BAB V
“Mau kemana?” tanya Joe sesaat ia melihat Janesh bangkit berdiri dari bangkunya. Bel pulang sekolah telah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu. Hanya tersisa beberapa murid di kelas 12 IPA 2, termasuk Joe dan Janesh.
“Mau pulang.” jawab Janesh seadanya.
“Pulang? Nggak boleh!” larang Joe.
Janesh menatap heran ke arah Joe “Kenapa?”
Joe tidak menjawab, ia mengeluarkan buku paket matematika dan menaruhnya di atas meja Janesh. “Lo harus belajar dulu sebelum pulang.”
“Lagi? Kemarin kan kita udah belajar.” ujar Janesh bingung.
Joe menatap Janesh tajam “Pr lo masih banyak, lo harus serius belajar!” katanya tegas.
Melihat tatapan Joe membuat Janesh hanya bisa mengangguk kikuk sambil tersenyum meringis. Sejujurnya, Janesh hanya merasa heran karena Joe tiba-tiba sangat berinisiatif mengajaknya belajar. Sementara sudah hampir seminggu ini mereka juga selalu belajar bersama sepulang sekolah. Biasanya Joe punya segudang alasan untuk menolak permintaan Janesh. Tetapi selama seminggu terakhir, justru Joe yang berinisiatif mengajak Janesh untuk belajar bersama. Sepertinya minggu ini suasana hati Joe sedang sangat baik, sehingga dia mau berbelas kasih membantu Janesh.
Joe memberikan sepuluh soal kepada Janesh. Materi hari ini adalah materi yang minggu lalu pernah ia jelaskan kepada Janesh. Sehingga hari ini, Joe ingin Janesh mengulang materi tersebut dengan cara berlatih mengerjakan soal. Percakapannya dengan bu Emily waktu itu telah membuat Joe menyadari bahwa Janesh membutuhkan bantuannya. Bantuan yang Joe berikan mungkin tidak seberapa, tetapi bagi Janesh itu pasti sangat berarti. Mungkin sudah saatnya Joe membantu Janesh dengan sungguh-sungguh, karena jika bukan dirinya mungkin tidak ada lagi yang mau membantu Janesh.
“Bisa?” tanya Joe sembari memperhatikan cara Janesh menjawab soal.
Janesh mengangguk ragu “Lagi gue coba.”
“Hari ini lo ke kedai kopi?” tanya Joe tetap pada posisinya.
“Enggak!” jawab Janesh sembari menggeleng pasti.
“Kenapa?”
“Seharusnya hari ini gue ngajar karate di SMP, tapi sekolah tempat gue ngajar sedang ada acara. Jadi kegiatan ekskul hari ini libur.” jelas Janesh sembari mengerjakan soal nomor tiga.
Joe menatap Janesh takjub. Ternyata selain bekerja di kedai kopi, Janesh juga mengajar karate di SMP. “Lo ngajar karate juga?” tanyanya masih merasa takjub. Janesh mengangguk pasti. “Banyak ya kerjaan lo.”
Janesh tersenyum lebar dan mengangguk pasti.
“Kenapa sih lo harus kerja sebanyak itu?” tanya Joe tak mengerti.
Mendengar pertanyaan Joe membuat Janesh menghentikan gerakan tangannya yang sedang sibuk menulis rumus di kertas. Ia menatap Joe dalam dan tersenyum simpul “Karena keluarga gue butuh makan.” Janesh kembali berhitung.
Joe tertegun mendengar ucapan Janesh. Selama ini ia hidup begitu nyaman di rumahnya yang besar. Ia tidak perlu memikirkan cara untuk mendapatkan uang agar dapat membeli makan. Setiap kali Joe membuka mata di pagi hari, mamanya sudah menyiapkan segala keperluannya. Setiap bulan ayahnya selalu mengirimkan sejumlah uang ke rekeningnya. Joe bebas menghabiskan uang itu untuk memenuhi segala keinginannya. Jika kurang, ia masih bisa memintanya lagi kepada orang tuanya. Joe tidak pernah memikirkan bagaimana rasanya kekurangan materi. Namun semua itu tidak membuat Joe tumbuh menjadi orang yang pandai bersyukur. Dia masih saja mengeluh tentang kehidupannya dan merasa tidak cukup dengan apa yang dimilikinya. Kini mendengar sepenggal cerita tentang kehidupan Janesh, membuat Joe mengutuki dirinya sendiri. Seharusnya ia bisa mensyukuri kehidupannya yang lebih dari kata baik.
