UNSPECIAL

Elizabeth Rotua
Chapter #7

BAB VI

Janesh kembali memandangi kertas hasil ujian tengah semester yang ada di genggamannya. Ia menghela nafas panjang dan menatap kertas itu lesu. Ada banyak mata pelajaran yang mendapat nilai dibawah standar. Sedangkan selama beberapa minggu terakhir dia sudah bekerja sangat keras untuk mendapatkan nilai terbaik. Tetapi hasilnya tetap sama. Mungkin benar kata orang-orang, bahwa dia tidak pantas berada di kelas 12 IPA 2. Bahkan ia merasa tidak pantas menjadi bagian dari sekolah ini. Kini entah usaha apa lagi yang harus Janesh lakukan agar ia dapat mempertahankan beasiswanya.

Pikirannya teralihkan saat ada seseorang yang mengulurkan sebatang coklat ke arahnya. Janesh mengangkat wajahnya dan menatap orang yang berdiri tepat di hadapannya. Matanya terpaut pada bola mata yang sedang menatapnya teduh dan senyum hangat yang diarahkan untuknya. Akhir-akhir ini tatapan teduh dan senyuman hangat itu terasa tidak asing bagi Janesh. Ia semakin sering menjumpainya setiap ia berpapasan dengan Kenzi.

“Buat lo!” kata Kenzi.

“Gue nggak suka coklat!” tolak Janesh sembari memalingkan wajahnya.

“Masa, sih? Bukannya lo suka semua jenis makanan?” tanya Kenzi tanpa mengubah posisinya.

Janesh menoleh cepat ke arah Kenzi. Ia heran, mengapa Kenzi dapat mengetahui hal itu. Sejujurnya memang tidak ada makanan yang tidak Janesh sukai.

“Betul, kan?” tanya Kenzi saat melihat ekspresi Janesh.

Janesh tidak menjawab, ia hanya mendengus kecil dan kembali memalingkan wajahnya.

“Hasil UTS udah keluar, ya?!” ujar Kenzi sembari duduk disamping Janesh. “Nilai Olahraga lo keren juga!” pujinya saat ia melihat angka 95 tertera di kertas hasil ujian Janesh.

Janesh segera menyembunyikan kertas hasil ujiannya saat mendengar pujian Kenzi. “Apaan sih lo!” kata Janesh risih.

“Dapat nilai sebagus itu, kok muka lo tetap lecek?”

Janesh melirik sinis. “Kepo!” jawabnya ketus.

Kenzi tertawa kecil menanggapi jawaban Janesh. “Gue boleh minta bantuan lo, nggak?” tanya Kenzi setelah mereka lama terdiam,

Mendengar pertanyaan Kenzi membuat Janesh menoleh dan menatap Kenzi bingung.

“Gue punya satu hobi yang sampai saat ini susah banget untuk gue lakukan. Sepertinya lo bisa bantu gue.” Kenzi melanjutkan ucapannya saat Janesh menatapnya bingung.

“Hobi apa?” tanya Janesh semakin bingung.

“Mengajar!” jawab Kenzi dengan senyum mengembang.

“Mengajar?”

Kenzi mengangguk pasti “Iya mengajar!” katanya memastikan.

Janesh bergeming, ia masih merasa bingung dengan maksud perkataan Kenzi.

“Jadi gini, Janesh…” Kenzi berhenti sejenak untuk mengubah posisi duduknya. Ia memutar tubuhnya agar dapat menghadap langsung ke arah Janesh. “Gue senang banget ketika bisa ngajarin orang lain. Sayangnya di kelas gue nggak ada yang bisa gue jadikan target. Nah, sepertinya lo bisa bantu gue untuk menyalurkan hobi gue yang terpendam ini.” jelasnya.

Janesh menyimak semua penjelasan Kenzi “Kenapa lo nggak jadi guru les private atau relawan mengajar aja?”

Kenzi menggeleng cepat “Selama kelas dua belas, gue dilarang untuk punya aktivitas lain selain yang berhubungan dengan sekolah.”

“Terus apa bedanya dengan ngajarin gue? Kan nggak berhubungan dengan kegiatan sekolah juga!” tandas Janesh heran.

“Beda dong, kalau ngajarin lo gue bisa sekalian belajar untuk persiapan ujian sekolah. Ya anggap aja kita lagi belajar kelompok, gitu!” jelas Kenzi dengan antusias.

