UNSPECIAL

Elizabeth Rotua
Chapter #4

BAB III

BAB IV

Butiran-butiran keringat sebesar biji jagung membasahi dahi dan seluruh tubuh Joe. Raganya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Sementara jiwanya terus mengembara kemana saja ia hendak pergi. Terus mengembara hingga berhenti pada satu masa, dimana semua rasa sakit dan pahit ini berawal. Ingatan-ingatan masa kelam itu membuat hati Joe gelisah dan tak berdaya. Sekejap matanya terbuka. Namun seluruh otot tubuhnya tak bergerak. Joe merasa sulit untuk bernafas dan seluruh tubuhnya terasa kaku. Sekuat tenaga otak Joe berusaha untuk keluar dari kondisi ini dan membuat dirinya tersadar sepenuhnya.

Usaha Joe tidak sia-sia, beberapa saat kemudian dia telah mendapatkan secara penuh kesadarannya. Joe segera bangun dari posisinya dan terduduk lemah di atas ranjang. Ia menarik nafas dalam dan membuangnya secara perlahan. Joe mengulangi hal itu sebanyak mungkin untuk membuatnya lebih tenang. Setelah ia berhasil mengatur gerakan nafasnya, tangannya meraih segelas air mineral di atas meja. Joe meneguk air itu hingga habis sambil mengusap butiran-butiran keringat di dahinya. Kejadian ini bukanlah yang pertama kali Joe alami. Semenjak masa kelam itu, Joe sering mengalami parasomnia dan membuat dirinya merasa sangat tertekan.

Joe menyenderkan punggungnya ke sandaran ranjang. Matanya menatap wajah mamanya yang sedang terlelap di atas sofa. Semenjak ia masuk rumah sakit, mamanya selalu setia menjaga dan mengurus semua keperluannya. Sementara ayahnya, hanya sekali saja datang untuk menjenguk. Setelah itu ayahnya tidak pernah lagi datang hingga hari ini. Mengingat ayahnya, membuat pikiran Joe kembali pada masa kelam sepuluh tahun yang lalu. Saat itu Joe baru berumur tujuh tahun. Pada usianya yang semuda itu, Joe harus menerima segala tekanan dari obsesi ayahnya.

Semenjak Joe berusia lima tahun, Anton telah sering mendaftarkannya pada klub olahraga. Pada saat Joe berulang tahun yang ketujuh, Anton membelikan seekor kuda tunggang untuknya. Anton ingin agar Joe dapat berlatih berkuda dan menjadi seorang atlet pacuan yang hebat. Joe yang merasa takut dengan ketinggian, sudah berkali-kali menolak untuk mengikuti latihan tersebut. Namun Anton tetap pada pendiriannya. Ia terus memaksa Joe untuk berlatih berkuda.

Joe mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melawan semua rasa takutnya. Ia berusaha untuk bisa mengendalikan kuda yang terlihat jinak itu. Pada awal pertemuan semua berjalan dengan baik. Namun saat memasuki pertemuan kedua, ada sebuah kejadian yang sangat melukai Joe. Entah apa yang terjadi dengan kuda jantan itu. Hari ini dia mengamuk dan sulit untuk diatur. Hal itu membuat Joe terjatuh dari atas punggungnya. Tubuh kecil Joe terpelanting keras membentur tanah yang berumput. Joe merasa sangat terkejut. Tidak ada yang dapat ia lakukan selain menjerit kesakitan dan menangis sejadi-jadinya. Kaki kirinya terasa sangat sakit dan tidak dapat bergerak.

Beberapa petugas pacuan kuda mendekati Joe dan mencoba memberikan pertolongan pertama. Ratna dan Anton yang sedari tadi berdiri di pinggir lapangan turut berlari mendekati Joe. Ratna tampak sangat panik melihat putra sematawayangnya terjatuh dari kuda setinggi satu meter itu. Sementara Anton bersikap tetap tenang dan dengan sigap menekan nomor telfon rumah sakit. Anton meminta rumah sakit untuk mengirimkan ambulans. Sesaat kemudian ambulans datang. Tim medis bergegas mengangkat tubuh Joe untuk masuk ke dalam ambulans dan membawanya ke rumah sakit.

