“Terima kasih, pesanannya akan segera siap.” kata Janesh sambil tersenyum ramah kepada seorang customer di hadapannya. Selepas customer itu pergi Janesh kembali merapihkan bukti pembayaran hari ini. Namun tidak lama kemudian dia kembali mengangkat wajahnya saat menyadari kehadiran seorang customer di depan meja kasir.
“Elo?!” seru Janesh kaget saat ia melihat Kenzi sedang berdiri di depan meja kasir. Setelah tidak bertemu selama dua minggu, kini Kenzi tiba-tiba hadir di hadapannya.
Kenzi tersenyum lebar “Hai Janesh! Apa kabar?” sapanya.
“Baik.” jawab Janesh seadanya.
“Bagaimana liburan lo?”
“Biasa aja!”
“Lo pasti masih marah ya, karena kejadian dua minggu yang lalu?!” tanya Kenzi hati-hati.
Janesh menghela nafas panjang “Nggak juga.” kata Janesh seadanya.
“Sorry Janesh, waktu itu gue ada urusan mendadak dan handphone gue lowbat!” jelas Kenzi dengan nada menyesal
“Iya udah tau!”
“Lo pasti udah lama nungguin gue, ya?” tanyanya dengan tampang penuh penyesalan.
Janesh mendengus pelan “Ya udahlah, nggak usah di bahas. Udah basi!” jawab Janesh datar.
“Sebagai permintaan maaf, gue mau ajak lo ke suatu tempat. Mau ya?” tanya Kenzi penuh harap.
Janesh menatap Kenzi datar dan menghela nafas pendek. “Lo nggak lihat gue lagi ngapain?” tanyanya sambil melirik ke arah mesin kasir.
“Ya nanti selesai lo kerja!” kata Kenzi yang mengerti maksud lirikan Janesh.
“Nggak bisa, gue double shift!” tandas Janesh. Ia kembali sibuk berkutat dengan struk-struk pembayaran. Namun sesaat kemudian, ia kembali mengangkat wajahnya saat menyadari Kenzi pergi meninggalkannya. “Dih!? Nggak jelas!” batin Janesh heran.
“Janesh!” panggil pak Krisna membuyarkan lamunan Janesh.
“Ya pak?” Janesh menjawab sigap.
“Hari ini kamu nggak usah double shift ya!”
“Tapi kenapa pak?” tanya Janesh bingung.
“Hari ini kan weekday dan kedai juga lagi sepi. Jadi sepertinya kita tidak butuh banyak orang untuk shift dua!” jelas pak Krisna sambil memperhatikan situasi kedai kopi yang memang sedang sepi.
Janesh merasa kecewa mendengar perkataan pak Krisna. Seandainya dia bisa double shift hari ini, pasti bonus yang dia terima diakhir bulan akan lebih banyak. Janesh harus bekerja lebih keras untuk mempersiapkan biaya sekolah adiknya.
“Ya semoga saja besok kedai ramai, jadi kamu bisa double shift!” hibur pak Krisna.
Janesh mengangguk mengerti “Baik pak!”
“Kamu pulang setelah Romeo selesai bersiap-siap ya!” kata pak Krisna sebelum berlalu.
Janesh kembali mengangguk. “Siap pak!”
Lima belas menit kemudian, Romeo datang menghampiri Janesh dan bersiap menggantikan posisinya di balik meja kasir. Janesh segera melakukan serah terima tugas kepada Romeo, sebelum ia pergi meninggalkan kedai.
“Janesh!” panggil Kenzi saat Janesh keluar dari pintu kedai kopi.
Janesh mengeryitkan dahinya saat melihat Kenzi melambaikan tangan ke arahnya. Janesh kira Kenzi telah pulang, ternyata dia masih menunggu Janesh di dalam mobil.
“Ayo ikut gue!” ajak Kenzi sembari berjalan mendekati Janesh.
“Nggak mau, gue mau pulang!” tolak Janesh hendak berlalu menjauh dari Kenzi.
Kenzi mengejar langkah Janesh dan menarik tangannya pelan. “Mau ngapain sih di rumah?”
“Tidur!” jawab Janesh asal.
“Please ikut bentar aja, lo pasti nggak akan nyesel!” bujuk Kenzi.
Janesh berpikir sejenak dan menatap Kenzi ragu.