Janesh terdiam mendengar penjelasan Kenzi. Sebenarnya tidak ada salahnya ia menerima tawaran Kenzi, karena sepertinya Janesh memang sangat membutuhkan pendamping belajar. Segala usahanya belajar mati-matian selama beberapa minggu ini belum juga menunjukkan hasil yang memuaskan. Jadi Janesh memang membutuhkan teman untuk mendampinginya belajar. Namun Janesh merasa ragu untuk menerima tawaran itu. Janesh merasa tidak enak jika harus menyusahkan orang lain. Terutama orang yang tidak terlalu ia kenal.

“Gimana? Lo mau bantu gue, kan?!” tanya Kenzi penuh harap.

“Hmm, gue nggak mau…”

“Nggak, nggak. Lo nggak menyusahkan gue kok Janesh. Justru lo akan sangat membantu gue!” potong Kenzi.

Mata janesh terbelalak saat Kenzi mengetahui apa yang hendak ia ucapkan. Janesh memang ingin menolak permintaan Kenzi karena ia tidak ingin menyusahkan orang lain.

“Jadi lo mau bantu gue, kan?!” pinta Kenzi sungguh-sungguh.

Melihat kesungguhan terpancar dari raut wajah Kenzi, membuat Janesh menghela nafas panjang dan mengangguk setuju. “Tapi dengan satu syarat!” katanya.

“Apa?”

“Lo harus bilang dengan jujur kalau ternyata gue membuat lo susah. Jadi kita bisa menghentikan kesepakatan ini!”

Kenzi mengangguk setuju “Oke, deal ya?!” katanya sambil mengulurkan tangannya ke arah Janesh.

Janesh bergeming, ia berpikir sejenak dan menatap Kenzi sekali lagi. Sesaat kemudian dia menjabat tangan Kenzi dan berkata “Deal!”

Thanks ya!” ucap Kenzi dengan senyum mengembang.

Janesh membalas senyuman itu dengan anggukan dan senyum kikuk. Sesaat kemudian dia menarik tangannya dan kembali memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Sebagai tanda perjanjian kita lo harus mau terima coklat ini!” kata Kenzi sambil kembali menyodorkan coklat yang sedari tadi ia bawa.

Janesh terdiam sejenak dan menatap coklat itu ragu. Namun akhirnya ia meraih coklat itu. “Thanks.

*

“Tidak, aku tidak mau!” tolak Joe tegas sambil menatap tajam pria bertubuh tambun dan berkepala botak yang duduk di sebrang mejanya.

“Bukankah ini yang kau inginkan?” ujar pria yang bernama Ilyas itu. Dia adalah redaktur penerbit novel-novel karya Joe.

Joe menghela nafas panjang dan menyandarkan pundaknya. Tangannya kembali memainkan patung kucing yang tergeletak di atas meja. “Tapi aku belum siap untuk itu.” katanya tak bersemangat.

“Tapi seluruh orang di sekolahmu telah mengetahui hal ini. Jadi tunggu apa lagi? Mungkin ini adalah saat yang tepat.” kata pak Ilyas meyakinkan.

Joe menggeleng lesu. Ia sendiri tidak yakin apakah saat ini adalah saat yang tepat untuk membuka jati dirinya. Seluruh warga sekolah memang sudah mengetahui hal ini, begitupula mamanya. Tetapi ayahnya, ia sama sekali belum mendengar fakta ini. Joe tidak dapat membayangkan reaksi ayahnya saat mengetahui hal yang sebenarnya. Ayahnya pasti akan sangat marah dan menghancurkan semua karya-karyanya. Akan ada keributan besar terjadi di rumahnya, jika ayahnya mengetahui Joe masih terus berkarya meski telah berkali-kali dilarang. Sepertinya Joe belum siap menghadapi semua kemungkinan buruk itu.

“Ayolah Joe! Ada banyak pihak yang menawarkan diri sebagai sponsor dalam acara ini.” bujuk Ilyas membuyarkan lamunan Joe. “Aku yakin ini pasti akan menjadi meet and greet terbesar yang pernah ada!” tambahnya dengan mata berbinar-binar.

“Apakah ini rencanamu?” tanya Joe kembali menatap Ilyas.

Kening Ilyas mengkerut mendengar pertanyaan Joe “Apa maksudmu?” ia balik bertanya.

“Apakah kau yang telah menyebarkan berita itu melalui majalah sekolahku?” tanya Joe penuh selidik “Apakah ini rencanamu agar aku menyetujui acara meet and greet?”