Dokter yang berjaga di UGD rumah sakit saat itu dengan sigap memeriksa kondisi Joe. Setelah diberi obat pereda rasa sakit, Joe dapat sedikit lebih tenang dan berisitrahat. Setelah itu perawat segera memindahkan Joe ke ruang inap. Pada saat yang bersamaan Anton mendapatkan telfon dari perusahaan ayahnya yang berada di Singapura. Ayahnya mengatakan bahwa kondisi perusahaan sedang tidak baik. Saham mereka mengalami penurunan drastis akibat beberapa proyek perusahaan yang tersangkut masalah dengan peraturan pemerintah. Ayah Anton memintanya untuk segera terbang ke Singapura malam itu juga dan mengurus masalah yang sedang terjadi.

“Papa serius akan pergi sekarang?” tanya Ratna tak percaya setelah Anton menceritakan duduk perkaranya.

Anton mengangguk ragu “Perusahan papi sedang membutuhkan aku, Ma.”

“Tapi Joe baru saja mengalami kecelakaan Pa, dan dia belum juga sadarkan diri.” kata Ratna gundah.

Anton menatap Joe yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. “Dia pasti akan segera sadar Ma.”

“Tapi Pa...”

“Maaf Bu, pasien harus segera di rontgen. Tolong Ibu urus administrasi terlebih dahulu.” kata suster yang tiba-tiba datang dan memotong ucapan ratna.

Ratna mengangguk mengerti dan menatap Anton ragu.

“Pergilah, aku akan berangkat ke bandara setelah kamu selesai mengurus keperluan Joe.” kata Anton menenangkan Ratna.

Sekali lagi Ratna mengangguk mengerti dan berlalu meninggalkan ruang inap Joe.

Kini hanya tinggal Joe dan Anton di ruang inap itu. Anton mendekati anaknya yang masih berada di dalam pengaruh obat penenang. Dia menatap wajah mungil anak semata wayangnya itu lekat-lekat. Tangannya membelai rambut Joe lembut.

“Kamu pasti akan segera pulih, karna kamu adalah anak yang kuat, Joe!” ucapnya lembut. “Bangunlah Joe. Papa tidak suka anak yang lemah!“ Anton memberikan instruksi dengan nada yang tegas. “Joe bangun! kau mendengar suara Papa, kan?!” suara Anton semakin tegas. “Ayo bangun dan buat Papa bangga!”

Joe yang sebenarnya sudah sadarkan diri sejak tadi, tidak berani membuka mata dan melihat wajah Anton. Mendengar nada suara Anton membuat Joe semakin yakin, jika saat ini ayahnya dalam kondisi marah. Joe berusaha terus merapatkan kelopak matanya yang kecil dan mengetatkan gigi-giginya. Ia terus berpura-pura tidak sadarkan diri.

“Joe bangun!” bentak ayahnya. Joe bergeming. Kedua tangan Anton menguncangkan tubuh Joe yang lemah, namun Joe tetap bergeming. “Bangun, Papa tidak mau punya anak yang lemah!” katanya dengan nafas memburu. “Cedera ini tidak parah, kamu pasti akan baik-baik saja. Ayo bangun Joe!” Anton terus berusaha membuat Joe membuka matanya.

Sama seperti Anton, Joe juga terus berusaha pura-pura tak sadarkan diri. Ia terlalu takut untuk membuka mata dan melihat amarah di wajah Anton. “Cepat bangun, Papa benci anak yang lemah!” pekik Anton sambil mengguncangkan tubuh Joe. Guncangan yang kencang itu membuat Joe kembali merasakan sakit pada bagian tubuh yang tadi terbentur tanah. Joe tidak sanggup lagi untuk berpura-pura. Sekejap matanya terbuka dan mengerang kesakitan. Kini Joe melihat dengan jelas kemarahan di raut wajah Anton.

Melihat Joe membuka matanya membuat Anton tersenyum lebar “Anak hebat!” serunya senang. “Apa kau baik-baik saja?” tanyanya.