*
Janesh dan Joe bergegas merapihkan buku dan beberapa alat tulis. Tanpa terasa mereka sudah belajar selama dua jam. Kini mereka hendak bersiap meninggalkan sekolah karena hari sudah semakin sore. Mereka berjalan bersama melewati lorong sekolah yang sudah sepi. Hanya ada beberapa petugas kebersihan yang sedang merapihkan ruang kelas dan bagian sekolah lainnya. Langit tampak gelap pertanda hujan akan segera turun. Mereka harus bergegas meninggalkan sekolah jika tidak ingin terjebak hujan.
“Pulang naik apa?” tanya Joe saat mereka berjalan keluar dari gedung sekolah.
“Metromini.”
Joe mengangguk mengerti “Oke gue duluan ya!” katanya sebelum berlalu ke parkiran.
Janesh mengangguk dan berjalan menuju gerbang sekolah. Ia bertemu dengan pak Rudi satpam sekolah yang sedang asyik menikmati secangkir kopi hitam dan bakwan goreng.
“Sore Pak!” sapanya dengan senyum mengembang.
“Sore mba Janesh!” seru pak Rudi sambil mengangkat bakwannya. “Eh mba Janesh tunggu!” panggilnya sebelum Janesh berlalu.
Janesh menghentikan langkahnya dan kembali mendekati pos satpam. “Kenapa Pak?” tanyanya.
“Supir metromini lagi pada demo Mba. Jadi nggak ada metromini yang beroprasi.” jelas pak Rudi.
“Serius Pak?” tanya Janesh terkejut. “Tadi pagi masih ada, kok!”
Pak Rudi mengangguk pasti “Serius Mba, dari tadi siang nggak ada metromini yang lewat!” kata pak Rudi yakin.
Janesh menghela nafas panjang “Berarti saya harus naik transjakarta dong, ya.” kata Janesh sembari mengamati jalanan yang ramai dengan kendaraan pribadi. Tidak ada satupun angkot yang lewat di hadapannya.
“Tapi kan haltenya masih jauh.” kata pak Rudi. “Mau saya anter nggak, Mba?”
Janesh menggeleng keras “Nggak, nggak. Nggak usah Pak. Saya nggak mau ngerepotin Bapak!” tolak Janesh.
Pak Rudi tersenyum kecil “Nggak pa-pa Mba, daripada jalan kaki.”
Janesh kembali menggeleng keras “Nggak usah Pak, terima kasih. Saya jalan kaki aja, saya duluan ya Pak!” kata Janesh sembari mengangguk sopan.
“Hati-hati Mba!”
Janesh mulai berjalan menyusuri jalan raya menuju halte transjakarta terdekat. Jarak antara sekolahnya dan halte sekitar tiga kilometer. Ia terpaksa berjalan kaki menuju halte karena tidak ada angkutan umum yang melintas. Saat Janesh sedang asyik berjalan, terdengar suara klakson dari arah belakang. Janesh pikir dirinya telah menghalangi penguna jalan lain. Oleh karena itu Janesh terus bergerak ketepi jalan dan mengabaikan suara klakson tersebut. Meskipun begitu, pengendara motor di belakangnya terus membunyikan klaskon hingga membuat Janesh menoleh.
“Janesh!” panggil seorang pengendara motor tersebut.
Janesh memicingkan matanya, mencoba mengenali wajah orang di balik helm berwarna hitam. Menyadari kebingungan di raut wajah Janesh, pengendara motor itu pun melepas helmnya.
“Joe?!” seru Janesh. “Lo belum pulang?” tanya Janesh heran.
“Lo kenapa jalan kaki?” Joe balik bertanya.
“Nggak ada metromini, lagi pada demo.” jawab Janesh dengan suara sedikit kencang bersaing dengan suara klakson kendaraan lain.
“Ayo gue antar!” kata Joe menawarkan.
Janesh menggeleng keras. “Nggak usah, gue naik tranjakarta aja!”
“Ya udah gue antar sampai halte!”
Janesh berpikir sejenak, sebenarnya dia tidak mau merepotkan Joe.
“Ayo Janesh! Kita udah di klakson-in orang.” kata Joe membuyarkan pikiran Janesh.
Janesh menoleh ke arah beberapa kendaraan di belakang motor Joe. Mereka sudah menghambat jalan pengemudi lain. Menyadari hal itu Janesh segera mengangguk pasti dan naik ke atas motor Joe. Ia menyambar helm yang diberikan Joe dan memakainya dengan sigap. Setelah memastikan Janesh telah duduk dengan benar, Joe segera menancap gas.
Sesaat kemudian motor Joe berhenti tepat di bawah tangga jembatan transjakarta. Janesh menggeleng takjub saat melihat halte sudah penuh sesak oleh banyak penumpang. Sepertinya mereka adalah penumpang metromini dan angkot yang terpaksa beralih naik tranjakarta akibat adanya demo.
