Janesh melirik sekilas ke arah jam di tangannya, lima belas menit lagi bel pulang berbunyi. Ia sudah tidak sabar ingin segera pulang dan beristirahat. Akhirnya setelah sekian lama, hari ini ia bisa menikmati waktu pulang sekolahnya dengan tenang. Tidak ada jadwal bekerja di kedai kopi, tidak ada jadwal latihan ataupun mengajar karate, dan tidak ada jadwal belajar bersama Kenzi. Hari ini Kenzi tidak masuk sekolah, sehingga Janesh merasa sangat bebas.
Akhirnya hal yang Janesh nanti-nantikan tiba juga. Bel pulang telah berbunyi dan semua murid bergegas merapihkan segala perlengkapan mereka, begitupula dengan Janesh. Ia sangat bersemangat, bahkan Janesh menjadi murid pertama yang keluar kelas setelah pak Radit berlalu. Secepat kilat Janesh melangkahkan kakinya meninggalkan gedung sekolah, namun langkahnya terhenti saat ia berpapasan dengan seorang bapak yang Janesh kenali sebagai supir Kenzi. Apa yang sedang dilakukan supir Kenzi di sekolah? Mungkinkah bapak ini lupa kalau tuannya tidak datang ke sekolah hari ini?. Batin Janesh menduga.
“Siang Mba!” sapa bapak itu.
Janesh mengangguk pelan “Siang Pak! Kenzi hari ini nggak masuk Pak.”
“Iya Mba. Tapi saya kesini untuk jemput mba Janesh.” kata bapak itu menjelaskan maksud kehadirannya.
Janesh mengeryitkan dahinya mendengar perkataan bapak itu “Kemana?” tanyanya bingung.
“Ke rumah mas Kenzi.”
“Mau ngapain?” tanya Janesh semakin bingung.
“Belajar bersama, Mba!” jawab bapak itu sambil tersenyum meyakinkan.
“Tapi Pak…” Janesh ingin menolak namun handphonennya bergetar sebagai tanda ada telfon masuk. Ia memberi isyarat kepada bapak itu untuk menunggunya sebentar. “Halo!”
“Sudah ketemu pak Mukhlis?” tanya Kenzi diujung telfon.
Janesh memperhatikan bapak yang berdiri di hadapannya. “Bapak namanya pak Mukhlis?” bapak itu mengangguk pasti. “Sudah, mau ngapain sih?” kata Janesh balik bertanya kepada Kenzi.
“Belajarlah!”
“Tapi…”
“Dilarang menolak!” potong Kenzi, “Sebentar lagi kita mau ujian!”
Janesh mendengus kesal, baru saja ia berniat menikmati waktu luangnya. Kenzi justru datang dan merusak segala rencanannya. “Tapi kenapa harus di rumah lo?” tanya Janesh sewot.
“Ya terus dimana? Hari ini kan gue nggak masuk sekolah, malu dong kalau berkeliaran di luar!” jelas Kenzi.
Janesh kembali mendengus kesal. “Lo nggak berniat macam-macam, kan?!” tanya Janesh memastikan.
Kenzi terkekeh mendengar pertanyaan Janesh. “Ya tergantung!”
“HEH!!!!!” seru Janesh kesal.
“Udah buruan, nanti juga lo yang ngelakuin macem-macem di sini!” ujar Kenzi sembari menahan tawanya.
“Maksud lo? Halo.. halo…” Janesh menatap layar handphonenya, ternyata Kenzi telah mematikan sambungan telfonnya. “Dimatiin!” dumelnya kesal.
“Mari, Mba!” ajak bapak yang ternyata bernama Mukhlis.
“Eh-he?! Iya Pak!” Janesh bergegas meraih handel pintu mobil ketika pak Mukhlis ingin membukakan pintu untuknya. “Biar saya aja Pak!”
“Nggak apa-apa mba, sudah tugas saya!” ujar pak Mukhlis dengan senyum ramahnya. Meski Janesh sudah menolak, pak Mukhlis tetap membukakan pintu dan menutupnya kembali untuk Janesh.