Joe mengangguk ragu, ia merasa sangat takut. Untunglah mamanya datang diwaktu yang tepat.

“Joe sudah sadar?” tanya Ratna senang sembari mendekati ranjang Joe.

Anton mengangguk pasti “Joe anak yang kuat Ma, cedera ini tidak berarti apa-apa untuknya.”

Ratna tersenyum melihat Joe yang telah sadarkan diri.

Anton mengusap puncak kepala Joe dengan lembut dan mencium kening anaknya hangat. “Kamu harus segera pulih. Jangan lemah! Jangan cengeng! Papa tidak mau punya anak yang lemah!” bisik Anton ditelinga Joe. Joe hanya dapat menangguk ragu. Mendengar ancaman Anton membuat butiran-butiran keringat menghiasi dahi Joe. “Maaf ya, Joe, Papa harus pergi sebentar. Perusahan kakekmu membutuhkan Papa saat ini.” kata anton sembari menegakkan tubuhnya. “Selama Papa di Singapura, kamu harus tetap berlatih ya!” Anton mencoba memperingati. Ia berjalan mendekati Ratna dan memeluknya erat. “Papa pergi ya, Ma!” Sesaat kemudian ia berlalu meninggalkan ruangan tersebut.

*

Setelah melewati pemeriksaan yang spesifik, dokter akhirnya mendiagnosis Joe mengalami patah tulang serius dibagian tungkai dan kaki kirinya. Dokter ortopedi merekomendasikan Joe untuk menjalani operasi pemasangan pen dan fisioterapi. Joe meminta Ratna untuk merahasiakan semua ini dari Anton. Joe tidak ingin Anton menganggap dirinya lemah. Joe tidak ingin melihat, mendengar ataupun merasakan kemarahan Anton. Jauh lebih baik jika Anton tidak mengetahui apapun tentang kondisinya. Suatu kebetulan, hampir empat bulan ini Anton masih belum bisa kembali ke Indonesia. Kondisi perusahaan kakek Joe di Singapura masih sangat mengkhawatirkan. Sehingga Anton harus terus fokus melakukan yang terbaik untuk perusahaan keluarga mereka.

Hingga beberapa waktu lamanya rasa nyeri dan sakit akibat kejadian itu masih terus Joe rasakan. Gips dan tongkat membuat gerak tubuhnya sangat terbatas. Joe tidak bisa berlari bebas bersama teman-temannya. Ia hanya dapat terduduk lesu di pinggir lapangan tatkala jam istirahat. Menatap dengan sedih senyuman-senyuman bahagia yang terukir jelas di wajah temannya. Kecelakaan itu merenggut rasa percaya diri Joe dan membuatnya memilih menarik diri dari lingkungan. Akibat kecelakaan itu Joe tidak hanya terluka secara fisik, namun jiwanya pun ikut terluka. Joe merasa sangat trauma akibat kejadian ini. Rasa sakit terus menghantuinya, membuat tidurnya tidak nyenyak. Membuat dia sering tersadar ditengah malam yang sunyi. Serta memaksanya menangis tanpa suara di atas ranjangnya yang empuk.

Semua kesakitan itu terjadi karena obsesi Anton. Ayahnya yang sangat egois. Masih teringat jelas dibenak Joe semua perkataan ayahnya. Anton tidak suka melihat Joe menjadi sangat lemah dan tidak sadarkan diri. Anton benci dengan kondisi Joe yang lemah. Baginya semua cedera yang dialami Joe adalah hal yang kecil. Semua itu wajar terjadi dan tidak berarti apa-apa. Kala itu Joe yang masih sangat muda betul-betul merasa tertekan dengan segala obsesi Anton. Andai tidak ada mamanya yang mendukung, pastilah kondisinya semakin memburuk.

