Setelah mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, Joe terus menerus menyalahkan dirinya sendiri. Joe merasa sangat bersalah karena telah bersikap tidak baik terhadap Janesh. Seharusnya ia mendengar dan memercayai penjelasan Janesh. Seharusnya Joe tidak menuduh dan menghina Janesh seperti kemarin. Seharusnya Joe mencari tahu dulu pelaku sebenarnya yang telah menyebarkan identitasnya. Seharusnya Joe dapat bersikap lebih bijaksana dalam menghadapi semua ini. Joe harus segera menemui Janesh dan meminta maaf kepadanya. Ia sudah terlalu sering bersikap tidak baik terhadap Janesh. Sementara Janesh, justru telah menjadi perantara dari Tuhan untuk membawa kebahagiaan dalam dirinya.
“Janesh!” panggil Joe saat melihat Janesh duduk termenung di kursi panjang depan kelas. Joe tidak sengaja mendengar percakapan Janesh dengan bu Emily. Bu Emily terus mengingatkan Janesh agar berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hasil raport semester satu akan menjadi bahan pertimbangan kelanjutan beasiswa Janesh. Sementara nilai ujian tengah semester Janesh masih jauh dari kata baik.
Janesh menoleh ke arah Joe dan tersenyum canggung.
“Boleh duduk?” tanya Joe
Janesh mengangguk dan menggeser sedikit posisi duduknya.
Joe menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan “Gue mau minta maaf karena telah menuduh lo tanpa bukti!” kata Joe sambil menunduk “Nggak seharusnya gue menuduh lo dan menghina lo seperti kemarin.” lanjutnya. “Ternyata orang yang membocorkan identitas gue adalah ayah gue sendiri.”
Janesh menoleh tak percaya “Sungguh?”
Joe mengangguk pelan dan menatap Janesh. “Sekarang papa udah mendukung gue, Janesh!” jawab Joe dengan senyum mengembang.
Janesh ikut tersenyum bersama Joe “Selamat ya!” kata Janesh sambil mengulurkan tangannya.
Joe menatap ragu uluran tangan itu. Tidak terlihat ekspresi kemarahan ataupun kebencian di raut wajah Janesh. Seolah-olah tidak pernah terjadi pertengkaran diantara mereka. “Makasih ya!” kata Joe akhirnya. Ia menyambut uluran tangan Janesh sambil tersenyum. “Gue minta maaf ya Janesh untuk semua kesalahan gue!”
Janesh mengangguk mengerti dan melepaskan jabatan tangannya “Nggak pa-pa kok, semua udah berlalu. Udah nggak penting juga, kan?!” kata Janesh dengan senyum tipis terukir di bibirnya.
Joe turut tersenyum bersama Janesh, dan mengalihkan pandangannya ke lantai. “Gue juga mau ucapin terima kasih, karena lo berhasil meyakinkan gue untuk menunjukkan diri gue yang sebenarnya.” ucapnya lembut. Ia kembali menatap Janesh lekat-lekat.
Janesh membalas tatapan itu dan tersenyum tipis. “Semua ucapan gue nggak akan berarti apa-apa, kalau lo nggak berani mengambil keputusan, Joe.” Janesh terdiam sejenak dan mengalihkan pandangannya “Jadi seharusnya lo berterima kasih pada diri lo sendiri!” katanya.
Joe mengangguk setuju “Tapi lo ibarat peri kecil yang Tuhan kirim untuk membawa kebahagiaan dalam hidup gue, Janesh. Makasih ya!” ucap Joe tanpa mengalihkan pandangannya dari Janesh.
Dahi Janesh berkerut mendengar perkataan Joe “Peri kecil?” tanya Janesh heran “Kayaknya gue lebih cocok jadi laron deh dari pada peri!” katanya berguyon.
Joe tertawa mendengar guyonan Janesh. “Ya pokoknya, makasih ya untuk semua kebaikan lo!” katanya dengan senyuman tulus. “Oh iya, sebagai permintaan maaf dan ucapan terima kasih gue. Gue bersedia kok untuk ngajarin lo lagi.” kata Joe.
“Makasih ya Joe!” kata Janesh dengan senyum mengembang “Tapi gue rasa nggak perlu.” tolaknya.
Joe mengeryitkan dahinya saat mendengar penolakan Janesh. “Kenapa?”
Janesh tidak langsung menjawab. “Udah ada orang lain yang bantu gue.”
