpul bersama teman-teman, sibuk tenggelam dalam pelajaran, ataupun menghabiskan waktu dengan orang yang disayang. Namun Janesh sadar keingannya itu sangat mustahil untuk terwujud pada situasinya saat ini. Sebagai anak perempuan dan anak pertama. Janesh mengemban tugas yang cukup berat. Ia memiliki ibu dan adik yang perlu dipenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka berdua sangat bergantung dengan penghasilan yang Janesh dapat dari bekerja paruh waktu di kedai kopi dan mengajar ekskul karate.
“Chocochino frape ice yang reguler satu, ya!” seorang customer telah berdiri di hadapan Janesh dan membuyarkan lamunannya.
“Ba.. baik!” kata Janesh kikuk. Tangannya segera menginput pesanan customer pada layar mesin kasir. “Take a way atau dine in?”
“Dine in.”
Janesh mengangguk mengerti “Totalnya jadi empat puluh tujuh ribu, Kak.”
Customer itu memberikan uang selembar lima puluh ribu kepada Janesh. Dengan sigap Janesh meraih uang tersebut dan megembalikan tiga lembar uang seribuan. “Silahkan ditunggu kak, pesanannya akan segera siap.” Customer itu meninggalkan meja kasir dan pergi mencari kursi yang kosong “Silahkan mau pesan apa ka?” tanya Janesh saat ia menyadari ada seseorang yang kembali berdiri di hadapannya.
“Kayak kemarin ya!”
“Maaf mas, maksudnya?” tanya Janesh sembari mengangkat wajahnya dari layar mesin. “Elo lagi!” Janesh berdecak kesal saat ia menyadari bahwa customernya kali ini adalah Kenzi. “Mau pesan apa?” tanyanya mencoba bersikap professional.
Kenzi tersenyum melihat respon Janesh “Kayak kemarin!”
Janesh berpikir sejenak. Seingatnya, terakhir kali Kenzi datang ke kedai kopi adalah bulan lalu. Saat itu dia memesan dua gelas mochachino dan redvelvet cake. “Iced Mochacciono dan red velvet cake?” tanya Janesh memastikan. Kenzi tersenyum dan mengangguk pasti. “Berapa?” tanya Janesh sembari mengotak-atik mesin kasir.
“Dua.”
Janesh memperhatikan Kenzi saksama dan mengedarkan pandangannya ke sekitar Kenzi. “Makasih ya tawarannya, tapi hari ini gue nggak mau terima traktiran lo lagi!” kata Janesh saat ia mengira Kenzi kembali membelikannya Iced Mochacciono dan red velvet cake.
Kenzi menggeleng pelan “Bukan buat lo kok, tapi buat dia!” timpal Kenzi sembari menunjuk ke arah meja yang terletak di sudut ruangan.
Janes mengikuti arah tunjukkan Kenzi. Ia melihat seorang laki-laki lebih tua dari mereka. “Oh..” Janesh tersenyum kikuk. Sejujurnya Janesh merasa malu karna berpikir bahwa Kenzi akan mentraktirnya lagi.
“Totalnya jadi berapa?” tanya Kenzi membuyarkan lamunan Janesh.
Janesh segera menginput semua pesanan Kenzi di mesin komputer “Seratus dua puluh lima ribu rupiah!”
Kenzi mengangguk mengerti, ia mengeluarkan sebuah kartu ATM dan menyerahkannya kepada Janesh. Janesh segera menyelesaikan proses pembayaran dan mengembalikan kartu itu kepada Kenzi.
“Silahkan ditunggu, pesanannya akan segera siap!”