“Lo yakin mau naik transjakarta?” tanya Joe sesaat Janesh turun dari motornya.
“Yakin.” kata Janesh dengan nada suara tidak yakin.
“Penuh banget.” kata Joe sembari memperhatikan halte yang berada di seberang mereka. “Belum ada bis yang datang juga. Lo mau nyampe rumah jam berapa?!”
Janesh tersenyum meringis “Ya mau gimana lagi. Masa gue jalan kaki.”
Joe menatap Janesh. “Naik! Gue antar aja!”
“Nggak usah Joe, gue nggak mau ngerepotin lo!” tolak Janesh sambil menggeleng keras
Joe berdecak pelan “Nggak, kan gue yang mau!”
“Tapi…”
Joe menarik tangan Janesh pelan “Nggak terima penolakan! Sudah cepet naik. Sebentar lagi hujan!” kata Joe tegas.
Janesh terpaksa naik kembali ke atas motor dan menerima tawaran Joe. Janesh semakin merasa tidak enak hati karena ia sudah banyak menyusahkan Joe. Jika ada yang ia bisa lakukan untuk membalas kebaikan Joe, pasti Janesh akan melakukannya sepenuh hati. Ya Janesh janji!.
*
Janesh menepuk pundak Joe pelan saat melewati sebuah gang di pinggir jalan. “Gue turun disini aja, Joe!” katanya dengan suara agak kencang agar terdengar jelas oleh Joe.
“Kenapa?” tanya Joe sambil menghentikan laju motornya.
“Jalanan di dalam sempit, nanti motor lo susah keluar.” jawab Janesh sembari menunjuk gang rumahnya. Ia hendak turun dari motor Joe, namun Joe kembali menyalakan mesinnya. “Loh Joe, mau ngapain?” tanya Janesh bingung.
“Udah lo tunjukkin aja jalannya, masalah motor bisa diatur!” Joe mengarahkan motornya masuk ke dalam gang yang tadi Janesh tunjuk.
“Tapi jalanannya sempit banget, Joe!” kata Janesh memperingati.
Joe tidak merespon peringatan Janesh. Dia tetap fokus mengendarai motornya melewati gang senggol yang sempit. Gang itu sangat sempit dan mungkin hanya dapat dilalui oleh satu motor. “Kanan atau kiri?” tanya Joe saat mereka tiba di pertigaan jalan.
“Kanan.”
Joe mengangguk mengerti dan mengikuti arahan Janesh.
“Gue sampai sini aja, Joe!” kata Janesh sambil menepuk pundak Joe ringan.
“Ini kemana lagi?” tanya Joe tanpa menghiraukan perkataan Janesh “Kiri atau kanan?”
“Kiri, tapi gue sampai sini aja Joe. Nanti motor lo susah keluarnya.” kata Janesh
Joe tidak menghiraukan perkataan Janesh. Ia terus fokus mengendari motornya melewati jalan-jalan setapak yang sangat sempit. Beberapa jalan setapak itu berada diantara rumah-rumah yang saling berhadapan satu sama lain. Jarak antara rumah ke rumah sangatlah berdekatan. Bahkan beberapa diantaranya saling menempel satu sama lain. Sejujurnya baru kali ini Joe melihat secara langsung kondisi perkampungan seperti ini. Biasanya ia hanya melihatnya di media sosial atau di buku pelajarannya.
Meskipun sudah diingatkan berkali-kali oleh Janesh, namun Joe sama sekali tidak menghiraukan peringatan tersebut. Ia tetap fokus mengendarai motornya dan meminta Janesh mengarahkan jalan yang harus ia pilih. Hingga akhirnya mereka tiba di sebuah gang yang sangat sempit, dimana gang itu terletak diantara dua rumah.
“Joe gue sampai sini aja.”
“Rumah lo dimana?” tanya Joe sambil menghentikan motornya.
Janesh menunjuk gang yang ada di hadapan mereka. “Masuk gang itu, tapi lo nggak usah ikut. Nanti motor lo susah keluar.” kata Janesh memperingati.
Bukannya mengindahkan peringatan Janesh, Joe justru tancap gas memasuki gang dihadapannya. Gang itu betul-betul sangat sempit. Joe harus sangat berhati-hati jika motornya tidak mau tergores oleh dinding gang yang kasar. Panjang gang itu tidak terlalu jauh, hanya beberapa saat motor Joe sudah kembali keluar dari gang.
Melihat sikap keras kepala Joe membuat Janesh hanya bisa menghela nafas panjang. “Stop Joe! Ini rumah gue!” Janesh menginstruksikan Joe untuk menghentikan motornya di depan sebuah rumah kecil berwarna hijau. Rumah itu tampak sangat sederhana dan tua. “Thank you ya! Sorry jadi ngerepotin!” katanya sambil turun dari motor.