Setelah hampir satu tahun kejadian itu berlalu, Anton baru kembali ke Indonesia. Baik Joe ataupun Ratna, tidak ada yang memberitahunya tentang operasi dan fisioterapi itu. Mereka bersikap seperti semua baik-baik saja. Tidak ada kesakitan, tidak ada masalah besar dan tidak ada kelemahan. Semua tepat seperti yang Anton inginkan. Hal itu membuat Anton semakin memaksakan obsesinya kepada Joe. Hingga membuat Joe merasa lebih tertekan. Joe semakin sering mengalami psikosomatis dan parasomnia. Lagi-lagi semua itu tidak berarti apa-apa untuk Anton. Baginya Joe tetaplah anak yang kuat, setidaknya dia harus berpura-pura kuat di hadapan Anton. Jika tidak, Joe akan kembali menyaksikan semua kemarahan Anton.

Joe mencoba memejamkan matanya kembali. Ia menghirup nafas dalam, menahannya beberapa saat dan membuangnya perlahan. Joe tidak ingin terluka lagi, ia tidak ingin merasakan kesakitan ini lagi. Joe ingin terbebas dari semua obsesi Anton, semua ancamannya, semua hinaannya dan semua pandangannya yang buruk tentang Joe. Joe tidak ingin terkengkang lagi. Ia ingin bebas, lepas, dan terbang tinggi meraih apa yang ia sukai. Tapi bagaimana caranya? Beribu kali ia mencoba menjelaskan semuanya, berjuta kali Anton menolak dan menghinanya. Joe betul-betul sudah kehilangan akal. Ia tidak tau harus melakukan apa lagi untuk membuat Anton dapat mengerti.

*

Sepasang bola mata berwarna hitam itu terus mengamati kondisi di luar mobil. Sementara bahunya yang bidang bersandar tegak pada jok mobil belakang. Telinganya yang caplang menikmati setiap musik yang mengalun sendu dari radio mobil. Hari ini, seorang pria berusia sekitar empat puluhan datang menghampiri Janesh di sekolah. Pria itu memperkenalkan dirinya dengan nama pak Manto, dia adalah supir keluarga Prasetyo. Joe sengaja mengutus pak Manto untuk mengundang Janesh datang ke rumahnya. Undangan itu sebagai permintaan maaf atas sikapnya yang tidak baik kepada Janesh tempo hari. Awalnya Janesh menolak. Tetapi menurut pak Manto, Joe sangat mengharapkan kehadirannya. Setelah berpikir panjang, Janesh akhirnya setuju untuk menghadiri undangan tersebut.

Kini disinilah Janesh, duduk manis di jok belakang sambil mengamati pemandangan melalui jendela. Sementara pak Manto fokus mengendalikan setir mobil. Beberapa saat kemudian, mobil yang dikendarai pak Manto memasuki pelataran rumah lantai dua berwarna putih abu-abu. Konsep rumah minimalis namun elegan ini terlihat sebanding dengan rumah-rumah besar yang terletak di kanan dan kirinya. Sesaat setelah mobil berhenti, Janesh meraih handle mobil dan hendak turun. Secepat kilat pak Manto turun dari kursinya dan membukkan pintu mobil untuk Janesh.

“Aduh Pak, nggak usah repot-repot!” kata Janesh tak enak hati.

Pak Manto tersenyum lebar “Sudah tugas saya. Mba!”

Janesh mengangguk mengerti “Makasih ya, Pak!” katanya sopan.

“Sama-sama, Mba!” sahut Pak Manto “Silahkan masuk Mba, saya mau parkir mobil dulu!”

“Oke pak!” Janesh melangkahkan kakinya untuk menaiki dua anak tangga menuju teras rumah. Pada saat yang bersamaan pintu dibuka oleh seorang asisten rumah tangga yang tempo hari bertemu dengannya di rumah ini.

“Mba Janesh sudah datang, mari masuk Mba!” sapa bi Pur ramah.

Janesh tersenyum menanggapi sapaan wanita itu dan berjalan mendekatinya. “Makasih Bi!”

Bi Pur mengajak Janesh untuk masuk ke ruang tamu dan mempersilahkannya duduk di sofa panjang berwarna merah. “Silahkan duduk, Mba! Saya ijin ke dapur dulu mau buat minum!” katanya sebelum berlalu.