Kenzi berlalu meninggalkan mesin kasir dan kembali ke tempat duduknya. Ia memberitahukan kepada orang yang datang bersamanya jika pesanannya akan segera tiba. Janesh yang masih setia berdiri di belakang mesin kasir mengamati Kenzi diam-diam. Sepertinya pria yang datang bersama Kenzi kali ini adalah ayahnya. Mereka mengobrol dengan santai dan sesekali tertawa bersama. Tapi wajah pria itu tidak mirip dengan wajah bapak Halim --ketua Yayasan SMA Swapraja Bangsa-- yang ada diingatan Janesh. Pria itu terlihat sedikit lebih tua. Mungkin karena beberapa helai uban mulai tampak jelas diantara helai rambut lainnya. Atau mungkin karna kerutan-kerutan halus sudah mulai tampak di wajah pria itu. Ah… entahlah! Janesh juga sudah lupa seperti apa tepatnya wajah bapak Halim. Beliau terlalu sibuk hingga jarang datang ke sekolah.
Pikiran Janesh kembali teralih saat ada seorang customer berdiri di hadapannya. Butuh waktu sekitar sepuluh menit hingga akhirnya customer kali ini memutuskan menu yang akan dipesan. Sesigap mungkin Janesh menginput menu tersebut dan menyelesaikan proses pembayaran. Janesh harus bergerak cepat karena sudah ada lima orang mengantri di depan meja kasirnya. Setelah melayani customer yang berada di antrian terakhir. Mata Janesh kembali terpaut pada sosok Kenzi yang telah berdiri dari kursinya. Pria di hadapan Kenzi juga melakukan hal yang sama. Bola mata Janesh mengikuti langkah kaki Kenzi yang keluar bersama pria tersebut. Sesaat mereka keluar dari kedai kopi, dengan sigap pria tua itu segera berlari ke mobil BMW berwarna hitam dan membukakan pintu penumpang untuk Kenzi. Setelah Kenzi masuk barulah pria itu masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi supir. Janesh tertegun melihat hal itu, ia mulai meragukan pemikirannya sendiri. Sepertinya pria itu bukanlah bapak Halim. Sikap pria itu lebih terlihat seperti seorang sopir dan bukan layaknya seorang ayah. Tapi siapa peduli, Janesh tidak seharusnya memikirkan hal-hal demikian.
“Janesh!” panggil Tito membuyarkan lamunan Janesh.
“Kenapa?”
“Ini barang customer yang tadi duduk di meja paling pojok. Kayaknya ketinggalan deh!” kata Tito sembari menyodorkan sebuah buku ke arah Janesh. “Kalau nggak salah dia teman lo. Kalau sampai sore dia belum datang juga, lo yang balikin ya!”
Janesh meraih buku itu ragu “Kiat Sukses menghadapi ujian sekolah tingkat SMA.” Janesh membaca judul buku itu di dalam hati. “Harus gue nih yang balikin?” tanyanya enggan. Janesh merasa enggan harus berurusan dengan Kenzi. Si murid aneh itu!
“Ya, lo kan temannya. Siapa tau buku ini penting buat dia.” jawab Tito.
Janesh berpikir sejenak dan kembali memandangi buku digenggamannya.
“Siapa tau dengan lo balikin bukunya, lo jadi ada kesempatan buat PDKT!” bisik Tito dengan senyum menggoda.
Janesh memukul lengan Tito ringan, “Diem deh!” serunya kesal.
Tito terkekeh senang melihat ekspresi Janesh. “Dia ganteng loh, masa lo nggak naksir sih?”
Janesh berdecak kesal dan menatap Tito tajam “Apaan sih?!” ujar Janesh sembari menekuk wajahnya. “Udah sana kerja lagi, si bos ngeliatin lo tuh!” katanya kembali sibuk dengan mesin kasir.
*
Sejak tadi pagi, Ratna sibuk menyiapkan berbagai makanan kesukaan suami dan putranya. Hati Ratna begitu gembira, karena hari ini akan menjadi hari yang istimewa dan yang paling tentram bagi keluarga Prasetyo, semenjak 12 tahun silam. Hari ini keakraban sang ayah dan anaknya akan terjadi lagi. Mereka akan makan bersama, bersenda gurau, dan berbagi keluh kesah tanpa ada rasa canggung diantara mereka.