Satu jam berlalu akhirnya Janesh tiba di depan rumah bernuansa putih dengan perpaduan warna abu-abu, hitam dan coklat. Interior rumah itu didominasi oleh bahan kayu. Jendela-jendela besar yang terbuat dari kaca menghiasi beberapa sisi rumah itu. Membuat cahaya alami masuk ke dalam rumah tanpa permisi. Rumah bergaya Jepang ini terasa sangat nyaman untuk ditinggali.
“Akhirnya datang juga!” ujar Kenzi sambil menuruni anak tangga.
“Bukannya hari ini lo sakit, ya?” tanya Janesh yang merasa heran saat melihat Kenzi tampak sehat. Sementara hari ini ia tidak masuk sekolah dengan alasan sakit.
Kenzi tertawa kecil “Nggak kok, gue cuma bosan sekolah!” ujarnya santai.
“Apa? Bosan?” tanya Janesh tak percaya.
Kenzi kembali tertawa “Jangan ditiru ya!”
Janesh mendengus kesal “Ah enak ya jadi orang pintar, kalau bosan tinggal bolos sekolah!” cibir Janesh. “Terus ngapain lo ngajak gue belajar kalau lagi bosan?!”
“Kalau belajar sama lo gue selalu semangat, dong!” jawab Kenzi dengan senyum mengembang.
Janesh kembali mendengus kesal saat mendengar jawaban Kenzi.
“Yaudah yuk naik!”
Mata janesh terbelalak “Mau ngapain?” tanyanya curiga.
“Mau macem-macem!” jawab Kenzi asal.
Mata Janesh semakin terbelalak mendengar jawaban Kenzi “Jangan bercanda!” katanya tegas sembari memasang kuda-kuda.
Kenzi terkekeh melihat reaksi Janesh “Nggak kok, mana berani gue macem-macem sama atlet karate nasional!” katanya sembari menahan tawa.
Mendengar perkataan Kenzi membuat Janesh mulai mengendurkan kuda-kudanya.
“Yuk naik!” ajak Kenzi
“Disini aja!”
“Gue janji nggak akan macem-macem, Janesh!” kata Kenzi sambil menunjukkan dua jarinya. “Tapi ART gue sudah menyiapkan semuanya di rooftop!” jelasnya.
Janesh menatap Kenzi awas dan tetap dalam posisi siap sedia. Kalau-kalau Kenzi bertindak macam-macam, Janesh dapat dengan mudah memberikkan pelajaran kepadanya. Ia mengikuti langkah Kenzi dari belakang. Kakinya melangkah naik menuju lantai dua dan selanjutnya ke lantai tiga menuju rooftop. Bagian rooftop rumah Kenzi di desain seperti taman, sebagian tempatnya dihiasi hamparan rumput dan diberi batu-batu krikil. Ada kolam ikan di sudut ruangan tersebut, dua ayunan santai tergantung tepat disamping kolam ikan. Pada sudut lainnya ada sebuah meja bundar terbuat dari kayu menghiasi ruangan itu dengan dua gili chair berwarna senada mengelilingi meja. Sebagian rooftop dibuat tanpa atap dan semilir angin membuat tempat itu terasa sangat sejuk dan nyaman.
“Makan dulu, yuk!” ajak Kenzi sambil duduk disalah satu bangku yang mengitari meja bundar itu.
Janesh mengamati banyaknya makanan yang tersaji di atas meja bundar itu. “Langsung belajar aja deh, biar cepat pulang!” tolak Janesh dengan posisi tetap berdiri.
“Gimana bisa belajar kalau perut kita lapar.” kata Kenzi sambil menyiapkan piring dihadapan Janesh.
“Gue nggak lapar, kok!” kata Janesh berbohong.
“Terus itu suara perut siapa?” tanya Kenzi sambil tetap berfokus menaruh nasi di atas piring Janesh.
Janesh memegangi perutnya yang berbunyi dan tersenyum malu.
“Gue sudah masakin buat lo, masa lo nggak mau nyoba!” kata Kenzi sambil menatap Janesh.
“Masa sih lo yang masak?” tanya Janesh tak percaya. “Paling juga pembantu lo yang masak!” cibirnya saat teringat sudah ada lima pembantu yang ia temui sejak masuk ke rumah ini.
Kenzi tertawa kecil “Beef teriyaki ini gue yang masak, loh!” katanya sembari menunjuk sepiring beef teriyaki yang terlihat lezat. Ia segera meraih sendok, mengambil daging itu sesendok dan menyuapkannya ke dalam mulut Janesh. “Gimana? Enak kan?!” katanya penuh harap.