Ilyas berdecak kesal “Apa maksudmu?!” protesnya, ia merasa tersinggung dengan ucapan Joe “Selama lima tahun ini, apakah aku pernah membocorkan jati dirimu?” katanya balik bertanya “Aku selalu menjaganya baik-baik. Tidak ada yang mengetahuinya, bahkan di kantor ini saja hanya aku dan sekretarisku yang tau siapa kau sebenarnya!” jelas Ilyas saat melihat Joe bergeming dan terus menatapnya.

Mendengar penjelasan Ilyas membuat Joe kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. Perkataan Ilyas memang benar, selama lima tahun ini jati dirinya tidak pernah terbongkar sedikitpun. Ilyas tidak pernah membocorkan hal itu, baik kepada karyawannya ataupun publik. Hal ini membuat Joe semakin merasa yakin bahwa Janesh adalah pelaku sebenarnya, karena tidak ada orang lain lagi yang tau tentang jati diri Joe selain Janesh.

“Jadi bagaimana?” tanya llyas penuh harap.

Joe terdiam sejenak, namun akhirnya menggeleng pasti “Tidak! aku masih belum siap untuk itu!” tolaknya.

“Tapi…”

Joe bangkit berdiri dan memotong ucapan Ilyas “Aku harus pergi!” kata Joe sambil memakai masker dan topinya kembali. Ia merapatkan jaket kulit yang dikenakannya dan berlalu meninggalkan ruangan Ilyas.

Ilyas hanya dapat menatap kepergian Joe sambil berdecak kesal. Kali ini usahanya merayu Joe kembali gagal. Entah sampai kapan Joe akan merasa siap untuk membuka jati dirinya. Namun tidak ada yang bisa Ilyas lakukan selain menunggu kesiapan Joe. Jika Ilyas membocorkan hal ini kepada publik, Joe pasti akan marah besar padanya. Ilyas tidak mau kehilangan penulis sepotensial Joe.

*

Joe menghentikan laju motornya di depan sebuah kedai kopi. Matanya menangkap sosok seseorang yang sedang berdiri di balik mesin kasir. Janesh terlihat sangat sibuk melayani customer yang datang silih berganti untuk memesan. Senyum ramah terus terukir dibibirnya, sementara tangannya terus bergerak lincah di atas mesin kasir. Setelah satu customer selesai memesan, masih ada lima customer lagi berdiri dihadapanya. Tidak sedikitpun terlihat rasa lelah diraut wajah itu. Sebetulnya ada rasa kagum yang selalu tersirat di benak Joe, setiap kali ia melihat Janesh. Janesh adalah seorang pekerja keras. Ia rela bekerja disaat teman-teman seusianya sedang menikmati masa muda. Janesh rela bekerja keras untuk menghidupi keluarganya, disaat teman-temannya sibuk menghabiskan waktu untuk belajar.

Kembali teringat dibenak Joe percakapan antara dirinya dengan Janesh. Saat itu mereka sedang belajar bersama di taman sekolah, sambil menikmati ice cream cone rasa coklat kacang.

“Joe, es krim lo lumer, tuh!” ujar Janesh sembari menjilati es krim miliknya. Joe bergeming, pikirannya terus melayang tak tentu arah. “Joe!” panggil Janesh, sikunya menyikut lengan Joe pelan. “Lo lagi mikirin apa, sih?” tanyanya saat Joe telah tersadar dari lamunan yang panjang.

Joe menggeleng pelan “Nggak!” matanya beralih ke arah es krim coklat yang sudah setengahnya lumer. Namun tidak juga timbul selera dibenak Joe untuk menikmati es krim tersebut.

“Oh iya, gimana hubungan dengan ayah lo?” tanya Janesh masih tetap berfokus pada es krimnya.

Joe kembali menggeleng pelan dan mendesah resah. “Ya gitu deh, kayaknya makin memburuk!” jawabnya tak bergairah.

“Kok gitu?”

“Semenjak cedera itu, kami belum saling bertegur sapa.” jelas Joe sambil memutar-mutarkan es krim miliknya. “Mungkin dia merasa sangat kecewa mengetahui kelemahan gue.” Joe tersenyum pahit. Ia merasa sangat tidak beruntung karena memiliki ayah yang tidak pernah mendukungnya. “Jujur Janesh, terkadang gue iri melihat orang lain diperlakukan spesial oleh orang tuanya. Mendapatkan dukungan penuh, sehingga merasa dirinya sangat istimewa berada di dunia ini.” Joe berhenti sejenak, lalu tertawa sumbang “Mungkin gue memang tidak terlahir sebagai orang yang spesial untuk orang lain.” katanya sambil tersenyum getir. “Gue tidak cukup spesial untuk dia, Janesh!”