“Siapa?” tanya Joe penuh selidik.
“Gue!” jawab seseorang yang telah berdiri di dekat mereka.
Joe menoleh ke arah orang tersebut dan mendapati Kenzi sedang tersenyum ke arah mereka.
“Janesh yuk kita belajar!” ajak Kenzi “Gue bawa banyak camilan, loh!” lanjutnya sembari menunjukkan sebuah goodybag yang terisi penuh dengan makanan ringan.
Melihat hal itu Janesh spontan bangkit berdiri “Ayok!” serunya bersemangat. “Oh iya Joe, gue belajar dulu ya. Sekali lagi selamat buat lo!” kata Janesh sembari tersenyum tulus.
Joe menatap Janesh dalam dan mengangguk pelan. Ia hanya dapat memandangi kepergian Janesh dan Kenzi dengan perasaan resah. Seperti ada sesuatu yang hilang dari hatinya dan tergantikan oleh kehampaan. Ah... Joe tidak mengerti perasaan apa ini!.
*
Joe memandangi secangkir kopi hitam di hadapannya. Sebelumnya kopi itu tersaji panas, namun kini telah menjadi dingin karena Joe mengabaikannya untuk beberapa waktu. Mungkin seperti itu juga konsep hubungannya dengan Janesh. Sikap Janesh yang dulu terasa hangat baginya, kini telah berubah dingin. Semua terjadi karna kesalahannya yang pernah mengabaikan Janesh. Terkadang Joe merindukkan lelucon-lelucon garing yang Janesh lontarkan disela-sela waktu belajar mereka. Joe merindukkan tawa renyah yang sering Janesh tularkan kepada dirinya. Joe merindukan cara berpikir Janesh yang terkadang diluar dugaan. Tidak lupa juga, Joe merindukkan sikap Janesh yang mandiri dan tidak suka menyusahkan orang lain.
Kini setelah Janesh menjauh, Joe baru menyadari bahwa Janesh telah membawa banyak warna dalam hidupnya. Joe yang tidak pernah memiliki teman dekat, untuk pertama kalinya merasakan arti memiliki teman dalam hidupnya. Joe yang sebelumnya tidak pernah membicarakan tentang kehidupan dengan siapapun. Untuk pertama kalinya, menemukan orang yang mampu menjadi teman diskusi yang sepadan untuknya. Ada banyak pelajaran yang ia dapat semenjak berteman dengan Janesh. Namun semua baru Joe sadari setelah tercipta jarak antara dirinya dan Janesh.
Kemarahan Joe membuatnya tidak menyadari bahwa Janesh telah berjalan menjauh. Janesh telah berpaling darinya dan tak lagi membutuhkannya. Kini sudah ada Kenzi yang menggantikan tugasnya. Tidak ada lagi ruang bagi Joe untuk membantu Janesh. Kenzi telah membantu Janesh untuk memenuhi segala yang dibutuhkannya. Kini Janesh semakin berjalan menjauh dari Joe. Sementara dirinya hanya dapat memandangi Janesh dari jauh.
“Joe, are you okay?” tanya Helena yang duduk di hadapannya.
Pertanyaan Helena membuyarkan lamunan Joe. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Helena dan mengangguk kikuk.
“Kopi kamu udah dingin tuh, kok nggak diminum?” tanya Helena heran.
Joe mengangguk pelan “Ini mau diminum, kok!” katanya sambil meraih gagang cangkir. Joe lalu menyeruput kopinya yang sudah dingin.
“Joe kamu tau nggak sih, aku tuh kesel banget, deh!” dumel Helena sembari mencondongkan tubuhnya ke arah Joe. “Aku tuh lagi badmood banget dengan hasil persidangan kemarin! Masa hater aku cuma dihukum bayar denda, aku kan maunya dia dihukum penjara minimal berapa bulan gitu. Biar dia tau rasa dan jaga ucapannya!” cerocos Helena dengan raut wajah di tekuk.
Kembali teringat oleh Joe cerita Helena beberapa waktu lalu, dimana dia sedang melaporkan salah satu hater-nya ke pihak berwajib dengan kasus pencemaran nama baik berdasarkan undang-undang ITE. Helena memperkarakan kasus itu karena tersangka menyebarkan isu bahwa kecantikan Helena adalah palsu dan merupakan hasil operasi plastik. Tersangka juga menghina bentuk tubuh dan wajah Helena yang terlihat tidak natural. Hal itu membuat Helena merasa mendapatkan serangan body shaming dari netizen.
