Mentari belum juga menyingsing, Janesh sudah sibuk mengeluarkan semua baju yang berada di dalam lemarinya. Hari ini Kenzi mengundang Janesh makan malam di sebuah restoran untuk merayakan hari ulang tahunya. Tepat pada hari yang ke dua puluh tiga dibulan April, Kenzi genap berumur delapan belas tahun. Kenzi ingin merayakan hari bahagianya bersama dengan Janesh, teman yang paling dekat dengannya akhir-akhir ini. Oleh karena itu, ia mengirimkan undangan untuk Janesh dan telah menyiapkan segalanya.
Janesh memanfaatkan waktu liburnya untuk menyiapkan diri. Sejak ia membuka matanya pagi ini, ia sibuk memilih pakaian terbaik yang akan ia kenakan. Janesh juga sibuk merapihkan penampilannya. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki semua Janesh bersihkan. Ia benar-benar ingin tampil sangat baik dihari bahagia Kenzi. Tidak hanya mempersiapkan penampilannya, Janesh juga telah menyiapkan kado terbaik untuk Kenzi. Sebuah t-shirt berwarna putih polos yang berlukiskan wajah Kenzi buatan tangannya sendiri, sengaja Janesh pilih sebagai kado untuk Kenzi. Janesh sadar kado darinya tidak akan berarti apa-apa bila dibandingkan kebaikan Kenzi. Tetapi hanya ini yang dapat ia lakukan. Janesh harap Kenzi menyukainya.
Mereka telah berjanji untuk bertemu pada pukul tujuh malam di sebuah restoran yang berada di dalam sebuah mall di Jakarta. Janesh telah mempersiapkan semuanya dengan baik, namun sepertinya kondisi jalanan tidak berpihak kepadanya. Pukul tujuh lewat tiga puluh menit Janesh tiba di depan mall, jalanan yang sangat padat membuat dirinya tidak dapat tiba dengan tepat waktu. Janesh merasa sangat bersalah, Kenzi pasti sudah tiba lebih dulu dibandingkan dirinya. Ia mengambil langkah lebar agar segera sampai di restoran yang telah Kenzi tetapkan.
Pukul tujuh lewat empat puluh menit Janesh tiba di depan restoran tersebut. Restoran berjenis all you can eat sengaja Kenzi pilih, mengingat Janesh yang memiliki hobi makan. Ia segera mengedarkan pandangannya ke sekeliling restoran tersebut. Akan tetapi, tidak ada sosok Kenzi di sana.
“Selamat datang! Sebelumnya sudah reservasi, Mba?” tanya pelayan restoran itu ramah.
Janesh mengangguk ragu “Atas nama Kenzi”
Pelayan itu memperhatikan daftar reservasi dan sesaat kemudian mengangguk mengerti. “Mari saya antar!”
Janesh mengikuti pelayan itu menuju sebuah meja di bagian pojok kanan restoran itu.
“Silahkan menikmati semua hidangannya Mba! Mas Kenzi sudah membayar semua tagihannya.” kata pelayan itu sebelum berlalu meninggalkan Janesh.
Janesh menatap kotak kado yang ia bawa dan memperhatikan sekelilingnya. Belum ada tanda-tanda kehadiran Kenzi. Lalu ia kembali melirik jam ditangannya, sudah hampir pukul delapan. Namun Kenzi tidak kunjung datang. Kenzi tidak mungkin lupa dengan janjinya, ia telah memesan dan membayar restoran ini. Mungkinkah terjadi sesuatu dengan Kenzi diperjalanan? Atau ada hal lain yang Kenzi lakukan? Ah… Janesh berharap Kenzi dapat segera datang.
Sesekali matanya kembali menyapu setiap sudut ruangan itu, berusaha mencari sosok Kenzi. Namun harapannya sia-sia, Kenzi belum juga hadir. Janesh mencoba menghubungi Kenzi untuk kesekian kalinya. Kali ini telepon genggam Kenzi aktif, tapi tidak ada yang mengangkat. Janesh terus mencoba menelfon dan mengirimkan beberapa pesan singkat kepada Kenzi. Namun tidak ada balasan apapun darinya. Perut Janesh sudah mulai terasa lapar, seharian ini ia belum makan apa-apa. Janesh terlalu sibuk mempersiapkan kado spesial untuk Kenzi, hingga ia melupakan dirinya sendiri.
“Janesh?!” panggil seseorang yang sudah berdiri di dekat meja Janesh.
“Joe?!” seru Janesh kecewa, Janesh berharap bukan Joe yang datang melainkan Kenzi. “Lo ngapain disini?” tanyanya tak bergairah.
“Gue lagi makan bareng orang tua gue!” jawab Joe sambil menunjuk meja tak jauh dari meja Janesh. “Lo sendirian?” tanyanya.
