UNSPECIAL

Elizabeth Rotua
Chapter #6

BAB V

Janesh menutup telinganya rapat-rapat dan mengabaikan semua cercaan yang diarahkan kepadanya. Ia tidak mempedulikan semua tatapan sinis yang terus mengawasi setiap gerak-geriknya. Tidak ada sedikitpun rasa tertarik di hati Janesh untuk membalas semua hinaan itu. Bahkan ia pun sudah tidak bergairah untuk mencari tau dalang dari kejadian sebulan yang lalu. Janesh sadar meskipun dia mengatahui pelaku sebenarnya, hal itu tidak akan mengubah apapun. Cepat atau lambat semua orang akan mengetahui fakta yang sesungguhnya. Meskipun berita ini baru tersebar lima tahun yang akan datang, semua orang akan tetap menghina dan merendahkannya. Jadi tidak ada bedanya untuk Janesh.

Perkataan Kenzi telah menyadarkan Janesh untuk tetap tenang dan fokus. Tidak ada hal yang lebih penting selain kesehatan bundanya. Janesh tidak boleh menjadi lemah. Ia harus tetap kuat dan berjuang demi bunda dan adiknya. Janesh harus mengabaikan perkataan orang yang tidak mengetahui semua perjuangannya. Ia harus kembali mengingat prinsip hidupnya. Bahwa ini adalah hidupnya bukan hidup orang lain. Ini adalah dirinya dan bukan diri orang lain. Tidak perlu memikirkan perkataan orang lain, karna yang menjalani hidup ini adalah dia. Singkat kata, Janesh harus kembali bersikap masa bodoh dengan perkataan negatif orang lain tentang dirinya.

Janesh terperanjat saat seseorang melempar sebuah majalah ke atas mejanya. “Joe?!”

“Maksud lo apa sih, Janesh?” tanya Joe dengan nada tinggi. Saat itu ruang kelas masih sepi, belum ada teman sekelas mereka yang datang.

“Ada apa Joe?” Janesh balik bertanya, dia tidak mengerti mengapa pagi ini Joe tiba-tiba datang dan membentaknya.

“Baca tuh!” perintah Joe sembari menunjuk majalah yang tergeletak di atas meja.

Janesh mengikuti perintah Joe, ia meraih majalah tersebut dan membaca headline berita pada cover majalah. “Penulis terkenal JP adalah Murid SMA Swapraja Bangsa!” bacanya dalam hati. Janesh menatap Joe kaget. “Ko… kok bisa? Siapa yang nyebarin berita ini?” tanya Janesh bingung.

Joe memicingkan matanya. “Menurut lo siapa? Cuma ada dua orang yang tau tentang identitas JP!” jawabnya penuh emosi. “Lo dan mama gue!”

Janesh mengernyitkan dahinya “Maksud lo?”

“Gue sangat mempercayai mama gue. Dia nggak akan melakukan hal ini!”

“Jadi menurut lo, gue yang nyebarin berita ini?” tanya Janesh tak percaya.

Joe tertawa sumbang “Ya siapa lagi?!”

“Gue nggak ngelakuin ini, Joe!” kata Janesh sembari menggeleng keras.

“Terus lo nuduh mama gue?” tanya Joe sambil menatap Janesh tajam.

Janesh menghela nafas panjang “Ya gue nggak tau, tapi sumpah gue nggak ngelakuin ini!” katanya menyakinkan.

“Cih!” Joe mendengus kesal “Jadi ini balasan dari lo untuk berita bunda lo kemarin?” tanya Joe dengan nafas memburu. “Lo nggak seharusnya balas dendam ke gue, Janesh! Gue bukan pelakunya!” tandas Joe kecewa.

Janesh menggeleng keras “Bukan gue Joe! Gue nggak tau apa-apa tentang semua ini!” katanya mencoba meyakinkan.

Joe menatap Janesh dengan tatapan penuh amarah. Ia merasa tidak terima dengan perbutan Janesh kali ini. Janesh telah mengingkari janjinya dan menyebarkan identitas Joe kepada publik. Mungkin kini Joe tidak dapat lagi menutupi identitasnya dan harus kembali menghadapi amarah ayahnya. Janesh sudah keterlaluan, tidak seharusnya dia membalaskan amarahnya kepada Joe. Joe tidak pernah membocorkan rahasia tentang kondisi bunda Janesh. Tapi kini justru Janesh yang telah membongkar identitas Joe kepada publik. Janesh sangat keterlaluan, dia membalas kebaikan Joe dengan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan.