Ekspresi wajah Janesh tidak dapat ditebak “Keasinan.” komentar Janesh akhirnya.
“Ah masa sih? Perasaan udah pas deh.” Kenzi mencoba masakannya. “Pas kok Janesh. Lo bohongin gue ya?” protesnya.
Janesh tertawa renyah “Iya enak kok, tapi itu beneran lo yang masak?” tanya Janesh masih tidak percaya.
Kenzi mengangguk pasti “Iya dong, gue masak ini spesial buat lo.” katanya sambil tersenyum lebar. “Sekarang lo makan yang banyak biar lo nggak semakin kurus.” ujar Kenzi sambil menyendokkan beberapa lauk ke atas piring Janesh.
“Tapi…”
“Nggak ada penolakan, lo harus makan baru kita belajar!” kata Kenzi tegas.
“Bukan itu!”
“Terus?” tanya Kenzi sembari menoleh ke arah Janesh.
“Lo pikir perut gue gentong? Dikasih makan sebanyak ini!” protes Janesh sambil memperhatikan piringnya yang kini sudah seperti gunung makanan.
“Eh-he?! Iya juga ya.” kata Kenzi sambil tertawa kecil “Sorry deh sorry, pokoknya sekarang lo makan yang banyak.” Kenzi menarik kursi untuk Janesh.
“Banyak sih banyak, tapi nggak gini juga kali.” gerutu Janesh sambil duduk di kursinya.
*
Setelah menikmati hidangan yang telah disiapkan Kenzi untuknya. Kenzi mengajak Janesh untuk duduk di ayunan santai dan mulai menjelaskan beberapa materi pelajaran. Penjelasan Kenzi yang ringan, membuat Janesh mudah memahami materi tersebut. Semilir angin membuat Janesh semakin bersemangat mengerjakan soal-soal yang Kenzi siapkan untuknya.
Tanpa terasa sudah dua jam Kenzi dan Janesh belajar bersama, matahari sudah sejam yang lalu terbenam dan kini langit sudah tampak gelap dihiasi bintang-bintang. Janesh mulai merasa lelah, ia memijit dahinya pelan sambil terus menghitung soal matematika yang Kenzi berikan.
“Capek ya?” tanya Kenzi yang menyadari hal itu.
Janesh menggeleng cepat “Enggak kok.” jawab Janesh tanpa berpaling dari soal yang sedang ia kerjakan. Sesekali tangan Janesh meraih kentang goreng yang di sediakan oleh pembantu Kenzi, ia merasa cepat lapar ketika sedang mengerjakan soal rumit seperti ini. “Selesai!” seru Janesh dengan senyum mengembang.
“Coba gue lihat.” kata Kenzi sambil meraih buku Janesh, Kenzi memeriksa dengan seksama soal yang telah dikerjakan oleh Janesh. Hasilnya cukup memuaskan, hanya salah satu dari sepuluh nomor. “Ini.” Kenzi mengembalikan buku Janesh yang telah ia periksa dan beri nilai.
“Wih cuma salah satu!” seru Janesh senang.
Kenzi merasa tubuhnya mulai lelah karena harus duduk di ayunan santai itu selama dua jam, ia memilih untuk berdiri dan merenggakan otot-ototnya. Sesaat kemudian Kenzi merebahkan dirinya di atas hamparan rumput. “Rebahan emang paling pas kalau lagi lelah, deh.” ucap Kenzi sembari menutup matanya. Kenzi menikmati hembusan angin malam yang membelai wajahnya lembut dan membiarkan tubuhnya rileks sejenak. Sesaat kemudian Kenzi membuka matanya. Matanya tertambat pada bintang-bintang yang terhampar di langit luas, sungguh indah dan mempesona.
“Eh Janesh sini deh lihat bintang-bintangnya banyak banget.” Kenzi mengajak Janesh untuk ikut berbaring di sisinya.
Janesh menoleh ke arah Kenzi dan melihat Kenzi sedang asyik berbaring di atas hamparan rumput sintetis. Janesh bangkit berdiri dan ikut duduk di atas hamparan rumput itu. Ia meluruskan kakinya yang terasa pegal dan menengadahkan wajahnya ke langit. Betul apa yang Kenzi katakan, malam ini ada banyak bintang bertaburan di langit. Menambah keindahan langit malam.