“Kenapa harus diperpanjang, sih?” tanya Joe dingin, karena ia merasa sikap Helena sudah semakin berlebihan. "Sikap kamu terlalu berlebihan deh!"
Helena terbelalak mendengar pertanyaan Joe. “Apa katamu? Berlebihan?” tanyanya tak setuju. “Ini nggak berlebihan, Joe! Mereka harus mendapatkan pelajaran agar tidak seenaknya dalam berbicara!” jelas Helena tegas.
Joe mengangguk kecil “Tapi bukannya semua ini sudah menjadi resiko seorang selebgram ya? Kalau ucapan mereka tidak benar ya abaikan aja!”
“Nggak bisa dong, semua orang itu harus tau kecantikan aku ini alami. Aku nggak pernah operasi plastik!” protes Helena kesal.
Joe mendesah pelan “Helena nggak semua orang menyukai kita. Apalagi sebagai publik figur pasti ada aja orang yang nggak suka dengan kita!”
“Ya aku tau, tapi orang itu nggak seharusnya menggiring opini publik hanya karena rasa irinya terhadap aku!” tandas Helena tegas. “Wajar sih dia punya hati yang buruk, wajahnya saja tidak lebih baik dari hatinya!” gumam Helena dengan nada merendahkan.
Joe terpaku saat mendengar Helena bergumam. Semakin dekat dengan Helena, Joe semakin menyadari sifat aslinya. Joe sering mendapati Helena merasa dirinya sangat istimewa dan berhak diperlakukan istimewa pula oleh orang lain. Helena terlalu membanggakan kecantikan wajah dan keelokan tubuhnya. Hingga tanpa sadar ia sering meremehkan orang lain. Helena senang menjadi pusat perhatian dan ia merasa hanya dirinya yang pantas diperhatikan. Joe mengakui kecantikan Helena yang mampu menyihir setiap mata yang memandangnya. Kecantikan yang hingga saat ini, belum ada satupun siswi di sekolah mereka yang mampu menyainginya. Tetapi semua kecantikkan itu terasa kosong ketika tidak diimbangi oleh kecantikkan yang terpancar dari dalam hati.
Kembali teringat dibenak Joe kecantikan yang terpancar dari hati Janesh. Janesh yang sepenuh hati merawat keluarganya. Janesh yang tidak pernah mengeluh menghadapi lika-liku kehidupannya. Janesh yang tidak pernah menyombongkan semua medali dan kemenangannya. Janesh yang dengan berlapang dada mau memaafkan orang yang telah menghina bundanya. Dan Janesh yang tidak pernah berlama-lama menyimpan amarah di hatinya. Janesh memang tidak secantik Helena, wajahnya terbilang biasa-biasa saja. Tetapi sifat dan ketangguhannya membuat Janesh terlihat jauh lebih menarik dari Helena. Helena hanya terlihat sempurna secara fisik. Tetapi Janesh jauh terlihat lebih sempurna berkat kebaikan hatinya.
Joe meghela nafas panjang dan kembali menatap cangkir putih di hadapannya. Kini dia semakin mengerti perkataan Janesh waktu itu. Terkadang apa yang dimiliki seseorang menjadikan dirinya merasa lebih istimewa bila dibandingkan orang lain. Sehingga mengharapkan perlakuan istimewa pula dari orang lain. Sementara itu, sebenarnya tidak ada orang yang betul-betul istimewa. Tidak juga Helena. Kecantikan yang Helena miliki saat ini juga dimiliki oleh orang lain. Sehingga seharusnya Helena tidak perlu terlalu berbangga hati dengan apa yang dimilikinya. Andai Helena menyadari hal ini, dia akan terlihat jauh lebih sempurna.
Seandainya saja Joe menyadari semua ini lebih awal, mungkin Joe tidak perlu terlibat dengan Helena dan kehilangan teman baik seperti Janesh. Joe tersenyum masam, mungkin ini adalah akibat yang harus ia tanggung karena kebodohannya sendiri.
“Joe kamu dengerin aku nggak, sih?!” protes Helena dengan tatapan tajam.
Joe melirik ke arah Helena dan mengangguk pelan. Sebenarnya ia sama sekali tidak menyimak perkataan Helena. Bagi Joe, percakapannya dengan Helena terasa membosankan. Helena selalu menjadikan dirinya sebagai pusat percakapan mereka. Semua itu tidak lagi menarik hati Joe.