Tanpa menunggu persetujuan Janesh, Kenzi langsung menarik tangan Janesh dan mengajaknya berjalan menuju mobilnya. “Ayo, nanti kita terlambat!”.
*
Seulas senyum bahagia terus tergores di bibir Janesh yang merah. Tatkala bola matanya yang besar terpaut dengan cahaya teduh yang dipancarkan sang surya. Langit tampak merah, perlahan demi perlahan matahari mulai bergerak turun. Terus bergerak turun hingga menghilang di bawah garis cakrawala. Janesh tidak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari pemandangan di hadapannya saat ini. Ia betul-betul ingin menikmati keindahan sinar surya yang sebentar lagi akan terganti oleh rembulan.
Kini disinilah Kenzi dan Janesh. Berdiri di pesisir pantai Jakarta. Menikmati pemandangan matahari terbenam dan menikmati angin pantai yang menerpa wajah mereka dengan lembut. Menikmati suasana senja yang akan berganti malam. Suara deru ombak yang terbentur dengan bebatuan menambah keteduhan suasana saat ini.
“Cakep banget!” seru Janesh senang. Wajah Janesh berseri-seri saat melihat matahari bergerak turun dan mulai menghilang dibalik ujung pantai. “Sunset disini keren juga!” katanya sambil berdecak kagum.
“Lo suka?” tanya Kenzi.
Janesh mengangguk senang “Iya.”
“Udah gue duga lo pasti suka.” kata Kenzi sambil ikut tersenyum.
“Gue suka sunset, rasanya damai setiap melihat langit tampak merah saat matahari bergerak turun.” jelas Janesh.
“Kalau gitu gue mau jadi sunset juga.” kata Kenzi sambil tersenyum menatap Janesh.
Janesh berdecak kesal, tatapan matanya tidak berpaling dari pemandangan indah di hadapannya. “Dasar plin-plan!” ejeknya. “Kemarin lo bilang mau jadi bintang!”
“Tapi lo lebih suka sunset!”
Janesh tertawa sumbang “Dih! Apa hubungannya?!” tandasnya “Emang lo yakin mau jadi sunset? Sunset kan munculnya cuma sebentar.”
Kenzi mengangguk yakin “Nggak pa-pa! Meskipun hanya sebentar tapi yang penting gue bisa membuat lo tersenyum bahagia.” ucap Kenzi dengan senyum tulus terukir dibibirnya.
Janesh menoleh ke arah Kenzi dan mendapati Kenzi sedang menatapnya hangat. Untuk beberapa detik Janesh seolah terbawa dengan tatapan Kenzi. Ia merasa ada kedamaian dan ketulusan yang terpancar dari tatapan itu. “Gombal!” cibir Janesh akhirnya.
Kenzi terkekeh menanggapi cibiran Janesh. Ia kembali menatap langit dan menikmati cahaya matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Kenzi menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan. Ia menutup matanya dan menikmati hembusan angin yang menerpa wajahnya lembut. Janesh memperhatikan Kenzi dengan seksama mencoba mencari tahu apa yang sedang dilakukan pria itu.
“Lo lagi ngapain?” tanya Janesh saat Kenzi telah kembali membuka matanya.
“Bersyukur.” jawab Kenzi sambil tersenyum.
“Bersyukur?” tanya Janesh tak mengerti, Kenzi mengangguk pelan. “Untuk apa?” tanya Janesh lagi.
Kenzi menoleh heran ke arah Janesh. “Untuk apa?” tanya Kenzi tak percaya, Janesh mengangguk ragu. “Janesh di dunia ini ada banyak hal yang bisa kita syukuri, dan lo masih nanya untuk apa?”.
Janesh menggaruk kepalanya “Maksud gue bukan begitu.”
Kenzi tertawa pelan “Iya gue paham maksud lo.” katanya sambil tersenyum. “Gue bersyukur karena hari ini gue masih diijinkan membuka mata dan melihat indahnya dunia. Gue bersyukur karena hari ini masih diberikan nafas kehidupan, gue bersyukur karena hari ini bisa merasakan panasnya terik matahari dan sejuknya hembusan angin. Hal yang paling penting, gue sangat bersyukur karena hari ini gue masih diberi kesempatan untuk melihat lo, Janesh.” jelas Kenzi lembut. Kenzi menatap mata Janesh lekat-lekat sambil tersenyum hangat.