Janesh berhenti menjilati es krimnya dan menatap Joe dalam. “Kita emang nggak spesial, Joe!” katanya membuat Joe balas menatapnya. “Memangnya apa yang membuat kita sangat istimewa dan berbeda dengan yang lainnya?” tanya Janesh “Kekayaan? Paras yang rupawan? Kepintaran? Kesuksesan? Atau masalah hidup? Bukankah semua itu tidak hanya kita yang memilikinya?!” Janesh menggeleng pelan dan mengedarkan pandangannya ke arah lain “Kita tidak bena-benar spesial, Joe. Mungkin di tempat lain ada orang yang memiliki kisah hidup mirip dengan kita!”

Joe bergeming. Dia tetap menatap dan menyimak semua perkataan Janesh dengan baik. Semakin lama, pola pikir Janesh semakin menarik baginya.

“Tanpa kita sadari, terkadang semua yang kita miliki membuat kita merasa lebih spesial dibandingkan orang lain. Hal itu membuat kita berharap mendapatkan perlakuan yang spesial dari orang lain. Sementara kita tidak dapat mengharapkan orang lain untuk memperlakukan kita secara spesial. Karena ketika harapan itu tidak terpenuhi, kita akan merasa tersakiti dan tidak berarti.” Janesh berhenti sejenak dan terus menatap Joe dalam. “Kita tidak bisa memastikan orang lain untuk memperlakukan kita secara istimewa. Tetapi kita bisa memperlakukan diri kita sendiri secara istimewa. Menerima dan mencintai diri kita apa adanya. Menikmati setiap proses yang harus kita jalani. Serta menghargai setiap pencapaian yang telah kita raih!”

Janesh terdiam sejenak dan kembali menikmati es krimnya. “Kita tidak benar-benar istimewa, dan kita tidak perlu menunggu orang lain memperlakukan kita secara istimewa. Hal yang menjadi bagian kita adalah memperlakukan diri sendiri secara istimewa. Yaitu dengan menghargai setiap perjuangan yang telah kita lakukan!” katanya sembari tersenyum dan menoleh ke arah Joe. “Mau sampai kapan menunggu ayah lo memperlakukan lo secara istimewa, Joe?! Sementara sebenarnya, lo bisa melakukan hal itu sendiri untuk diri lo!” lanjut Janesh sembari menatap Joe lekat-lekat.

Joe merasa tertampar dengan semua perkataan Janesh. Semua perkataan Janesh memang benar, kalau dipikir-pikir semua orang di dunia ini tidaklah terlalu istimewa. Tidak ada hal yang betul-betul bisa menjadikan seseorang lebih istimewa dibandingkan dengan yang lain. Kekayaan, paras yang rupawan, kepintaran, kesuksesan, pendidikan, bahkan masalah hidup pun tidak hanya dirinya yang merasakan. Pasti ada orang lain juga yang memiliki hal itu. Perjuangan yang telah ia tempuh hingga menghasilkan banyak karya-karya hebat, tanpa ia sadari telah membuat dirinya merasa istimewa. Perasaan itu membuatnya berharap mendapatkan perlakuan yang istimewa pula dari orang lain, terutama dari ayahnya. Kini disaat harapannya tidak kunjung terpenuhi, perasaaan istimewa itu berubah menjadi perasaan gagal dan tidak berarti. Janesh benar, dia tidak dapat memastikan orang lain memperlakukan dirinya secara istimewa. Tetapi Joe dapat memperlakukan dirinya sendiri secara istimewa.

Selain mamanya dan pak Ilyas, Janesh adalah orang yang selalu mendorong Joe untuk menyatakan identitasnya dengan bangga di depan semua orang. Menurut Janesh hal itu adalah salah satu cara memperlakukan diri secara spesial. Membuktikan jati dirinya dengan bangga, adalah tindakan menghargai setiap pencapaian yang telah diraih. Dukungan dari Janesh memang cukup berarti bagi Joe. Namun sayangnya Janesh telah bersikap berlebihan. Seharusnya dia bisa menunggu hingga Joe siap menyatakan identitasnya sendiri di hadapan publik.

“Mas, motornya tolong minggir ya, ada mobil yang mau masuk!” ujar tukang parkir membuyarkan lamunan Joe.

Lihat selengkapnya