“Kata nyokab gue, kita itu harus bisa seperti bintang. Terus bersinar meskipun terkadang tidak terlihat.” kata Kenzi sembari tersenyum simpul. “Nyokab gue juga bilang kita harus bisa seperti bintang tetap bersinar di hamparan langit yang hitam.”
“Oh iya, nyokab lo ada dimana?” tanya Janesh tetap pada posisinya. Janesh baru menyadari sedari tadi dia belum bertemu dengan ibu Kenzi.
“Nyokab gue ada ditempat terindah yang dirindukan oleh semua orang!” jawab Kenzi sembari tersenyum simpul.
Janesh menoleh ke arah kenzi dan mendapati Kenzi menjawab pertanyaannya sembari tersenyum. Matanya terus menatap langit malam yang berhiaskan bintang. “Maksudnya ibu lo…”
Kenzi mengangguk pasti “Iya, dia udah lama pergi ninggalin gue!” timpalnya sembari membalas tatapan Janesh.
“Sorry!” kata Janesh tak enak hati.
Kenzi tersenyum hangat “Nggak apa-apa!” Ia kembali menatap langit. “Dulu hampir setiap malam sebelum tidur kami sering duduk di balkon dan melihat bintang. Sekarang gue jarang ngelakuin hal itu, karena hal itu membuat gue sangat merindukan kehadirannya!”
Janesh mengangguk mengerti, ia kembali mengarahkan pandangannya ke langit. “Merindukan seseorang yang tidak bisa lagi kita raih adalah hal yang berat!” ucap Janesh setelah beberapa saat terdiam.
“Jangan rindu! Berat. Biar aku aja!” kata Kenzi menirukan salah satu dialog disebuah novel.
Janesh tertawa kecil “Novel kali ah!” katanya asal.
Kenzi ikut tertawa. “Merindukan mereka yang tidak bisa lagi kita raih, bukan berarti tidak ikhlas. Tetapi rindu adalah bukti bahwa mereka masih memiliki tempat yang istimewa di hati kita!” ucap Kenzi lembut.
Janesh menoleh ke arah kenzi dan menatapnya lekat-lekat. Perkataan Kenzi terasa sangat dalam bagi Janesh dan membuatnya menyadari satu hal. Sesuatu yang selama ini selalu ia sangkal. Kembali teringat di pikiran Janesh tentang rasa rindu kepada seseorang yang tidak dapat ia raih kembali. Rasa rindu yang sangat menyiksanya. Selama ini ia berpikir rasa rindu itu hadir karena ia belum betul-betul mengikhlaskan kepergian ayahnya. Kepergian yang telah meninggalkan luka di hati bundanya. Setiap rasa rindu itu hadir, cepat-cepat Janesh membunuhnya dengan kebencian. Janesh harus mengikhlaskan kepergian ayahnya dan mencoba menghapus sosok ayah dari hidupnya. Bagi Janesh tidak ada lagi tempat dihatinya untuk sosok ayah yang telah meninggalkan keluarganya hanya demi wanita lain. Namun perkataan Kenzi telah menyadarkan Janesh, bahwa rasa rindu itu adalah bukti bahwa ayahnya masih memiliki tempat yang istimewa dihatinya.
“Oh iya, gimana kabar bunda lo?” tanya Kenzi membuyarkan lamunan Janesh.
Janesh menyeka ujung matanya yang terasa basah “Baik, sekarang bunda ada di tempat rehabilitasi. Semua berkat info LSM yang lo kasih. Thanks ya!” jawab Janesh dengan senyum mengembang.
“My pleasure!” ucap Kenzi sembari ikut tersenyum.
Setelah melewati beberapa proses asesmen, akhirnya pihak LSM Sehat Jiwa membantu bunda Janesh untuk mendapatkan perawatan intensif di pusat rehabilitasi kesehatan jiwa. Janesh kembali teringat dengan kondisi bundanya saat minggu lalu ia dan adiknya datang menjenguk. Bundanya terlihat lebih sehat dan ceria. Kata psikiater, bunda Janesh telah mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Janesh betul-betul merasa sangat senang mengetahui hal itu.