Janesh berdecak kagum “Ternyata lo pintar bersyukur ya.”
Kenzi tersenyum kecil “Sudah kewajiban manusia untuk selalu bersyukur Janesh.” katanya sambil kembali menatap langit. “Tuhan sudah memberikan banyak hal yang kita butuhkan dalam hidup ini. Siapa kita sehingga kita berhak untuk selalu menuntut dan tidak tau bersyukur?. Dunia ini bukan miliki kita sendiri, akan selalu ada yang datang dan akan selalu ada yang pergi. Di dunia ini, semua manusia memiliki masa hidupnya masing-masing. Jika masa itu sudah berakhir, dia harus pulang kepada sang Penciptanya.”
Janesh mengangguk-angguk mengerti. Mereka berdua kembali menatap sinar matahari yang semakin redup dan tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
“Apa pendapat lo tentang kematian, Janesh?” tanya Kenzi setelah lama terdiam.
“Kematian?” kata Janesh balik bertanya. “Kematian itu akhir.” jawab Janesh setelah lama berpikir.
Kenzi mengangguk setuju “Iya betul, kematian memang akhir.” katanya sambil tersenyum simpul “Kematian memang akhir dari kehidupan manusia di dunia, tetapi merupakan awal untuk manusia memasuki babak baru di kehidupan yang lain.”
Janesh terdiam sesaat dan memperhatikan Kenzi dengan seksama. “Mungkin lo nggak pernah marah kali ya sama Tuhan, karena Tuhan sudah memberikan semua yang lo perlukan.” kata Janesh menduga-duga.
Kenzi berpikir sejenak, ia terus menatap langit yang mulai tampak gelap. “Nggak juga kok! Hidup gue yang terlihat sempurna, nyatanya tidak sesempurna itu. Masih ada bagian-bagian tertentu dalam hidup gue, yang tidak Tuhan buat secara sempurna!” jelas Kenzi dengan seulas senyum tipis terukir dibibirnya “Bagian-bagian yang tidak sempurna itu, justru membuat gue sangat bergantung padaNya. Tapi Tuhan sudah terlalu baik. Jadi gue merasa nggak pantas untuk marah kepadaNya.” sambungnya.
Kenzi menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan. “Ibarat sebuah novel, Tuhan adalah penulisnya dan kita manusia adalah tokoh utamanya. Dia mengatur semua jalan cerita dengan sangat baik. Ia yang menentukan siapa pemeran pembantunya, siapa tokoh antagonisnya dan siapa tokoh protagonisnya. Tuhan yang atur bagian pembukanya, bagian klimaksnya. Baik kita ataupun pembaca tidak akan pernah tau seperti apa bagian akhirnya. Ya semua cerita sudah Tuhan rancang dengan sangat indah dan luar biasa.” jelas Kenzi sambil tersenyum.
Janesh menyimak semua perkataan Kenzi dengan seksama. Tidak ada satupun kalimat yang terlewat olehnya. Semua perkataan Kenzi membuat Janesh merasa semakin megaguminya.
“Janesh lo laper ya?” tanya Kenzi saat ia mendengar suara dari perut Janesh.
Janesh tersenyum malu dan mengangguk ragu.
“Ayo kita makan.” kata Kenzi sambil menarik tangan Janesh.
*
Perjuangan belum berakhir, masih ada beberapa rentetan ujian kelulusan yang harus Janesh hadapi. Ia tidak boleh terlena dengan hasil raport semester ganjil yang cukup memuaskan. Janesh harus semakin giat belajar dan mempersiapkan dirinya untuk menghadapi ujian kelulusan. Janesh merasa sangat beruntung ketika dia mengingat setiap bantuan yang diberikan Kenzi kepadanya. Meski terkadang ia juga merasa tidak enak hati karena telah banyak menyusahkan Kenzi.
Selama beberapa bulan terakhir Janesh merasakan banyak sekali kebaikan yang telah Kenzi lakukan untuknya. Hampir setiap hari Kenzi meluangkan waktu untuk mendampingi Janesh belajar. Kenzi meminjamkan banyak buku persiapan ujian untuknya. Kenzi sering menemaninya saat berlatih karate ataupun saat ia harus mengajar karate. Bahkan Kenzi pernah sampai tertidur pulas saat menemani Janesh bekerja di kedai kopi hingga larut malam. Kenzi juga sering menemani Janesh saat menjenguk bundanya di panti rehabilitasi. Kenzi betul-betul telah memasuki kehidupan Janesh. Kenzi hadir disetiap aktivitas Janesh dan memberikan banyak perhatian untuknya.