“Aku ke toilet dulu, ya!” kata Helena sambil bangkit berdiri. Helena segera berlalu meninggalkan Joe yang tidak memberikan respon apapun.
*
Joe meraih smartphone dari dalam saku celananya. Tangannya lihai menyentuh menu-menu di layar dan membuka beberapa pesan masuk. Setelah membalas beberapa pesan yang penting, ia membuka aplikasi Instagram. Joe mencoba menghibur dirinya dengan melihat beberapa konten menarik disana. Baru saja aplikasi itu terbuka, mata Joe telah tertambat pada sebuah foto yang baru saja diposting oleh Kenzi. Saat ia melihat foto tersebut seperti ada sesuatu yang terasa panas menikam dadanya. Nafasnya naik turun bergerak tak beraturan. Joe menutup aplikasi itu dan mematikan layar smartphonenya. Tangannya langsung memasukkan smartphone itu kembali ke dalam sakunya. Joe berusaha mengatur kembali gerakan nafasnnya dan menenangkan dirinya. Joe melirik jam ditangannya, sudah lebih dari sepuluh menit Helena pergi ke toilet dan hingga sekarang belum kembali. Perasaannya yang tidak karuan, membuat Joe tiba-tiba merasa ingin segera pulang ke rumah.
Tanganya terangkat ke udara sebagai tanda untuk memanggil salah satu pegawai di café itu. Joe meminta bill kepada salah satu pegawai yang menghampirinya. Beberapa saat kemudian ia kembali dan membawakan bill yang Joe minta. Joe bergegas menuju kasir dan membayar semua pesanan dirinya dan Helena. Sesaat kemudian ia melangkah menuju toilet untuk menghampiri Helena. Namun langkahnya terhenti ketika ia melihat Helena sedang mengobrol dengan Oliv tak jauh dari toilet. Ternyata ini yang membuat Helena tidak kunjung kembali ke mejanya.
“Dih! Kegatelan banget sih nih cewek!” ujar Helena membuat Joe menghentikkan langkahnya dan segera bersembunyi di balik dinding.
Oliv tertawa sinis dan mengangguk setuju “Iya tau nih! Setelah capek-capek misahin dia dari Joe. Sekarang dia malah dekat-dekat sama yang jauh lebih baik dari Joe.” timpal Oliv kesal.
Mata Joe terbelalak mendengar ucapan Oliv. Siapa yang Oliv maksud dijauhkan dari Joe? Apa yang sebenarnya telah Oliv dan Helena lakukan?.
“Bisa-bisanya ya dia malah ngedeketin Kenzi. Dia nggak sadar ya, kalau dia tuh nggak pantas untuk Kenzi?!” cibir Helena.
Kenzi? tanya Joe didalam hatinya. Apa yang mereka maksud adalah Janesh?
“Nah betul tuh! setelah kita memanfaatkan Ana untuk menyebarkan isu tentang ibunya. Dia malah mencari yang lain setelah Joe menjauhinya.” timpal Oliv kesal. “Andai waktu itu ayah Ana tidak terancam dipecat oleh bokap lo, mungkin dia tidak pernah mau menghianati temannya seperti ini.”
Mendengar ucapan Oliv membuat Joe mengerti, bahwa saat ini Oliv dan Helena sedang membicarakan Janesh. Jadi mereka yang telah menyuruh Ana melecehkan kondisi bunda Janesh? Apa sebenarnya tujuan mereka, hingga melakukan hal serendah ini?. Batin Joe kesal.
“Kayaknya kita harus atur strategi lagi deh untuk menjauhkan dia dari Kenzi!” usul Oliv
Helena mengangguk setuju “Oh jelas! Dia nggak pantas dekat-dekat dengan Kenzi!” kata Helena dengan nada merendahkan.
“Iya dong, karena hanya Helena seorang yang pantas dekat dengan bintangnya sekolah!” ujar Oliv dengan senyum mengembang. Helena ikut tersenyum bangga mendengar ucapan Oliv.
Joe tidak tahan lagi mendengar percakapan antara Oliv dan Helena. Mereka berdua betul-betul licik. Tidak seharusnya mereka mengorbankan orang lain hanya demi kepentingan dan harga diri. Tindakan mereka betul-betul keterlaluan.