“Joe gue nggak melakukan apa-apa! Gue juga nggak merasa dendam dengan siapapun!” Janesh mencoba terus menyakinkan Joe bahwa bukan dia pelakunya. “Lo harus percaya sama gue, Joe. Gue nggak mungkin melakukan semua ini!” Janesh membaca ujung berita tersebut dan berkata “Coba lo tanya sama penulis berita ini, dari mana dia tau semua informasinya. Atau coba lo inget-inget lagi, selain gue dan mama lo yang tau…”

Joe mengangkat tangannya “Cukup!” potong Joe kesal. “Gue benci sama pengkhinat!” katanya dingin. Joe mencoba mengatur nafas dan mengendalikan dirinya. “Gue akan bilang sama bu Emily, kalau gue nggak bisa ngajarin lo lagi!”

“Ta.. ta.. tapi Joe…”

“Cukup Janesh, gue kecewa sama lo!” tandas Joe sambil menatap Janesh tajam. Joe berlalu meninggalkan Janesh, namun langkahnya terhenti saat Janesh memanggilnya.

“Tunggu Joe!” seru Janesh. Ia menghela nafas panjang “Lo nggak perlu menyampaikan hal ini ke bu Emily. Percuma, bu Emily pasti akan memaksa lo untuk terus bantu gue.” Janesh terdiam sejenak “Gue akan berusaha sendiri!”

“Terserah lo!” kata Joe sebelum berlalu.

Selepas Joe meninggalkannya, Janesh hanya bisa terduduk lesu dan menghela nafas panjang. Janesh tidak mengerti mengapa masalah seolah silih berganti menerpa hidupnya. Setelah ia berhasil melewati masalah mengenai kondisi bundanya. Kini Janesh harus menghadapi kemarahan Joe yang tertuju padanya. Janesh betul-betul tidak tau menau mengenai berita ini. Semenjak Joe menceritakan kisahnya, tidak pernah sekalipun Janesh mengungkit hal tersebut kepada orang lain. Janesh menyimpan rahasia itu rapat-rapat di dalam hati dan pikirannya. Tapi sekarang, entah siapa yang telah menyebarkan berita itu, Janesh betul-betul tidak mengerti. Saat ini Janesh harus menghadapi dua masalah sekaligus. Menghadapi kemarahan Joe dan berusaha sendiri mengejar materi yang tertinggal.

*

Joe berlalu meninggalkan Janesh dengan perasaan kalut. Ia melangkahkan kakinya menuju taman belakang sekolah yang jarang didatangi murid-murid. Joe membutuhkan tempat yang nyaman dan jauh dari keramaian. Ia harus menenangkan hatinya yang sedang dipenuhi rasa kecewa. Joe betul-betul merasa marah dengan tindakan Janesh saat ini. Janesh tidak seharusnya membongkar identitas Joe kepada publik. Meskipun Joe telah berniat mengungkap jati dirinya, tetapi Joe tidak mengharapkan informasi ini tersebar sebelum waktunya. Joe masih belum siap menghadapi para penggemarnya secara langsung, Joe juga belum siap menghapi pertanyaan mengenai alasannya menyembunyikan identitasnya selama ini. Selain itu Joe juga belum siap menghadapi kemarahan ayahnya. Ayahnya pasti akan menghancurkan semua karyanya, menghina dan merendahkan dirinya. Belum lagi akhir-akhir ini hubungan Joe dengan ayahnya semakin merenggang. Setelah Joe kembali mengalami cedera dan harus menjalani fisioterapi. Mereka sama sekali tidak bertegur sapa, melainkan saling mengabaikan satu sama lain.

Joe terperanjat saat sesuatu menyentuh lengannya. Matanya terpaut pada sekotak coklat yang terulur di hadapannya. Ia mengamati seorang siswi perempuan yang ia kenali dengan nama Helena. Dahinya mengernyit karna merasa heran dengan kehadiran Helena di dekatnya.