Lima menit kemudian bi Pur kembali ke ruang tamu dengan sebuah nampan besar ditangannya. Segelas jus jeruk, sepiring bolu coklat dan beberapa toples kue kering telah tersaji di atas nampan tersebut. Tangannya yang telah dipenuhi keriput-keriput halus dengan sigap menyiapkan semua itu di atas meja.

“Silahkan diminum, Mba!” katanya sopan.

Janesh tersenyum dan mengangguk pelan “Makasih, Bi! Joe ada di mana ya, Bi?” tanya Janesh sembari mengamati ke sekeliling rumah tersebut.

“Mas Joe lagi ke toko buku sebentar, Mba.”

Janesh mengangguk mengerti. “Sudah lama, Bi?”

“Sudah, Mba, paling sebentar lagi pulang. Silahkan dinikmati, Mba. Saya ijin ke dapur dulu.”

“Terima kasih, Bi!” sepeninggalan bi Pur, Janesh segera menyeruput jus jeruk yang tersedia di hadapannya. Rasanya sungguh segar, mengalir lembut membasahi kerongkongan Janesh yang sudah kering. Tangannya meraih sepotong bolu coklat. Rasa bolu itu sangat enak, coklatnya terasa manis dan lumer dimulut. Ah… Janesh jarang sekali bisa menikmati makanan seperti ini. Selain karena ia harus menjaga pola makan yang seimbang. Kantong Janesh juga sebisa mungkin menghindari makanan-makanan mahal seperti ini. Masih ada banyak hal yang harus ia penuhi, kenikmatan sesaat tidak boleh mengacaukan semuanya.

 Lima menit, sepuluh menit hingga tiga puluh menit Janesh menunggu. Baik Joe ataupun kedua orang tuanya belum ada yang kembali ke rumah. Jus jeruk yang disajikan bi Pur telah habis ia teguk. Kue kering di toples juga sudah ia cicipi. Namun mereka belum kunjung kembali. Janesh betul-betul sudah bosan menunggu selama ini.

“Eh Janesh sudah datang ya.” sapa Ratna membuyarkan lamunan Janesh.

“Eh-He! Iya Tante.” ucap Janesh sembari bangkit berdiri. Ia menyalami Ratna dan juga Anton.

Anton memperhatikan Janesh dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Kamu temannya Joe?” tanyanya.

“Iya Om.”

“Kalau tidak salah kamu Janesha Meliana peraih medali emas pada kejuaraan karate tingkat nasional, kan?” tanya Anton antusias.

“Iya Om.” jawab Janesh datar.

“Hebat! Om salut sekali sama kamu!” puji Anton sembari mengacungkan kedua jempolnya. “Kamu hebat, Om nonton loh pertandingan yang kemarin.” jelas Anton dengan wajah berbinar-binar.

“Makasih Om.” ucap Janesh seadanya.

“Eh… ayo duduk, enggak enak kan ngobrol sambil berdiri. Tante tinggal dulu ya ke dapur, mau masak” Ratna pamit ke dapur.

Anton dan Janesh melanjutkan perbincangan mereka tentang banyak hal. Tentang pertandingan tempo hari, pengalaman-pengalaman Janesh mengikuti kejuaran karate dan masih banyak lagi. Anton senang berbincang dengan Janesh. Janesh memiliki pengetahuan yang luas, kritis, dan semangat berolah raga yang tinggi. Satu lagi yang paling penting, karena Janesh adalah seorang atlet Karate.

“Andai Joe bisa sehebat kamu.” gumam Anton disela-sela perbincangan mereka.

Janesh mengernyitkan dahinya. “Wah Om, Joe itu lebih hebat dari saya.” katanya sembari tersenyum.

Anton berdecak tak setuju. “Menurut Om tidak Janesh. Kamu lebih hebat dari Joe, karna tidak ada satupun dari Joe yang dapat dibanggakan.” jelasnya dengan raut wajah kecewa.