“Hebat!” seru Joe sambil bertepuk tangan. Ia keluar dari tempat persembunyiannya dan menghampiri kedua wanita itu.
Oliv dan Helena yang baru menyadari kehadiran Joe di dekat mereka, tiba-tiba terlihat sangat gugup. Mereka saling berpandangan dan terdiam.
“Lo benar-benar hebat ya, Len!” sindir Joe dengan seulas senyum sinis tersungging di bibirnya. “Lo merasa sangat istimewa sampai mengorbankan orang lain hanya demi kepuasan lo!” sambungnya dengan penuh penekanan. “Tapi itu semua justru membuat lo terlihat sangat rendahan!” katanya sambil menatap Helena tajam.
“Aku bisa jelasin!” kata Helena mencoba menarik tangan Joe.
Joe menghempaskan tangan Helena “Jelasin apa? Gue udah dengar semuanya!” tandas Joe tegas.
“Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, Joe?!” elak Helena.
Joe mengeryitkan dahinya dan menatap Helena sinis. “Yang ada dipikiran gue sekarang, lo itu seperti monster, Len!” ucapnya dingin “Lo tega melakukan apapun demi kepuasan lo sendiri!” Joe berhenti sejenak dan menatap mata Helena tajam. “Lo benar-benar mengerikan!”.
Joe hendak berlalu namun ia kembali menoleh ke arah Helena dan Oliv. “Asal kalian tau ya, Janesh memang tidak sesempurna kalian, dia juga tidak istimewa. Tapi dia jauh lebih pantas berada di dekat orang-orang terbaik di dunia ini, dibandingkan kalian berdua!” Joe menatap tajam ke arah Helena dan Oliv. “Jangan pernah menganggu Janesh lagi, atau kalian akan menyesal!” ancam Joe. Ia segera berlalu meninggalkan Oliv dan Helena yang terpaku memandangi kepergiaannya.
*
“Bagus nggak?” tanya Kenzi sambil menyodorkan smartphonenya ke hadapan Janesh. Saat ini mereka sedang belajar bersama di sebuah taman. Kenzi asyik memainkan smartphonenya sembari menunggu Janesh selesai mengerjakan sepuluh soal Biologi.
Janesh yang sedang asyik membaca soal mengangkat wajahnya dan memperhatikan foto yang Kenzi tunjukkan kepadanya. “Dih, kok diposting di Instagram sih?!” protes Janesh kesal saat ia melihat foto yang Kenzi ambil secara diam-diam. Kenzi terlihat tersenyum lebar di foto tersebut, sementara Janesh terlihat sangat serius sedang membaca soal. Wajahnya terlihat sangat serius seperti orang yang sedang memikirkan banyak hutang.
Kenzi tersenyum lebar “Bagus, kan?!”
“Ih norak tau, hapus, hapus, hapus!!!” kata Janesh sambil berusaha meraih smartphone Kenzi.
Spontan Kenzi mengelak dan menjauhkan smartphone miliknya dari jangkauan Janesh. “Jangan dong! Fotonya bagus, tauk!” tolak Kenzi.
“Wajah lo doang yang bagus, gue udah kayak orang mikiran utang!” protes Janesh.
Mendengar protes yang dilayangkan Janesh kepadanya, membuat Kenzi tertawa renyah. “Ah nggak! Bagus kok pose lo, terlihat natural!” kata Kenzi sambil menahan tawa.
Janesh memukul lengan Kenzi ringan “Hapus!”
“Nggak!”
“Hapus!”
“Nggggaaakkkk!!!”
Janesh berdecak kesal, ia bangkit berdiri dan berusaha meraih smartphone Kenzi. Namun Kenzi tidak lengah, ia juga bangkit berdiri dan terus mengangkat tangannya tinggi-tinggi agar Janesh tidak dapat meraih smartphonenya. Janesh tidak menyerah, ia terus berusaha hingga membuatnya hampir terjatuh. Beruntunglah Kenzi dengan sigap menopang tubuh Janesh agar tidak terjatuh ke hamparan rumput.
“Hati-hati Janesh!” seru Kenzi. Kini posisi Janesh dan Kenzi sangat dekat, hanya tersisa satu jengkal antara wajah mereka berdua.