Pagi ini Joe pamit untuk pergi ke klub karate, seperti yang ayahnya perintahkan beberapa hari lalu. Ratna senang karena Joe sudah berubah pikiran dan mau menuruti perintah ayahnya. Sebenarnya Ratna sedikit khawatir dengan keadaan Joe karena semalam Joe demam. Akan tetapi, melihat semangat suaminya yang menggebu-gebu membuat semua kekhawatiran di hati Ratna sirna begitu saja.
Hati-hati Ratna menyajikan kwetiau goreng seafood kesukaan Joe di meja makan. Bersama asisten rumah tangganya, Ratna menyiapkan semua hidangan. Telfon rumahnya berbunyi tatkala ia sedang sibuk menyajikan menu makan malam. Bi Pur segera bergegas menghampiri telfon tersebut dan mengangkatnya. Namun sesaat kemudian ia kembali ke dapur.
“Bu, ada telfon buat bapak.” kata Bi Pur
“Bapak lagi mandi, biar saya aja yang angkat!” kata Ratna sembari bergegas melepas appronnya “Bibi tolong pindahkan ayam ini ke piring ya!” ucap Ratna sebelum berlalu ke ruang tamu. “Halo…, saya istri pak Prasetyo, ada yang bisa dibantu?” kata Ratna setelah menempelkan gagang telfon ke telinganya. “Apa?! Sekarang dia dimana?” tanya Ratna panik sesaat orang diujung telfon menjelaskan maksud panggilannya. “Oke saya akan segera ke sana, tolong jaga dia baik-baik!”
“Ada apa Ma?” tanya Anton heran melihat kepanikan Ratna.
Ratna menoleh ke arah suaminya yang sedang menuruni anak tangga. “Joe, Pa! Joe!” seru Ratna semakin panik.
Anton bergegas mendekati Ratna dan mencoba menenangkannya “Joe kenapa, Ma?” tanyanya.
“Joe mengalami cedera, Pa. Sekarang dia ada di rumah sakit!” jawab Ratna dengan suara bergetar menahan tangis.
“Apa?! Kok bisa?” tanya Anton tak percaya.
“Coach minta kita segera ke rumah sakit. Dia akan menjelaskan semuanya disana.” jelas Ratna “Ayo Pa, kita pergi ke rumah sakit sekarang!” ajak Ratna tak sabaran.
Anton mengangguk “Ayo Ma! Papa ambil kunci mobil dulu.” Anton bergegas menuju kamarnya dan mengambil kunci mobil. Sesaat kemudian ia sudah berada di ruang tamu dan bersiap untuk pergi.
“Bibi tolong rapihkan semuanya ya. Saya dan bapak harus pergi ke rumah sakit!” ucap Ratna kepada bi Pur sebelum mereka pergi. “Kalau sampai malam kami belum pulang, semua makanannya taro di kulkas saja. Bibi jangan lupa makan ya!” tambahnya, bi Pur mengangguk mengerti.
“Ayo Ma!”
Ratna mengangguk pelan “Kami pergi dulu ya, Bi!”
“Iya Bu, hati-hati!”
*
Kini disinilah Joe, terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sudah cukup lama ia tidak sadarkan diri, dokter telah memberikan obat penenang untuk Joe sehingga ia dapat beristirahat.
“Apa yang terjadi, coach?” tanya Anton panik.
“Joe mengalami cedera saat latihan Pak. Dia mengerang kesakitan. Kami sudah memberikan pertolongan pertama, tapi sepertinya tidak banyak membantu.” jelas coach Indra.
“Cedera? Kok bisa, coach?” suara Anton terdengar semakin panik.
Coach Indra mengangguk pasti “Iya pak. Sepertinya Joe pernah mengalami cedera sebelumnya. Sehinga cedera kecil saja sudah sangat menganggunya seperti ini.” jelasnya mencoba menganalisa.
Ratna memperhatikan kondisi anak semata wayangnya yang terlihat buruk. Kaki kiri Joe telah terpasang gips. Mendengar penjelasan coach Indra membuat Ratna menoleh ke arah Anton dan menatapnya kecewa. Anton hanya dapat mengernyitkan dahinya karena dia tidak mengerti maksud tatapan Ratna.