“Oh iya, kenapa lo menolak sanksi yang diberikan bu Tania untuk Ana?” tanya Kenzi membuyarkan pikiran Janesh.
Janesh tidak langsung menjawab. Ia menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan. “Karena gue nggak butuh itu.” kata Janesh akhirnya. “Semua orang sudah tau kondisi bunda dan permintaan maaf itu tidak akan mengubah apapun. Gue cuma mau fokus dengan kesehatan bunda!”
Kenzi mengangguk mengerti. “Tapi setidaknya sanksi itu akan membuat orang lain berpikir dua kali sebelum membicarakan lo!”
Janesh tertawa kecil dan kembali menatap langit “Waktu itu ada yang bilang sama gue, kalau gue nggak bisa mengontrol ucapan, pikiran, tindakan dan perasaan orang lain. Hanya ada satu hal yang bisa gue kontrol, yaitu diri gue sendiri.” Janesh berhenti sejenak dan menatap kedua tangannya “Dan gue cuma punya dua tangan yang tidak mungkin gue gunakan untuk menutup mulut semua orang. Tetapi kedua tangan ini dapat gue gunakan untuk menutup telinga gue sendiri. Jadi dengan begitu, gue bisa mengabaikan cibiran netizen yang maha benar!” kata Janesh sembari tersenyum simpul. Janesh menoleh ke arah Kenzi dan mendapati Kenzi sedang menatapnya dalam, sembari tersenyum hangat. “Mantap nggak tuh kata-katanya?!” ujar Janesh sembari tertawa kecil
“Mantap dong! Quotes by Kenzi Putra Halim!” kata Kenzi bangga.
Janesh terkekeh mendengar Kenzi membanggakan dirinya sendiri. Perkataan Kenzi kala itu memang sangat menyentuh hati Janesh. Bak air hujan menyirami bara api, perkataan Kenzi mampu menenangkan amarah di hati Janesh. Perkatan Kenzi menyadarkan Janesh untuk tidak bertindak gegabah, melainkan bersikap tenang dan fokus kepada tujuan hidupnya. Layaknya saat bertanding, Janesh harus fokus pada apa yang menjadi tujuannya dan mengabaikan hal lain yang mengganggunya. Hidup ini adalah pertandingan yang sesungguhnya. Janesh harus mampu menguasai pertandingan, seperti ia mampu menaklukkan beragam pertandingan yang telah ia menangkan.
*
Kaki Joe melangkah santai melewati lorong panjang menuju sebuah ruangan yang terletak di ujung lorong. Bola matanya mengamati taman kecil disisi kanan dan kiri lorong. Beberapa perawat sedang berbincang ringan dengan pasien sambil menikmati alunan musik klasik yang lembut. Hari ini, Joe telah membuat janji bertemu dengan seorang psikiater. Dia adalah Sandra, psikiater ternama yang merupakan salah satu pendiri panti rehabilitas bagi pasien dengan gangguan jiwa. Dokter Sandra merupakan teman mama Joe saat dibangku SMA. Joe sengaja menemui dokter Sandra dan melakukan observasi di panti rehabilitas, karena ia membutuhkan beberapa data pelengkap untuk novel Tersayat seri keempat. Kali ini Joe berniat untuk betul-betul menamatkan kisah Verel dalam novel Tersayat.
Joe mengetuk pintu dihadapannya dua kali dan segera mendapat jawaban dari orang di dalam ruangan. Sesaat kemudian, pintu terbuka baginya.
“Selamat Siang, dok!” sapa Joe sambil tersenyum ramah.
“Kamu Joe, ya?” tanya wanita yang membukakan pintu untuk Joe. Wanita itu tampak seusia dengan mamanya, Joe yakin wanita itu adalah dokter Sandra.
Joe mengangguk sopan “Betul dok!”
“Ayo silahkan masuk!” ajak dokter Sandra ramah. “Mari silahkan duduk!”
Joe mengikuti ajakan dokter Sandra untuk masuk ke dalam ruangannya. Lalu ia duduk di kursi pasien di sebrang kursi dokter Sandra.
“Mama kamu sudah menjelaskan semuanya!” kata dokter Sandra sembari duduk di bangkunya. “Jadi apa yang bisa saya bantu?”