Posisinya kali ini membuat Janesh dapat menatap bola mata Kenzi tanpa penghalang. Ia juga dapat merasakan hembusan nafas Kenzi di wajahnya. Hal itu membuat pipi Janesh menjadi merah seperti tomat. Untuk beberapa detik, Janesh seolah tersihir dengan pesona yang Kenzi pancarkan. “Thank you!” katanya kikuk. Ia segera berdiri tegak dan melepaskan tangan Kenzi yang menopang tangannya.
Kenzi mengangguk mengerti dan mundur selangkah untuk membuat Janesh merasa lebih nyaman. Ia kembali memandangi layar smartphonenya. “Eh lihat! udah ada seratus tujuh puluh delapan orang yang like foto kita, loh!” seru Kenzi senang. Ia lantas menunjukkan layar smartphonenya kepada Janesh.
“Serius? Foto aneh kayak gitu aja kok banyak yang ngelike sih?!” kata Janesh heran.
Kenzi tersenyum lebar “Oh iya dong, kan wajah gue ganteng di foto itu!” katanya bangga.
Janesh berdecak kesal “Curang!” dumelnya. “Harusnya kalau mau foto tuh bilang dulu!”
“Ayo foto lagi!” ajak Kenzi dengan senyum mengembang. Ia telah siap berpose untuk foto bersama Janesh.
Janesh menggeser sedikit posisi dirinya menjauh dari Kenzi. “Ogah!” tolak Janesh sembari berlalu dan kembali duduk di kursi tempat mereka belajar.
“Tuh kan, giliran diajak foto malah nolak!” protes Kenzi sambil mengikuti langkah Janesh.
Janesh membolak-balikkan bukunya dengan kasar “Nggak mood!” ujarnya dengan wajah ditekuk.
Melihat sikap Janesh membuat Kenzi tertawa renyah. Ketika sedang marah Janesh tidak terlihat seperti seorang atlet, ia justru terlihat seperti anak TK yang sedang merajuk. “Aduh adik manis, jangan ngambek dong! Nanti kakak beliin es krim ya.” bujuk Kenzi layaknya seorang kakak yang sedang membujuk adik kecilnya.
Janesh semakin menekuk wajahnya saat mendengar bujukkan Kenzi. Bukannya senang Janesh justru merasa jijik mendengar ucapan Kenzi. “Dih apaan sih?! Emang gue anak kecil!” protesnya.
Kenzi kembali tertawa melihat ekspresi Janesh “Ya makanya jangan marah dong! Nanti cantiknya hilang, loh!” katanya merayu.
Janesh mendengus kesal “Duh dasar buaya!” tandasnya.
“Gue nggak ngerayu kok, gue bicara fakta!” kata Kenzi dengan senyum mengembang.
Janesh bergeming dan tidak menghiraukan perkataan Kenzi. Janesh kembali fokus menjawab soal Biologi. Sementara Kenzi kembali fokus pada layar smartphonenya. Ia kembali memandangi foto dirinya dengan Janesh. Dalam foto itu Janesh terlihat sedang berpikir serius. Ekspresinya memang terlihat sangat polos dan juga lucu. Tanpa Kenzi sadari seulas senyum tipis terus terukir di bibirnya tatkala ia memandangi foto itu.
Sesekali mata Janesh melirik ke arah Kenzi dan mendapati Kenzi sedang mengamati foto mereka berdua. Kenzi betul-betul aneh, sebelumnya ia tidak pernah mengupload foto dirinya di media sosial. Tetapi kini foto aneh seperti itu justru Kenzi upload ke media sosialnya. Pasti para followersnya akan merasa bingung bahkan terganggu melihat keanehan foto itu. Tanpa Janesh ketahui, foto itu juga telah sangat menganggu seseorang yang mulai merindukkan kehadirannya.
*
Janesh berjalan ragu menuju ruang kelasnya. Hari ini bu Emily akan membagikan raport semester ganjil. Sebagian besar teman-temannya didampingi oleh orang tua. Sementara Janesh harus menghadapi bu Emily sendirian. Ia segera memasuki ruang kelas saat orang tua terakhir telah selesai berkonsultasi dengan bu Emily.
“Silahkan duduk, Janesh!” kata bu Emily sambil mempersiapkan raport Janesh. “Bagaimana kabar bunda kamu?” tanya bu Emily membuka percakapan.
“Baik Bu, bunda masih dalam masa perawatan.” jawab Janesh seadanya.
Bu Emily tersenyum mendengar jawaban Janesh “Syukurlah semoga bisa segera pulih ya!”