“Buat lo!” ucap Helena dengan senyum mengembang. Joe bergeming, ia terus menatap Helena dengan tatapan heran. “Sorry lo pasti bingung ya kenapa gue tiba-tiba kasih coklat.” katanya sembari menepuk jidatnya ringan. “Jadi gue ini salah satu penggemar JP, dan gue senang banget pas baca headline majalah sekolah bulan ini. Gue nggak nyangka, ternyata JP itu adalah lo!” jelasnya antusias.

Joe mendengus kesal “Berita itu hoax!” tandasnya berbohong.

Helena mengernyitkan dahinya. “Ah masa sih? Mana mungkin berita majalah sekolah kita hoax!” katanya tak percaya.

“Ya terserah lo mau percaya atau nggak!” sahut Joe tak bersemangat. Ia hendak berlalu meninggalkan Helena namun langkahnya terhenti saat Helena memanggilnya.

“Lo pasti bohong, kan?! JP itu pasti lo, ciri-cirinya waktu meet and greet mirip banget kok sama lo!” ujar Helena sembari menghampiri Joe yang sudah menjauh beberapa langkah darinya. “Gue yakin banget, pasti JP itu adalah lo! Karena satu-satunya murid di sekolah ini yang paling berprestasi dalam bidang bahasa ya cuma lo. Joe Prasetyo!” jelas Helena dengan penuh keyakinan. “Dan satu-satunya siswa yang memiliki inisial JP itu ya cuma lo!” tambahnya semakin yakin.

Joe bergeming. Berita di koran sekolah hari ini memang tidak secara gamblang menjelaskan identitas JP. Berita tersebut hanya menjelaskan bahwa penulis terkenal JP masih berstatus pelajar dan saat ini sedang menempuh Pendidikan di SMA Swapraja Bangsa. Tetapi benar kata Helena, di sekolah ini satu-satunya murid yang memiliki inisial JP hanyalah Joe. Tidak ada yang lain. Joe berusaha mengendalikan dirinya dan tetap bersikap tenang. Ia harus berpura-pura tidak terganggu dengan berita tersebut agar tetap dapat menyembunyikan identitasnya.

“Jadi bener kan, kalau JP itu lo?” tanya Helena penuh selidik.

Joe berdecak kesal. “Lo ngomong apa, sih?!” katanya sembari melirik Helena sinis.

“Oke kalau lo masih nggak mau mengakui semuanya.” kata Helena “Tapi please terima coklat ini ya, gue udah siapin ini buat lo!” ujarnya penuh harap.

Joe melirik ke arah kotak coklat yang disodorkan Helena kepadanya. “Gue nggak suka coklat!” tandasnya tak acuh.

Helena menghela nafas pendek “Yaahhh… please terima ya Joe!” bujuk Helena dengan senyum andalannya.

Joe menatap Helena, matanya terpaut pada senyum memukau yang terukir pada bibir Helena yang tipis. Kecantikan Helena turut terpancar bersamaan senyuman itu. Sekarang Joe mengerti hal apa yang membuat Helena sangat dikagumi banyak murid di sekolah ini. Kecantikan Helena memang belum ada yang mampu menyainginya. “Makasih!” kata Joe akhirnya tanpa menerima coklat tersebut. Ia melangkahkan kakinya meninggalkan Helena sendirian di taman.

*

Seorang wanita muda berusia sekitar tiga puluhan dengan gaya busana kekinian memasuki kedai kopi tempat Janesh bekerja. Wanita itu menggandeng seorang anak perempuan yang sepertinya baru memasuki usia tiga tahun. Mereka berdua berjalan menuju kasir dan segera disambut oleh Janesh yang selalu siap sedia menanti kehadiran customer.

“Selamat datang di Cangkir Kopi, mau pesan apa Bu?” sapa Janesh ramah.

Wanita itu terdiam sembari memperhatikan daftar menu yang menempel pada papan berwarna hitam. “Hmm, saya pesan coffee latte satu dan… “

Mommy, I wanna doughnut!” ujar anak perempuan itu dengan aksen Inggris yang cukup baik untuk anak seusianya.

Doughnut?! Which one do you want, chocolate or strawberry?”

Chocolate!”