Janesh kembali mengernyitkan dahinya, ia tidak mengerti dengan semua kekecewaan Anton. Sementara menurut Janesh dan teman-teman di sekolahnya, Joe adalah anak berprestasi yang sanggup membuat semua orang berdecak iri. “Joe itu keren loh, Om. Banyak hal yang bisa dibanggakan dari Joe. Joe punya segudang talenta Om. Teman-teman di sekolah banyak yang merasa iri dengan kehebatan Joe.” tandas Janesh tak setuju.

“Iya, tapi tidak ada yang membuat Om merasa bangga.”

“Kalau Om lihat dari apa yang tidak Joe miliki, sampai kapanpun Om tidak akan pernah bangga dengan Joe. Tapi sebaliknya, kalau Om melihat dari apa yang Joe miliki. Saya yakin seratus persen Om akan sangat bangga memiliki anak seperti Joe.” celoteh Janesh polos. Melihat ada perubahan di raut wajah Anton, Janesh jadi merasa tidak enak hati “Maaf Om, saya tidak bermaksud untuk tidak sopan.” katanya kikuk.

Anton tersenyum pahit. “Oh tidak apa-apa.” ujarnya.

Tak lama kemudian Joe tiba dengan tergesa-gesa. Memecah kecanggungan yang tercipta akibat perkataan Janesh.

“Maaf Janesh! lo jadi nunggu lama.”

“Santai aja Joe.” kata Janesh “Eh kaki lo sudah sembuh?” tanya Janesh senang saat ia melihat kaki kiri Joe sudah tidak memakai gips.

Joe mengangguk seadanya “Naik ke atas yuk!” ajak Joe sebelum berlalu menaiki anak tangga.

“Saya naik dulu ya, Om!”

Anton mengangguk kecil “Silahkan!”

Janesh mengikuti langkah kaki Joe menaiki anak tangga menuju lantai dua. Kakinya bergerak cepat mengejar langkah Joe yang telah lebih dulu berjalan di depannya. Mereka terus berjalan melewati beberapa ruangan di lantai dua. Hingga tiba di depan sebuah ruangan yang cukup besar. Ruangan itu hanya berisikan satu set meja dan sofa disamping pintu, sebuah meja buffet di dekat jendela dan barisan rak buku yang tersusun rapi. Dahsyat! Ruangan ini seperti ruang perpustakaan di sekolah. Tapi jauh lebih nyaman.

“Ini ruang apa?” tanya Janesh takjub melihat banyaknya rak-rak buku seperti di perpustakaan sekolah. Mata bulatnya mengitari setiap sudut ruangan tersebut. Bibirnya yang tipis sedikit terbuka karna rasa takjubnya.

“Ruang baca gue” jawab Joe singkat. Joe mempersilahkan Janesh duduk, sementara dia mencari sebuah buku dideretan rak buku agak jauh dari tempat duduk Janesh. “Sorry atas kejadian waktu itu.” ucap Joe masih ditempatnya berdiri.

Janesh mengernyitkan dahinya “Kejadian apa ya?” tanyanya bingung.

“Waktu lo ke rumah gue.” jawab Joe seadanya. “Mood gue lagi nggak baik saat itu.”

Janesh mengangguk-angguk kecil “Oh itu, iya nggak pa-pa kok. Gue juga udah lupa.” kata Janesh santai

Joe lanjut mencari buku, sementara Janesh hanya duduk bersandar di sofa sambil menunggunya. Mata Janesh terus mengamati setiap sudut ruangan tersebut. Janesh betul-betul takjub dengan apa yang dilihatnya. Joe memang kutu buku, ia memiliki koleksi buku yang jauh lebih banyak dari yang tersedia di perpustakaan sekolah.

Bosan hanya duduk menunggu saja membuat Janesh bangkit berdiri. Kakinya berjalan mengitari rak-rak buku yang berbaris rapih. Mencoba mengamati buku-buku yang tersusun di dalamnya. Kaki Janesh berhenti di depan sebuah jendela yang menghadap langsung ke taman belakang. Taman di belakang rumah Joe cukup luas. Sepertinya dia bisa bermain sepak bola disana. Kaki Janesh hendak kembali melangkah menuju sofa. Namun bola matanya yang bulat terpaut pada beberapa kotak kado dan bucket bunga di atas meja buffet dekat jendela. Matanya tertarik pada sebuah kotak paling besar. Kotak yang masih terbalut rapih dengan shiny paper berwarna gold, dihiasi sebuah pita berwarna merah diatasnya. Ada sebuah kartu ucapan yang terselip di antara pita tersebut. Bola mata Janesh membesar saat membaca tulisan yang tertera pada kartu ucapan.