Janesh mengeleng pelan “Nggak, gue lagi nunggu orang”
“Siapa? Kenzi?” tanya Joe menebak. Janesh mengangguk seadanya. “Terus sekarang dia dimana?”
“Belum dateng.” Jawab Janesh sedikit kecewa.
Joe mengangguk mengerti “Bagaimana kalau lo gabung dengan kami?” ajak Joe.
Janesh menggeleng ragu “Nggak usah Joe, gue nggak mau mengganggu kalian!”
“Nggak kok!” tandas Joe. “Orang tua gue justru senang banget kalau lo bisa gabung.”
Janesh berpikir sejenak, ia ingin menolak tawaran Joe dan tetap menunggu Kenzi dimejanya.
“Udah yuk join aja, itung-itung sambil nunggu Kenzi. Nanti lo bisa misah dari kami kalau dia udah dateng.” kata Joe meyakinkan.
Janesh kembali berpikir, namun akhirnya mengangguk setuju. Ia mengikuti langkah Joe menuju meja mereka.
“Eh hai Janesh!” sapa Ratna ramah saat Joe memberitahu mereka tentang keberadaan Janesh.
“Janesh?! Sudah lama kita tidak bertemu ya!” Anton ikut menyapa dengan ramah.
Janesh mengangguk sopan dan menyalami Ratna juga Anton “Halo Om, halo Tante!” sapa Janesh seadanya.
“Janesh janjian sama temannya, tapi orangnya belum dateng. Dia boleh kan gabung sama kita dulu, Pa, Ma?” Kenzi mencoba menjelaskan.
Ratna mengangguk pasti “Oh boleh dong! Silahkan duduk Janesh, tante sudah lama sekali tidak berbincang dengan kamu.” kata Ratna antusias.
Janesh kembali mengangguk sopan dan menduduki kursi di samping Joe.
Ratna sibuk memanggang beberapa lembar daging untuk Janesh. Dia juga menyendokkan tomyam ke dalam mangkuk kecil untuk Janesh. “Makan yang banyak ya Janesh, kalian pasti sudah sangat bekerja keras untuk ujian kemarin!” kata Ratna dengan sebuah senyuman yang tidak pernah pudar dari bibirnya.
“Makasih Tante!” ucap Janesh sembari menatap Ratna. Melihat Ratna tersenyum ramah padanya dan sibuk mempersiapkan hidangan untuknya, membuat Janesh kembali teringat dengan bundanya.
“Janesh kapan lagi kamu akan bertanding?” tanya Anton
Janesh menoleh ke arah Anton “Tahun depan Om, sekarang sedang persiapan untuk seleksi internasional.” jawab Janesh.
“Nanti kabari om ya, kapan dan dimana kamu tanding. Om mau datang untuk dukung kamu.” kata Anton antusias.
Mendengar perkataan Anton, membuat Janesh merasa senang karena ada orang yang mendukungnya. Janesh mengangguk pasti “Siap om!” sahut Janesh dengan senyum mengembang.
“Jangan cuma om yang dikabari ya, Janesh. Kamu juga harus mengabari tante!” ujar Ratna sambil tetap sibuk memanggang daging.
Anton menoleh heran ke arah Ratna yang duduk di sampingnya “Sejak kapan mama suka olah raga?” tanya Anton heran “Biasanya juga nolak kalau Papa ajak nonton pertandingan!” cibirnya.
Ratna tertawa kecil “Kalau Janesh yang tanding, mama mau lihat Pa!”
Anton mendengus pelan “Huh dasar, Mama ikut-ikut aja nih!” dumelnya.
Ratna tergelak mendengar dumelan Anton. Janesh ikut tertawa mendengar percakapan Anton dan Ratna. Ia seperti melihat bunda dan ayahnya waktu dulu. Waktu dimana belum ada orang ketiga diantara mereka. Ingatan tentang kedua orang tuanya membuat Janesh tersenyum masam.
“Kenapa?” tanya Joe yang menyadari perubahan raut wajah Janesh.
Janesh menggeleng cepat “Nggak pa-pa!” jawabnya sambil tersenyum simpul.
“Oh iya Janesh, Om mau berterima kasih sama kamu!” kata Anton disela-sela makan malam mereka.
Janesh mengangkat wajahnya dari piring dan menatap Anton bingung “Untuk apa, Om?” tanyanya.
Anton tersenyum simpul sebelum menjawab pertanyaan Janesh “Untuk kata-kata kamu waktu itu. Perkataan kamu semakin menyadarkan Om untuk melihat hal yang Joe miliki. Daripada terus berfokus pada obsesi sendiri.”
Janesh mengangguk mengerti “Itu hanya kebetulan, Om!” kata Janesh seadanya karena Janesh tidak merasa berbuat banyak. Kata-katanya waktu itu mengalir begitu saja tanpa direncanakan dan tanpa maksud apapun.
“Kebetulan yang membawa kebaikan!” timpal Ratna dengan senyum mengembang.