Jika dipikir ulang, Janesh terkadang merasa lucu. Kenzi yang awalnya terlihat sangat aneh dimatanya, kini justru menjadi teman yang baik. Teman yang siap membantunya tanpa diminta. Teman yang peduli terhadap kebutuhannya. Teman yang paling mempercayai kemampuannya dan teman yang paling keras kepala sekaligus perhatian. Janesh sangat beruntung, karena seorang idola sekolah seperti Kenzi bersedia berteman dengannya. Kenzi juga bersedia membantu murid yang paling bodoh disatu angkatan seperti Janesh untuk bisa lulus.
Entah apa yang dapat dilakukan Janesh untuk membalas semua kebaikan Kenzi. Apapun yang Janesh berikan sebagai tanda terima kasih, mungkin tidak akan pernah cukup untuk membayar semuanya. Selain itu Kenzi juga telah memiliki semuanya, hidupnya tidak pernah kekurangan. Semua yang ia butuhkan dan inginkan pasti telah terpenuhi. Sehingga Janesh tidak dapat melakukan apapun untuknya.
“Janesh, lo ngelamun ya?” tanya Kenzi saat menyadari Janesh hanya menatapnya kosong.
Janesh mengerdipkan matanya dan tersenyum kikuk “Eh-he?! Nggak kok!” sanggahnya.
Kenzi berdecak pelan, namun sesaat kemudian dia tersenyum jahil. “Lo pasti lagi menganggumi ketampanan gue ya?!” tanyanya bangga.
Kini giliran Janesh yang berdecak kesal “Dih, geer!!”
Kenzi menatap Janesh dengan tatapan menggoda dan senyum jahil “Masa sih? Ngaku aja kali nggak usah malu!”
Janesh mendengus kesal dan mengalihkan pandangannya ke arah danau. Saat ini mereka sedang belajar bersama di pinggir danau tak jauh dari kedai kopi. Janesh senang belajar di tempat ini. Suasananya nyaman, teduh dan tidak bising. Biasanya Janesh akan duduk sendirian di tepi danau, jika sedang ada masalah dan ingin menjauh dari keramaian. Tapi kini setelah berteman dengan Kenzi, Janesh lebih sering mendatangi danau ini bersamanya. “Kenzi, gue boleh tanya sesuatu?”.
Kenzi mengangguk kecil sebagai tanda persetujuan.
“Lo kan sudah banyak bantu gue. Kira-kira hal apa yang bisa gue lakukan atau berikan sebagai ucapan rasa terima kasih?” tanya Janesh sambil terus menatap danau.
“Hmmm, apa ya?” ujar Kenzi “Gimana kalau lo jadi pacar gue aja?” tanya Kenzi sembari tersenyum menggoda.
Mendengar perkataan Kenzi membuat Janesh spontan menoleh ke arahnya. Janesh mendapati Kenzi sedang tersenyum menggoda kepadanya. Janesh berdecak kesal “Serius dong?!” dumelnya.
Kenzi terkekeh melihat ekspresi wajah Janesh. Pipi Janesh memerah dan sikapnya sangat kikuk. “Serius!” kata Kenzi meyakinkan.
Janesh menatap Kenzi tajam “Jangan aneh-aneh, deh!” tandasnya dingin. Kenzi semakin terkekeh. Janesh mengabaikan ketidakseriusan Kenzi. Ia kembali mengedarkan pandangannya ke danau yang terbentang luas di hadapannya.
Setelah puas tertawa, Kenzi menutup buku kimia yang terbuka di atas panggkuannya. Lalu membetulkan posisi duduknya sehingga dapat menghadap ke arah danau. “Ada satu hal yang bisa lo lakukan.” katanya dengan nada serius.
“Apa?” tanya Janesh tak bersemangat. Janesh tidak mau terlalu bersemangat, karena mungkin Kenzi akan menggodanya seperti tadi.
“Lo harus lebih mencintai diri lo sendiri!” jawab Kenzi setelah beberapa saat terdiam.