*

Congratulation for you, JP!” Janesh membaca tulisan itu sekali lagi. “JP? Apa mungkin dugaan gue selama ini benar?” Janesh menatap Joe yang masih sibuk mencari buku di sebuah rak. Matanya mengawasi Joe dari atas kepala hingga ujung kaki.

“Ketemu.” seru Joe senang.

Seruan Joe membuyarkan lamunan Janesh. Ia bergegas kembali duduk di sofa. “Itu buku apa, Joe?” tanya Janesh penasaran sesaat Joe menghampirinya.

Joe mengamati novel yang ia genggam. “Ini novel yang pertama kali gue beli, dari kemarin gue pengen banget baca novel ini lagi. Akhirnya ketemu juga.” jelasnya dengan wajah berseri-seri.

“Jadi dari tadi gue nunggu lo sampai bosan, cuma karena lo lagi cari novel ini?” protes Janesh kesal.

“Iya.” ujar Joe dengan tampang innocence.

Janesh menghela nafas pendek. “Aduh Joe sebenarnya lo mau apa sih suruh gue kesini?” tanya Janesh tak sabaran.

Joe meletakan novel yang tadi ia cari di atas meja, dengan sedikit membetulkan posisi duduknya Joe berdeham pelan. “Lo bawa materi yang gue bilang?” tanya Joe akhirnya.

Janesh mengangguk dan mengeluarkan buku-buku dari dalam tasnya.

“Lo udah ngerjain tugas?” tanya Joe lagi.

Janesh menggeleng ragu. “Belum.”

Joe berdecak kesal. “Gimana lo mau bisa, kalau PR aja nggak lo kerjain. Bagian mana yang nggak lo ngerti?” tanya Joe untuk kesekian kalinya.

“Gue belum sempat baca materinya.” jawab Janesh seadanya.

Joe menghela nafas pendek “Lo niat belajar nggak, sih?!” suara Joe terdengar berbeda.

“Niat.”

“Ini tuh materi dua minggu yang lalu, masa lo belum baca sama sekali.” Joe mulai kehilangan kesabaran.

“Dari kemarin gue sibuk Joe.” Janesh menjawab apa adanya.

“Alasan!” tandas Joe. “Janesh tolong serius sedikit! Kalau lo memang nggak niat belajar, jangan buat orang susah.” nada suara Joe semakin meninggi.

“Gue niat Joe, tapi belum sempat.” ujar Janesh tak mau kalah.

“Cukup Janesh jangan banyak alasan! Kalau lo emang serius mau belajar dengan gue, belajar yang benar. Jangan buang-buang waktu gue, lo pikir urusan gue cuma lo doang?!” kata Joe dengan nafas memburu.

Janesh berdecak kesal “Loh kok lo jadi marah-marah sih? Gue kan emang belum sempat. Masih banyak materi yang harus gue kejar nggak cuma ini doang. Kalau emang lo nggak mau bantu gue, oke! Nggak apa-apa! Besok gue akan minta bu Emily untuk berhenti nyuruh lo. Jadi lo nggak perlu repot-repot ngajarin gue lagi.” ujar Janesh sama kesalnya. Janesh bangkit berdiri dan hendak berlalu. Apa tujuan Joe mengundangnya datang hanya untuk berdebat? Sungguh menyebalkan!.

 Joe menarik tangan Janesh untuk menahannya. “Janesh tunggu! Maaf gue lagi bad mood!” ujarnya pelan “Maaf gue nggak bermaksud…” Joe merasa tidak enak hati karena kembali berkata kasar pada Janesh.

Lihat selengkapnya