Rumah Sakit Islam Kasih Bunda kembali sepi malam itu. Lorong-lorong panjang disinari lampu remang. Bilal belum masuk kerja, dan Gio… kembali datang tanpa alasan pasti.
Ia berdiri lama di depan gerbang samping, seperti sedang bertanya pada dirinya sendiri: kenapa aku datang ke sini lagi?
Tapi entah kenapa, kakinya tetap melangkah.
Dokter Andre sudah menunggu. Duduk santai di ruang operasi yang sedang tak dipakai, dengan lampu hanya menyala sebagian.
“Kamu datang lagi…” suara Andre pelan, seperti bisikan yang jatuh dari langit-langit ruang bedah.
Gio duduk di seberang. Hening menyelimuti mereka.
“Aku suka ruangan ini,” kata Andre tiba-tiba. “Di sini, aku menyembuhkan orang. Tapi... malam-malam seperti ini, justru tempat ini yang menyembuhkan aku.”
Gio menatapnya, tak menjawab.
Andre menyandarkan tubuhnya. Lalu dengan tenang, ia berkata, “Gio, kamu pernah bicara soal cinta. Tapi… kamu tahu, dalam hubungan seperti kita… ada peran-peran yang tak selalu bisa dipahami semua orang.”
Gio mengerutkan dahi. “Maksudnya, Dok?”
Andre menoleh. Pandangannya dalam. “Kalau dalam hubungan... aku lebih nyaman di posisi yang menerima. Menjadi... bagian yang lebih lembut.”
Gio menatapnya lama. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi kata-kata seperti macet di tenggorokan. Baru kali ini ia bertemu seseorang yang bicara seterbuka itu... tentang hal yang selama ini hanya ia dengar sebagai bisik-bisik.
“Aku tidak malu, Gio. Tapi aku juga tidak berharap semua orang paham.”
Gio menggigit bibirnya. “Saya… saya nggak tahu harus ngomong apa.”
Andre mendekat sedikit. “Kalau kamu tidak suka, jangan menjauh. Cukup di sini… temani aku. Hanya itu.”