Okay, wait sweetie!” wanita itu kembali menoleh ke arah Janesh. “Donat coklatnya dua, stroopwafel satu dan Americano satu.” kata wanita itu melanjutkan pesanannya.

Mendengar pesanan wanita itu, telunjuk Janesh bergegas menginput semuanya di mesin kasir. Beberapa saat kemudian dia menyebutkan total harga dari pesanan wanita itu. “Pembayarannya debit atau cash, Bu?”

“Debit!” jawab wanita itu sembari menyerahkan sebuah kartu kepada Janesh.

Janesh mengangguk mengerti dan meraih kartu tersebut. Ia segera melakukan proses pembayaran dan mengarahkan mesin EDC kearah wanita itu. “Silahkan pinnya!” setelah wanita itu menginput pin kartu debitnya, Janesh segera menyelesaikan proses pembayaran.

“Sudah?” tanya seseorang yang datang menghampiri wanita itu dan anaknya.

“Sebentar lagi!” jawab perempuan itu.

Janesh mengangkat kepalanya tatkala ia mendengar suara pria yang menghampiri customernya. Ia mengenali suara itu, suara yang sudah lama tidak pernah ia dengar. Wajah Janesh memucat, sesaat matanya terpaut pada wajah pria dihadapannya. Sama seperti Janesh, untuk beberapa detik pria itu juga terpaku menatap Janesh.

“Sudah, Mba?” tanya wanita itu membuyarkan lamunan Janesh.

Janesh tersenyum kikuk dan meraih kertas struk yang telah selesai dicetak. Ia memberikan struk dan kartu kepada wanita itu. “Silahkan menunggu, pesanannya akan segera siap!” kata Janesh canggung.

Wanita itu mengangguk mengerti dan berjalan bersama anaknya meninggalkan meja kasir. Sementara pria itu masih terpaku menatap Janesh. Ia baru beranjak dari posisinya saat customer selanjutnya melangkah mendekat ke meja kasir. Janesh bergegas melayani customer yang silih berganti mengantri di hadapannya. Sesekali ia melirik ke arah keluarga kecil itu. Mereka duduk tak jauh dari tempatnya berdiri. Janesh melihat mereka sedang menikmati hidangan yang tersaji di atas meja. Mereka juga asyik berbincang dan bersenda gurau. Terpancar kebahagiaan dari raut wajah mereka. Tidak ada kesedihan ataupun penderitaan.

Saat tidak ada customer yang berdiri di hadapannya, Janesh kembali menatap pria itu. Sosok yang telah tiga tahun tidak pernah ia lihat dan tidak pernah ia dengar kabarnya. Sosok yang ia rindukan namun juga ia benci. Dialah sosok kepala rumah tangga yang rela meninggalkan istri dan anaknya demi wanita lain. Sosok ayah yang mengabaikan anak-anak terdahulunya dan memilih bahagia dengan anak barunya. Lama Janesh tak mendengar kabar tentang ayahnya. Terakhir kabar yang ia dengar ayahnya telah pindah ke luar negeri bersama wanita itu. Namun hari ini, mereka hadir tepat di hadapan Janesh tanpa diundang.

Janesh menatap pria itu nanar. Tampaknya tidak ada penyeselan yang terpancar di raut wajah ayahnya. Tidak ada rasa sesal karena telah meninggalkan istri dan anaknya. Raut wajah itu hanya memancarkan kebahagiaan. Kebahagiaan yang ia rasakan sendiri tanpa memikirkan kondisi istri dan kedua anak perempuannya. Janesh memalingkan wajahnya. Sekuat tenaga Janesh berusaha untuk menahan air matanya. Ia tidak boleh menangis disaat seperti ini. Janesh harus menguasai dirinya dan tetap bersikap tenang. Meskipun hatinya sangat sakit memikirkan kemungkinan ayahnya sudah benar-benar melupakannya.