“Tadi dokter telah memberikan obat penenang sehingga Joe bisa istirahat.” ucapan coach Indra menyelamatkan Anton dari tatapan tajam Ratna. “Bapak dan ibu dapat menemui dokter untuk mengetahui kondisi Joe lebih jelas.”
Anton mengangguk mengerti “Ya, terima kasih coach!”
“Kalau gitu, saya pamit pulang ya Pak, Bu! Semoga Joe segera lekas pulih!”
“Terima kasih, coach!”
Coach Indra segera bergegas pulang dan meninggalkan ruang inap Joe. Sesaat kemudian seorang suster masuk ke dalam kamar dan meminta Ratna serta Anton untuk menemui dokter di ruangannya.
“Apakah sebelumnya pasien pernah mengalami cedera parah pada bagian tungkai dan kakinya?” tanya dokter setelah Anton dan Ratna menemuinya.
“Ya dok!” Ratna menjawab dengan cepat dan yakin membuat Anton menoleh heran ke arahnya. Namun Ratna tidak memedulikannya. “Anak saya pernah menjalani operasi pemasangan pen sekitar sepuluh tahun yang lalu, dok.” Jelas Ratna menatap lurus ke arah dokter.
“Apa setelah itu pasien tetap melakukan aktivitas berat?”
“Sesekali dok, jika ia terpaksa berlatih keras!” jawab Ratna sembari melirik tajam ke arah Anton.
Dokter mengangguk-angguk mengerti, ia kembali melihat hasil rontgen Joe. “Bapak, ibu, sebenarnya cedera yang baru saja dialami pasien tidak terlalu parah. Tetapi setelah saya mendengar penjelasan dari ibu dan melihat hasil rontgen pasien, saya memprediksi cedera ini dapat memperparah bagian bekas operasi sepuluh tahun yang lalu. Pasien harus menjalani fisioterapi.” jelasnya.
Ratna dan Anton menyimak dengan seksama penjelasan dokter. Sesekali Anton melirik ke arah Ratna yang terlihat sangat cemas mendengar semua penjelasan dokter.
“Fisioterapi ini harus segera dilakukan, karena jika tidak dapat memperburuk keadaan pasien.” tambah dokter. “Serta dapat berpotensi menimbulkan komplikasi!”
“Apa? Komplikasi dok?” tanya Anton dan Ratna bersamaan.
Dokter mengangguk pasti “Jadi fisioterapi ini harus segera kita lakukan, agar kondisi pasien dapat segera membaik.”
“Lakukan apa saja yang terbaik untuk anak saya, dok!” kata Ratna pasti.
*
Ratna membelai wajah anaknya lembut. Rasanya baru kemarin ia melahirkan seorang bayi mungil yang lucu dan menggemaskan. Kini dihadapannya terbaring seorang remaja pria yang tampan dengan lekuk wajah yang menarik. Biasanya disaat Joe tertidur, wajah Joe begitu polos seperti bayi. Begitu tentram dan damai. Namun kini, Ratna melihat ada rasa kecewa dan lelah yang terpancar dari raut wajah itu.
“Mama mau makan?” suara Anton membuyarkan lamunan Ratna, Ratna menggeleng lesu. “Dari tadi pagi mama belum makan. Ayo kita makan dulu Ma! Nanti kalau Joe sadar, ada suster yang akan menjaganya.” nada suara Anton terdengar khawatir.
Ratna kembali menggeleng lesu “Mama nggak lapar, Pa.” jawabnya.
“Nanti Mama sakit, makan ya Ma!” bujuk Anton lembut.
Ratna tertawa sumbang “Mama sudah sakit melihat Joe begini.” ucap Ratna sedih.
“Ma cedera adalah hal yang biasa saat olahraga. Dokter juga sudah bilang, kalau cedera yang Joe alami tidak terlalu parah. Jadi Mama tidak perlu khawatir berlebihan!” jelas Anton
Ratna menoleh kearah Anton dan menatapnya heran “Berlebihan kata Papa?” tanya Ratna tak percaya. “Anak kita baru saja mengalami cedera Pa. Sekarang Papa bilang aku berlebihan?”