Joe mengangguk pasti “Santai!”
“Mau mampir?”
“Lain kali aja! Gue duluan ya!” kata Joe sambil menutup kaca helmnya. Ia hendak menyalakan mesin motornya, namun ia baru sadar kalau dihadapannya adalah jalan buntu. “Buntu?” tanyanya sambil menoleh heran ke arah Janesh.
Janesh mengangguk sembari menahan senyum. sementara Joe memperhatikan sekeliling rumah Janesh. Ada dua rumah berjejer disisi kanan dan kiri rumah Janesh. Sementara di depan rumah Janesh ada tembok besar yang merupakan bagian belakang dari rumah tetangganya. Rumah Janesh tidak memiliki teras. Sehingga jalanan yang sedang ia pijak sekarang adalah satu-satunya jalan yang memisahkan tembok tinggi itu dengan rumah Janesh. Hal itu membuat Joe kesulitan untuk memutar balik motornya.
“Terus gue gimana muter baliknya?” tanya Joe bingung.
“Kan dari tadi gue udah bilang, nanti motor lo susah keluar.” kata Janesh sembari menahan tawa. “Lo sih keras kepala!” akhirnya Janesh terkekeh senang melihat ekspresi bingung di wajah Joe.
Joe mendengus kesal “Jangan ketawa lo!” tandasnya.
Janesh menyimpan tawanya “Sorry!”
Joe berdecak kesal. Ia kesal dengan kebodohannya sendiri karena tidak mengindahkan peringatan Janesh. “Ya terus gimana?” tanyanya bingung.
“Mundur.” jawab Janesh seadanya.
“Mundur?” tanya Joe tak percaya.
Janesh mengangguk pasti “Ya mau gimana lagi, lo nggak bisa muter. Disini sempit banget, Joe. Masa motor lo mau muter di dalam rumah gue!”
Joe berpikir sejenak dan menghela nafas pendek.
“Tenang gue bantuin dorong, kok!” kata Janesh sembari tersenyum tulus.
Joe menatap Janesh putus asa “Baiklah!” Ia segera mendorong mundur motor naked-bikenya dibantu oleh Janesh. Baru lima langkah dari rumah Janesh, pintu rumah Janesh terbuka. Seorang wanita keluar dari rumah itu.
“Janesh!” panggil wanita itu.
Janesh menoleh saat namanya dipanggil. “Eh, hai bunda!” sapanya dengan senyum sumringah.
Joe memperhatikan wanita yang berdiri di depan pintu rumah. Wanita itu tampak sederhana dan tersenyum ramah kepada Joe. Joe mengangguk sopan dan membalas senyuman wanita itu. Namun sesaat kemudian mata wanita itu terbelalak dan tersirat kemarahan di dalamnya.
“Pergi!” pekik wanita bernama Andara itu.
“Loh Bun, kenapa?” tanya Janesh heran. “Ini Joe teman Janesh.” jelasnya.
“Pergi!” Andara berteriak semakin keras dan menunjuk Joe dengan penuh kemarahan. “Pergi! Jangan datang ke rumah ini!” usirnya.
Joe terkejut melihat perlakuan bunda Janesh terhadap dirinya. Ia menatap Janesh bingung dan berharap Janesh akan memberikan jawaban kepadanya.
Janesh berlari mendekati Andara yang semakin histeris. “Bunda, sabar Bun!” kata Janesh sembari menahan Andara, namun Andara terus berteriak mengusir Joe. Teriakan Andara membuat tetangga yang tinggal di kanan dan kiri rumahnya keluar dan menyaksikan semua kejadian ini.
Andara menatap Joe dengan sorot mata penuh kebencian. “Pergi! Pergi! Pergi!” pekiknya.
Janesh menatap Joe heran, mencari kesalahan pada diri Joe yang mungkin membuat bundannya bersikap histeris. “Astaga gue lupa!” Janesh menepuk jidatnya saat ia menyadari sesuatu.
“Joe tolong lepas hoodie lo, ya!” pinta Janesh panik.
Joe mengernyitkan dahinya. “Tapi kenapa?” tanya Joe semakin bingung.
“Please, lepas dulu!” jawab Janesh sembari menahan bundanya yang semakin histeris “Nanti gue jelasin. Sekarang lo lepas dulu terus simpan di dalam tas!” katanya memberi instruksi.
Meskipun merasa heran dengan semua yang terjadi, namun Joe tetap mengikuti arahan Janesh.
“Pergi! Pergi! Pergi!” pekik Andara sembari menunjuk-nunjuk Joe.