Selama tiga tahun terakhir, Janesh berusaha sekuat tenaga untuk merelakan kepergiaan ayahnya. Mengikhlaskan nasib buruk yang harus dijalani, setelah pria itu pergi meninggalkan keluarganya. Namun kini, ia harus kembali bertemu dengan ayahnya dan wanita itu. Hati Janesh terasa sangat pedih, seperti disayat dan ditaburi garam. Rasanya ia tidak sanggup menahan air mata yang terus memaksa untuk turun. Bola matanya sudah berkaca-kaca, kerongkongannya terasa kering tidak sanggup untuk bersuara. Janesh mengetatkan rahangnya dan mengalihkan pandangannya. Ia menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan. Berkali-kali Janesh melakukan hal itu hingga ia mampu menguasai dirinya sendiri. Janesh tidak boleh terlihat lemah dihadapan ayahnya. Jika ayahnya saja sanggup meninggalkan dirinya tanpa berniat untuk kembali, jadi apalah artinya air mata Janesh saat ini. Ayahnya terlalu terlena dengan kebahagiaannya, tanpa pernah berpikir tentang penderitaan yang harus Janesh lalui.

Janesh spontan menoleh ke arah tisu yang diulurkan padanya. Ia mengangkat kepalanya dan mendapati Kenzi berdiri di depan meja kasir.

“Mungkin lo butuh!” kata Kenzi sembari tersenyum hangat.

Janesh kembali memalingkan wajahnya dan mendengus kesal. Ia merasa kesal melihat kehadiran Kenzi disituasi seperti ini. Meski begitu, Janesh tetap berusaha bersikap professional. “Mau pesan apa?” tanyanya sambil menatap layar mesin kasir. Janesh berusaha untuk membuat suaranya terdengar senormal mungkin.

“Senyuman!” jawab Kenzi sambil tersenyum simpul.

 “Tolong serius!” kata Janesh seadanya tanpa mengangkat wajahnya dari mesin kasir.

Kenzi tertawa kecil “Gue mau bicara dengan manajer tempat ini. Bisa tolong panggilkan?”

Janesh mengangguk kecil dan berlalu masuk ke ruang dapur. Beberapa saat kemudian dia keluar bersama pak Krisna. “Yang itu, Pak!” kata Janesh sambil menunjuk Kenzi yang masih berdiri di depan meja kasir.

Pak Krisna mengangguk mengerti dan menghampiri Kenzi. Mereka sedikit menjauh dari mesin kasir dan berbicara cukup serius. Janesh tidak menghiraukan percakapan mereka, ia terus fokus melayani customer yang datang memesan. Meski ia terus mencoba mengabaikan kehadiran ayahnya, tetapi sesekali matanya kembali melirik ke arah tempat ayahnya duduk.

“Janesh!” panggil pak Krisna membuyarkan lamunan Janesh.

“Ya Pak?!” jawab Janesh kikuk.

“Kamu ngelamun ya? Dari tadi saya panggil diam aja!” protes pak Krisna.

Janesh menyeringai kikuk “Maaf Pak!” katanya. Janesh terlalu fokus mengamati ayahnya, sehingga ia mengabaikan semua panggilan pak Krisna.

“Kamu pulang aja, deh! kayaknya kamu lagi kurang sehat.” kata pak Krisna sembari memperhatikan kondisi Janesh.

Janesh menggeleng cepat “Saya baik-baik aja kok, Pak!” katanya menyakinkan.

Pak Krisna mengibas-ngibaskan tangannya “Udah, udah, kamu pulang aja. Saya nggak mau ada keluhan dari customer!”

“Tapi pak…”

“Pulang!” perintah pak Krisna tegas “Masalah gaji, hari ini aman!”

Janesh tersenyum lebar “Serius Pak?”

“Iya, dari pada saya dapat complain dari customer!” kata pak Krisna sambil memijat kepalanya yang terasa pening. “Udah sana pulang!” ujarnya sebelum berlalu.

Janesh mengangguk mengerti dan segera melepaskan appron yang ia kenakan.

*

“Janesh!”

Janesh berhenti melangkah saat seseorang memanggil namanya setelah ia keluar dari kedai kopi melalui pintu belakang. Ia membalikkan tubuhnya.

“Apa kabar?”

Janesh tertawa sumbang “Ayah masih ingin tau kabarku?” tanyanya getir “Atau hanya basa-basi?”

“Sejak kapan kamu bekerja seperti ini?” kata ayahnya balik bertanya.

“Apa urusan Ayah?!” ucap Janesh dingin

“Ayah tau kamu marah, tapi…”

Lihat selengkapnya