“Ma, Joe itu sudah besar. Cedera ini pasti karena kesalahannya. Dia pasti tidak melakukan pemanasan dengan benar. Maka dari itulah dia mengalami cedera!” jawab Anton mulai emosi.
Ratna menatap suaminya tak percaya, “Papa keterlaluan ya! Apa papa tidak merasa kasihan dengan keadaan Joe?” tanyanya sedih.
Anton menatap datar ke arah Joe yang masih terbaring tak sadarkan diri. “Biarkan dia menanggung semua akibat dari perbuatannya. Mama jangan berlebihan.” kata Anton dingin.
“Pa!” panggil Ratna saat Anton ingin berlalu “Apa Papa tau kenapa Joe bisa begini?” tanya Ratna sambil terus memandangi wajah Joe “Pernah Papa tau apa yang Joe mau, Pa? Apa Papa tau cita-citanya Joe? Apa Papa tau semua itu?” tanyanya dengan nafas memburu. Anton bergeming, ia tidak menjawab semua pertanyaan Ratna “Pa, bisakah Papa hentikan semua ini? Obsesi Papa, keinginan Papa. Lihat Pa! anak kita menderita akibat obsesi Papanya yang egois.” tambah Ratna dengan suara bergetar menahan tangis.
“Papa tidak mengerti maksud Mama.” ujar Anton hendak berlalu.
“Tunggu Pa!” seru Ratna sambil menahan tangan suaminya “Papa harus tau, selama ini Mama mencoba menahan semua pendapat Mama tentang perasaan Joe. Tentang obsesi papa yang berlebihan pada Joe. Mama hanya tidak mau bertengkar dengan Papa. Tapi sekarang setelah Mama melihat keadaan seperti ini, membuat hati Mama tidak tahan lagi Pa.” jelas Ratna tegas.
“Papa tidak mau bahas soal ini, Ma!” kata Anton dingin.
“Papa harus dengar semua ini, Pa!” ujar Ratna tak mau kalah. “Joe tidak ingin jadi atlet, Joe ingin menentukan pilihannya sendiri.”
“Papa bilang, Papa tidak mau bahas soal ini, Ma!” bentak Anton kasar. Anton berlalu meninggalkan ruang inap Joe, sementara Ratna hanya dapat menangis tersedu memandangi anaknya. Hatinya terasa pilu karena selama ini ia tidak dapat membebaskan anaknya dari obsesi suaminya. Ratna merasa gagal mengubah hati Anton. Suaminya yang egois.
*
Beberapa hari yang lalu setelah Ratna selesai dari salon langganannya yang terletak di sebuah mall. Ia melewati sebuah toko buku. Bola matanya terpaut pada sebuah novel pada rak best seller yang terpajang di bagian depan toko buku. Kakinya melangkah pasti mendekati rak buku tersebut. Tangannya meraih novel itu dan membaca judul dengan seksama. Tersayat, karya JP. Hanya sekejap saja novel itu sanggup menarik hati Ratna. Ia membaca blurb yang ada dibalik novel. Sesaat kemudian ada rasa penasaran merasuki hati dan pikirannya. Membuatnya tertarik untuk membaca lebih lanjut kisah dalam novel tersebut.
Ratna meraih salah satu novel Tersayat yang tidak bersampul plastik. Tangannya dengan sigap membuka halaman secara acak. Bola matanya membaca sekilas narasi dan percakapan yang tertulis dalam novel tersebut. Semakin dibaca, rasa penasaran dihati Ratna semakin besar. Hatinya langsung terpaut dengan cara penulis menuturkan setiap rangkaian cerita. Rasa penasaran itu membuat tangan Ratna semakin bergerak lihai membuka halaman demi halaman. Hingga tangannya berhenti pada sebuah halaman, disana tertera sebait puisi yang tak asing bagi Ratna.
Bintangku bersinar terang
Memancarkan kilau yang cemerlang
Membuat mata dunia terpesona
Tetapi tidak bagi sang raja
Bintangku berkilau cemerlang
Menerangi hamparan langit yang pekat
Memberikan cahaya bagi dunia